Dalam perjalanan ruang dan waktu, kehidupan kita penuh dengan banalitas, baik tindakan, ucapan maupun niat. Setelah kita saling mengobyektivasi dan menonjolkan subyektivasi, kita terlempar dari kehidupan autentik dan kejatuhan eksistensial (the fallenness of existence). Banalitas dalam hidup keseharian telah menjebak keberadaan kita sehingga tak lagi peka dengan keagungan Being, Wujūd.
Dalam keseharian, sepanjang hidup yang kita alami, kita selalu terjebak dalam ketidak otentikan dan sering kehilangan banyak momen yang bermakna. Ini karena kita selalu dalam banalitas atau epi-fenomenalisme. Dunia telah menjelma menjadi pasaraya raksasa, yang semuanya dikategorikan dalam laci-laci komoditas industrial yang siap ditransaksikan. Semua peristiwa menjadi transaksional. Pun ibadah dan praktek-praktek keagamaan. Penderitaan orang dikemas dalam kalkulasi, yang bisa dijadikan bahan proposal pengajuan dana penelitian.
Persahabatan antar manusia berubah relasi menjadi kepentingan dan diganti dengan interaksi yang transaksional. Relasi yang terjadi adalah “Aku” dan “itu” (I-It, Marx)), bukan “Saya” dan “Engkau” (I-Thou, Buber), atau dalam rumusan lain “Subyek-Obyek” (Descartes), bukan “Subyek-Subyek atau intersubyektif (Husserl)”. Di dunia kerja, relasi yang terjadi adalah “Tuan-Budak”, bukan hubungan “Pekerja-Pekerja.” Pola komunikasi dan relasi membuat ruang otonomi kita seperti itu semakin lemah dalam memaknai “ada dan peristiwa”.
Being and Event adalah sebuah buku yang berisi beberapa meditasi tentang persinggungan eksistensi dan interaksinya yang tak terelakkan dalam dunia sosial yang digambarkan dalam simbolisme teori himpunan dan aksioma-aksiomanya. Alan Badio dalam karyanya tersebut lebih menekankan pada kerangka ontologis yang dibangun dalam filsafat. Being ini merupakan kerangka atau basis dari semua landasan untuk pemahaman tentang realitas, subjek, dan perubahan. Bagaimana kita berinteraksi dengan realitas itu.
Dalam pandangan Badiou, peristiwa adalah momen- “Being” dapat dipahami sebagai konteks atau latar belakang di mana peristiwa terjadi, dan sebagai basis yang memungkinkan kemungkinan-kemungkinan baru muncul. Disamping itu, Badio menawarkan konsep ketuhanan sebagai bentuk kesetiaan subjek (being) terhadap peristiwa dan komitmen terhadap nilai-nilai yang muncul dari peristiwa tersebut. Bagi Badiou, ketuhanan adalah tentang tetap setia pada momen-momen yang mengubah dan memperjuangkan kebenaran yang ditemukan dalam peristiwa.
Sebagai sebuah meditasi persinggungan eksistensi (being) dan interaksinya dengan dunia sosial (event), maka disinilah being sebagai subjek sering kali larut dalam event bahkan cenderung mengalami keterlemparan eksistensi dalam momen event. Momen dunia sosial sebagai event membuat kita berada dalam rutinitas dan banalitas yang tidak ada habisnya. Kita terjebk dalam kehidupan monoton.
Dalam dunia sosial, manusia terjebak dalam ragam kesibukan berkejaran dengan waktu dan target; lebih celaka lagi target itu adalah sesuatu yang didesain, dipatok dan didesakkan oleh orang lain kepada kita, entah mereka itu bos, rekan bisnis, debt collector, customer, penagih janji, koalisi partai, pimpinan parpol, simpatisan, jama’ah/pengikut, muballigh, ustadz pimpinan pengajian, rektor, dosen, aktivis mahasiswa, LSM, dan sebagainya.
Dunia sosial sebagai peristiwa, membuat manusia dikejar target dalam segala hal, kita harus memalsukan barang atau menipu orang hanya demi bisnis. Karena target politik, kita harus mencampakkan komitmen dan persahabatan. Karena mengejar karier, kita memalsukan dokumen. Karena hendak mencari muka, kita harus memproduksi kebohongan dan bersikap palsu. Karena kelemahan diri, kita mencari-cari kesalahan orang lain dan bahkan merekayasa fitnah. Karena kebutuhan mendesak, kita melacurkan pengetahuan dan harga diri. Karena dorongan emosi, sebagian orang membakar tempat-tempat ibadah kelompok lain.
