Articles

Tafsir al-Qur’an bil Qur’an: Manhaj Generasi Talaqqi

(Sebuah Penghargaan untuk Dr. KH Afifuddin Dimyathi)

Saya turut berbahagia ketika mendengar kabar bahwa Gus Awis (panggilan akrab Dr. KH. M. Afifuddin Dimyathi, Lc., M.A.) berhasil menerbitkan satu karya monumental berupa empat jilid kitab tafsir 30 juz Al-Qur’an yang berjudul Hidayat al-Qur’an fi Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an (Kairo: Dar al-Nibras, 2023). Ketika Gus Awis menghadiahkan karyanya tersebut kepada saya, pada saat itu juga saya langsung penasaran dengan judulnya. Karena memang sejak di Al-Azhar maupun Cape Town University, saya seringkali dilatih oleh guru-guru saya agar ketika membaca judul buku sebisa mungkin menyempatkan beberapa saat untuk memikirkan apa sejatinya maksud dari pemilihan judul sebuah buku/kitab tersebut.

Gus Awis dan Nalar Tafsir Generasi Sahabat Nabi

Tatkala membaca judul karya Gus Awis, terbesit dalam benak saya dua hal, yaitu: Pertama, ini merupakan manhaj klasik (hadza manhaj qadim) karena Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an (selanjutnya disingkat TQbQ) merupakan model penafsiran para Sahabat Nabi atau yang saya sebut sebagai jayl al-talaqqi (generasi talaqqi), yaitu generasi yang langsung mendapat ilmu dari Nabi Muhammad. Kedua, saya juga berfikir sepertinya karya Gus Awis ini merupakan karya pertama model tafsir yang menerapkan metode TQbQ secara konsisten. Memang pada era 90-an, kita mendengar tafsir Adwa’ al-Bayan fi Idlah al-Qur’an bi al-Qur’an karya Muhammad Amin Asy-Syinqithi (1897-1972 M) atau di tahun 2000-an kita mengenal kitab Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an karya Thaha Jabir Al-Alwani (1935-2016 M).

Akan tetapi, yang perlu dicatat adalah karya Asy-Syinqithi tersebut ternyata tidak murni TQbQ, karena masih tercampur dengan penafsiran-penafsiran ahkam fiqhiyyah (hukum-hukum fikih). Sedangkan karya Al-Alwani belum sempat ia tuntaskan karena ajal lebih dahulu menjemputnya. Oleh karena itu, kalau berbicara mengenai penerapan metode TQbQ secara ketat sebagai manhaj penafsiran Al-Qur’an, maka saya sepakat untuk menyebut Hidayat al-Qur’an fi Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an karya Gus Awis sebagai kitab tafsir pertama yang berhasil menerapkan metode TQbQ secara konsisten, bukan hanya di Indonesia, namun juga di dunia.

Kembali kepada poin yang pertama, walaupun karya Gus Awis ini merupakan karya pertama dalam penerapan TQbQ secara konsisten, akan tetapi manhaj TQbQ itu sendiri merupakan metode lama. Sehingga, saya kemudian berpikir, Gus Awis ini apakah memang tidak bermaksud untuk mengkontekstualisasikan Al-Qur’an? Atau memang dia merasa bahwa jawaban dari segala permasalahan yang sekarang kita hadapi ini adalah kembali ke era sahabat?

Menurut hemat saya, Gus Awis ini memang sengaja tidak hendak mengkontekstualisasikan ayat-ayat Al-Qur’an, akan tetapi ingin mengajak kita hidup kembali di era sahabat Nabi. Sehingga, kesan saya adalah ketika membaca kitab Gus Awis, kita seakan-akan sedang dibawa untuk berimajinasi ke alam para sahabat Nabi.

Apakah Al-Qur’an Membutuhkan Tafsir?

Pertanyaan di atas penting untuk disampaikan karena memang terjadi silang pendapat di kalangan ulama antara para ulama era klasik (al-mutaqaddimin) dan pos-klasik (al-muta’akhkhirin). Menurut para ulama klasik, dalam hal ini diwakili oleh Ibn Jarir at-Thabari (838-923 M), mengatakan bahwa Al-Qur’an itu sejatinya tidak memerlukan tafsir. Mengapa demikian? Para ulama generasi awal Islam menyatakan pandangan tersebut berbasis pada empat argumen, yaitu: (1) karena ayat-ayat Al-Qur’an itu sudah menafsirkan satu sama lain atau sudah menjadi tafsir atas ayat yang lain (al-Qur’an yufassiru ba‘dluhu ba‘dlan); (2) kemudian, andaikan Al-Qur’an itu belum cukup, maka keberadaan Nabi (hayah al-nabi) itu sudah cukup untuk menjadi tafsir dari Al-Qur’an di era saat itu; (3) ; dan (4) minimnya jumlah riwayat hadis nabi yang menjelaskan tentang penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an.

Poin yang terakhir tersebut terkonfirmasi melalui ungkapan salah satu pakar hadis di abad pertengahan yaitu Ibn Hajar al-‘Asqalani (1372-1449 M). Dalam Fath al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari (spesifiknya dalam subab kitab al-tafsir), Ibn Hajar menyebut bahwa hanya ada 88 hadis Nabi yang menjelaskan tafsiran ayat Al-Qur’an. Hal ini juga telah dikonfirmasi oleh Gus Awis sendiri bahwa jumlah hadis yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kitab Shahihayn (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) memang kurang lebih berjumlah hanya 80-an saja.