Karena itu, kita terperangkap dalam hidup yang senantiasa mengobyekkan orang lain sekaligus jati diri kita yang murni. Adanya event kehidupan seperti ini, tentu saja banyak momen hidup yang bermakna hilang begitu saja lewat di hadapan kita. Karena, kekuatan jiwa untuk mempersepsi ‘keagungan’ Being sudah luruh dan mungkin punah. Inilah yang disebut dengan “the fallenness of Man”.
Secara umum, “the Fallenness of man” juga dapat diartikan sebagai kejatuhan moral atau spiritual manusia dari nilai-nilai yang dianggap lebih tinggi, seperti kebaikan, keadilan, dan kedamaian. Pandangan ini bisa memiliki variasi dalam agama, filsafat, dan tradisi budaya, tetapi secara umum merujuk pada kesadaran akan kondisi manusia yang terjerumus dalam dosa, penderitaan, dan ketidaksempurnaan. Upaya untuk memperbaiki kondisi manusia yang jatuh ini sering menjadi fokus dari banyak sistem kepercayaan dan filsafat.
Istilah “the Fallenness of man” biasanya mengacu pada konsep dalam berbagai agama dan filsafat yang menyatakan bahwa manusia telah jatuh dari suatu keadaan yang lebih baik atau lebih suci ke dalam keadaan yang lebih buruk atau terkutuk. Konsep ini sering kali terkait dengan naratif agama seperti kisah Adam dan Hawa dalam agama Kristen, Yahudi, dan Islam, di mana mereka diusir dari Taman Eden setelah melakukan dosa. Heidegger menganggap bahwa manusia sudah dikutuk untuk menjadi pengada yang tak-otentik, sekalipun tidak sependapat dengan ucapan Heidegger ini.
Dalam konteks inilah, Heidegger mengatakan, “We are inevitably caught up and dragged into everyday banalities (fallennes and inauthenticity); the self-awareness is lost.” Tapi, dia juga menandaskan, “Authentic existence is aware of the meaning of being whereas the inauthentic (they-self) is not.” “Kita pasti terjebak dan terseret ke dalam Banalitas sehari-hari (Kejatuhan, keterlemparan dan ketakotentikan); kesadaran diri hilang.” “Eksistensi yang autentik merupakan kesadaran tentang makna being (Keberadaan), sedangkan yang tak autentik (diri mereka) tidak berkesadaran. Hal inilah telah menjatuhkan manusia menjadi mesin, robot, dan zombie.
Dalam situasi hidup yang absurd yang berarti berarti tidak logis ini, manusia tahu diri, sadar diri dan menyadarkan diri dengan bertindak secara moral dan membantu sesama, menimbulkan asa pencarian eksistensial dan pendakian spiritual mendapatkan wadah nya. Aku, engkau dan kita menjelma menjadi being. Bersama romadlon Aku, engkau dan kita melebur dalam kesadaran eksistensial. Disinilah peneguhan kembali eksistensi Tuhan mencapai puncaknya. Being in the world adalah peneguhan akan Tuhan melalui kesadaran eksistensial.
Bandingkan dengan kondisi kita? Jangankan makanan semut, harta orang lain bahkan harga diri dan jiwa orang lain pun siap kita korbankan demi sesuatu yang kita anggap sebagai ‘eksistensi diri’, padahal yang sesungguhnya adalah, dengan melakukan hal itu, kita telah mengkhianati Diri sendiri yang murni dan otentik. Musibah dan cobaan adalah puncak ujian pada kesadaran eksistensial yang hadir pada situasi primordial hidup, yaitu kesucian untuk kembali pada sang Ilahi.
Secara keseluruhan, pandangan Ricoeur tentang “fallible man” dapat dipahami melalui lensa hermeneutika dan etika, di mana dia menekankan kompleksitas dan dinamika dari kondisi kemanusiaan yang melibatkan ketidaksempurnaan, kesalahan, dan kemampuan manusia untuk belajar dan bertanggung jawab atas tindakan mereka Namun, jika kita berbicara secara konseptual, “Fallible Man” mencakup pemahaman Ricoeur tentang berbagai aspek kompleksitas kondisi manusia, termasuk ketidaksempurnaan dan kesalahan.
Paul Ricoeur mendalami gagasan tentang identitas manusia dan kondisi kemanusiaan. Manusia cenderung memiliki pemahaman terbatas tentang diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka, yang membuat mereka rentan terhadap kesalahan dan kekhilafan. Dalam konteks etika, Ricoeur mengeksplorasi bagaimana manusia berurusan dengan ketidak-sempurnaan mereka dan bagaimana mereka dapat bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka meskipun terbatasnya pemahaman mereka. Dia menekankan pentingnya refleksi moral dan kemampuan manusia untuk belajar dari kesalahan mereka.
Detik detik terakhir romadon, byte ritual kita selalu on dan tindakan kita keseharian mempunyai nilai spiritual yang tinggi. Secara umum, setelah romadon, kecenderungannya menjadi off lagi. Inilah gambaran Allah dalam al-Qur’an bahwa iman itu fluktuaif. Ritual dan spiritual berputar silih berganti, sejalan dengan cara kerja cybernetics sebagai suatu sistem sesuai algoritma. Ritual dan spiritualitas meningkat, maka banalitas dan ketak-otentikan semakin melemah. Begitu sebaliknya. menurut logika computasi, kecepatan byte ritual dan spiritualitas seseorang tergantung situasi (Badio), tetapi semua berkelindan dan timbal balik dalam rangkaian pararel menuju kesucian yang otentik melalui meaningful Action. (Iqbal)
Setelah kita saling mengobyektivasi dan menonjolkan subyektivasi, kita terlempar dari hidup autentik dan keterlemparan eksitensial, melalui romadon pencarian eksistensial dan pendakian spiritual mendapatkan wadahnya. Aku, engkau dan kita menjelma menjadi being, yang melebur aku, engkau dan kita dalam kesadaran eksistensial. Disinilah peneguhan kembali eksistensi Tuhan mencapai puncaknya. Being in the world adalah peneguhan akan Tuhan melalui kesadaran eksistensial. Idul Fitri adalah puncak kesadaran eksistensial sebagai sesuatu yang hadir pada situasi primordial hidup, yaitu kesucian.. Aku, engkau dan kita kembali pada Fitri.
Kata Fitri atau Fitra berarti asal kejadian, bawaan sejak lahir (Innate). Ia adalah naluri. Fitri juga berarti suci, karena kita dilahirkan dalam keadaan suci bebas dari dosa. Fitrah juga berarti agama karena keberagamaan mengantar manusia mempertahankan kesuciannya dengan melakukan perjanjian suci dengan Tuhan sejak dalam kandungan.(Al-A’raf:172). Idul Fitri adalah puncak kesadaran eksistensial yang hadir pada situasi primordial hidup, yaitu kesucian. Aku, engkau dan kita kembali pada Fitri, menemukan kembali kesadaran eksistensial agar terhindar dari keterlemparan eksistensi (The Fallenness of existence)
Detik detik terakhir nuansa ritual dan spiritual menjadi umpan balik dan introspeksi kita menuju kesucian primordial sebagai homo sapiental pada pengabdian hanya pada Allah sematasecara berkelanjutan. Karena itu, saya tidak perlu meminta maaf dan hanya memberi maaf kepada siapapun karena ini bagian dari kesempurnaan kosmis, anthropis sebagai ungkapan adanya yang melampaui kesempurnaan. Sebagai akhir dari sistem rangkaian ritual dan spiritual, maka barangkali ada sinyal bytes yang naik turun atau on-off yang tidak menyambung, marilah kita cari dan perbaiki penyebab itu.
Kita diciptakan sempurna dengan segala sifat kekurangan dan kelebihannya sebagai catagory mistakes. Dosa dosa kita yang melekat merupakan existential mistakes. Karena itu di hari yang Fitri ini saya tidak akan memberikan maaf pada anda semua dalam katagori mistakes nya, tetapi saya memintakan ampun pada Allah agar seluruh existential mistakes kita diampuni Allah. Kita menghadap dan berharap hanya kepadaNya. (Suhermanto Ja’far: Dosen Fakultas Ushuludin dan Filsafat UIN Sunan Ampel)
[Suhermanto Ja’far; Dosen Fakultas Ushuludin dan Filsafat UIN Sunan Ampel]