Sehingga, temuan tersebut sekaligus mengafirmasi bahwa metode TQbQ itu sebetulnya cukup untuk menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan andaikan di era awal Islam Al-Qur’an belum cukup untuk menafsirkan dirinya sendiri, maka jumlah hadis tentang tafsir Al-Qur’an seharusnya sama secara kuantitatif atau sejumlah dengan ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri. Akan tetapi kenyataannya hanya terdapat 88 hadis atau dalam kata lain hanya 88 ayat saja yang perlu ditafsirkan oleh hadis nabi tersebut.

Di sisi lain, para ulama setelah era tabiin hingga era saat ini justru membolehkan, bahkan memasifkan pergerakan produksi kitab tafsir Al-Qur’an. Pandangan yang demikian muncul setidaknya karena dua alasan, yaitu: Pertama, tingginya sisi linguistik bahasa Al-Qur’an menjadikan generasi saat ini—khususnya kalangan awam—mengalami kesulitan dalam memahami kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Kedua, generasi sahabat atau jayl al-talaqqi merasa tidak membutuhkan adanya kitab tafsir karena memang tingkat kompetensi mereka yang sudah mumpuni dalam memahami bahasa Al-Qur’an, sehingga cukup bagi generasi tersebut untuk sekedar menggunakan metode TQbQ.

Oleh karena itu, jika merujuk pada realitas hari ini, kita butuh penafsiran yang bersifat waqi‘i (kontekstual) dan tidak terlalu mitsaliy (idealistik). Hal ini penting karena seringkali ada gap (jarak) antara Al-Qur’an sebagai idealisme dengan realitas kehidupan umat manusia sebagaimana pernah disinggung oleh Seyyed Hossein Nasr dalam Ideals and Realities of Islam (2001). Itulah mengapa kandungan Al-Qur’an di era saat ini sangat perlu untuk diterjemahkan dan ditafsirkan secara kontekstual. Sehingga, saya berharap kepada Gus Awis agar beberapa tahun ke depan bisa menghasilkan kembali karya tafsir Al-Qur’an yang lebih bersifat kontekstual sebagai upaya menjaga relevansi Al-Qur’an dalam menjawab pelbagai problematika umat (al-Qur’an shalih likulli zaman wa makan).

Sisi Kebaruan Tafsir Hidayat al-Qur’an

Meskipun TQbQ merupakan sebuah manhaj yang sudah lama (qadim), akan tetapi penerapan metode TQbQ dalam sebuah penafsiran Al-Qur’an setidaknya memiliki tiga signifikansi yang juga tak kalah penting, yaitu: (1) untuk membina kembali kehidupan umat (li i‘adah bina’ al-ummah); (2) menghidupkan kembali manhaj Nabi Muhammad dalam menafsirkan Al-Qur’an (li i‘adah manhaj al-rasul fi al-tafsir); dan (3) untuk memahami keterkaitan atau munasabah antara satu ayat dengan ayat Al-Qur’an yang lain (li fahm tarabuth ayat al-Qur’an).

Salah satu hal yang menarik dari karya Gus Awis adalah ia secara tegas menyebut identitasnya sebagai penganut ahlussunnah wal jamaah (sunni) dengan memberikan pernyataan bahwa Al-Qur’an bukanlah makhluk (anna al-Qur’an ghair makhluq) di mukadimah tafsirnya. Selain itu, ia juga menyebutkan ada beberapa maqasid kulliyyah li al-Qur’an (tujuan universal dari diturunkannya Al-Qur’an). Berbicara mengenai maqasid kulliyyah dari Al-Qur’an, Ibn Qayyim al-Jawziyyah (1292-1350 M) menyebut terdapat 10 maqasid, sedangkan Abu Bakr ibn ‘Arabi (1165-1240 M) berpendapat bahwa Al-Qur’an itu diturunkan untuk 3 maqasid. Dalam hal ini, Gus Awis mengambil sikap wasatiyyah atau mengambil sisi tengahnya dengan membagi maqasid kulliyyah li al-Qur’an menjadi enam.

Menariknya, Gus Awis menyebut maqasid yang paling utama dari diturunkannya Al-Qur’an adalah sebagai hidayah al-nas (petunjuk bagi umat manusia). Inilah yang menurut saya menjadi salah satu novelty (kabaruan) dan kehebatan dari tafsir Gus Awis, karena sejauh pembacaan saya belum ada ulama yang menjadikan hidayah al-nas sebagai maqasid kulliyyah dari Al-Qur’an.

Oleh karena itu, sebagai penutup, saya mengajak untuk membaca kitab Hidayat al-Qur’an fi Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an ini bukan hanya sebatas sebagai ilmu, yang lewat dan kemudian mudah hilang, akan tetapi membacanya sebagai hidayah dan sambil direnungkan secara mendalam. Mudah-mudahan dengan mental dan spirit seperti itu menjadikan kita dapat membaca tafsir tersebut sambil mengimajinasikan seolah-olah kita sedang ngaji kepada Ibnu Mas’ud (594-650 M), Ibnu ‘Abbas (619-687 M), Zayd ibn Tsabit (611-665 M), ‘Ikrimah (645-723 M), dan para sahabat nabi lainnya.

[Abdul Kadir Riyadi; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]