Articles

Dalam kitab Nawâdir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Qulyubi (Hal 155), diceritakan bahwa suatu hari Luqman al-Hakim diberi seekor kambing oleh seorang Raja. Sang Raja menyuruh Luqman al-Hakim agar menyembelih kambing tersebut lalu memberikan kepada sang Raja daging yang paling baik dari kambing tersebut. Setelah kambing diterima Luqman al-Hakim segera menyembelih kambing tersebut dan memberikan hati (jantung) dan lidah kepada Sang Raja. Tidak lama kemudian Sang Raja memberikan seekor kambing lagi, Sang Raja juga menyuruh Luqman al-Hakim untuk menyembelihnya namun Sang Raja meminta agar Luqman al-Hakim memberikan kepadanya daging yang paling buruk. Luqman segerah menyembelih kambing tersebut lalu memberikan hati (Jantung) dan Lidah kepada Sang Raja. Sang Raja kemudian heran dan bertanya: “Wahai Luqman ! mengapa engkau aku suruh memberikan daging yang paling baik dan yang paling buruk, namun engkau memberikan daging yang sama, yaitu hati (jantung) dan lidah ?” Luqman al-Hakim menjawab: “Wahai Raja tidak ada daging yang baik daripada hati dan lidah jika keduanya baik, demikian pula tidak ada daging yang paling buruk daripada hati dan lidah jika keduanya buruk”, Sang Rajapun mengatakan: “Benar Engkau Wahai Luqman al-Hakim” Terdapat dua hikmah yang dapat dipetik dari cerita ini, yaitu bahwa dalam diri manusia ada dua anggota badan yang menjadi penentu baik dan buruknya manusia yaitu:

Pertama adalah hati manusia. Terkait dengan peranan hati dalam tubuh manusia imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ingatlah bahwa di dalam jasad ada segumpal daging. Apabila daging itu baik maka menjadi baiklah seluruh jasad. Jika daging itu rusak maka menjadi rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah bahwa daging itu adalah hati” (HR. Bukhari dan Muslim)” Dalam kitab Ihya’ ulum al-Din (Juz III, 2-3) Imam al-Ghazali berkata: “ketahuilan bahwa kemuliaan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya disebabkan karena manusia dapat mengenal Allah, manusia mengenal Allah melalui hatinya bukan anggota badan lainnya, hatilah yang mampu mendekatkan diri manusia kepada Allah, ia bagaikan raja yang memerintahkan rakyatnya, semua anggota badan mengikutinya, baik dan buruknya anggota badan tergantung dari kebaikan dan keburukannya, hati bisa membawa manusia ke derajat tertinggi melebihi malaikat dan menjatuhkan manusia ke tingkat paling rendah melebihi rendahnya hewan” Dalam surat al-A’raf: 179 Allah menyatakan: “dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) banyak dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.

Hati menjadi penentu baik dan buruknya manusia disebabkan karena semua bentuk amal perbuatan manusia tergantung pada niatnya sedangkan niat tergantung dari hati, jika amal perbuatan yang dilakukan itu diniatkan baik maka amal perbuatan itu menjadi baik dan tentu mendapatkan reward (pahala), demikian pula jika amal perbuatan yang dilakukan itu (meskipun baik) namun jika diniatkan dengan niat yang buruk maka amal perbuatan itu menjadi buruk  dan tentu akan mendapatkan punishment (dosa). Terkadang manusia melakukan sholat dengan khusu’ namun niatnya agar dipandangn sebagai orang yang khusuk, terkadang aktif mengeluarkan zakat namun niatnya agar dipandang sebagai orang yang dermawan, terkadang berkali-kali melaksanakan haji dan umroh namun niatnya agar orang lain melihat sebagai orang yang kaya yang hebat dan gemar melakukan ibadah, dan masih banyak yang lainnya. Perbuatan-perbuatan di atas baik namun karena disertai niat yang buruk maka menjadi perbuatan buruk. Sebaliknya terkadang manusia melakukan perbuatan-perbuatan buruk namun karena disertai dengan niat yang baik maka perbuatan itu menjadi baik. Dalam sebuah hadits nabi menyatakan: “Semua amalan itu tergantung dengan niat, dan seseorang akan mendapatkan balasan apa yang dia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)” Ibnu Rajab al-Hanbali (Mahajjah fi Sair al-Daljah: 52). Menyatakan:“Keutamaan/kemulyaan itu tidak akan diraih seseorang dengan banyaknya amal jasmani, akan tetapi diraih dengan ketulusan niat yang benar kepada Allah Swt,  kesesuaianya dengan sunnah Nabi, dan dengan banyaknya pengetahuan dan amalan hati.” Dengan melihat betapa pentingnya peran hati dalam semua aspek kehidupan manusia, maka seyogyanya manusia senantiasa memperbaiki hatinya. Perlu diketahui bahwa bahwa Allah swt tidak melihat bentuk dan postur tubuh serta paras wajah seseorang, tetapi yang dilihat tidak lain adalah hati dan amalan yang dilakukannya. Memperhatikan dan mengoreksi hati harus lebih diutamakan, karena rusaknya hati lebih berbahaya daripada rusaknya anggota badan yang lain. Rusaknya hati akan dirasakan akibatnya tidak hanya terbatas pada si pemiliknya akan tetapi juga orang lain, hal ini berbeda dengan rusaknya anggota tubuh lainnya yang hanya akan dirasakan oleh si pemiliknya saja. Rusaknya hati akan dirasakan si pemiliknya tidak hanya di dunia ini saja, tetapi berlanjut hingga di akhirat, sementara rusaknya anggota badan lainnya, hanya dirasakan di dunia saja.

Kedua adalah lidah (lisan) manusia. Ungkapan bahwa “lidah tak bertulang” menggambarkan mudahnya organ tubuh ini mengelurakan kata-kata yang sering kali dapat menggelincirkan seseorang yang kurang waspada dalam menggunakannya. Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya ada seseorang yang mengucapkan satu kalimat yang di ridhai Allah yang mana kalimat itu dianggap kurang penting, akan tetapi dengan sebab kalimat itu ia diangkat derajatnya oleh Allah ke derajat yang tinggi; Dan sesungguhnya ada seseorang yang mengucapkan satu kalimat yang dimurkai Allah yang mana kalimat itu dianggap kurang penting, akan tetapi dengan sebab kalimat itu ia dimasukkan Allah ke neraka Jahannam.” [HR al-Bukhâri]. Mengomentari hadits di atas imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani (Fathul Bari ala Syarkhi Shahih al-Bukhari: 10, 446) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”kata yang dianggap kurang penting” itu adalah orang tersebut tidak memikirkan akibat (baik manfaat atau madharratnya) terhadap kata yang diucapkan. Ini merupakan peringatan bagi seseorang, bahwa berbicara bukanlah hanya sekedar mengeluarkan kata-kata semata, tetapi ia juga harus memikirkan dan menimbang-nimbang baik dan buruknya apa yang diucapkan. Imam al-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Jika anak Adam (manusia) masuk pada waktu pagi hari, maka seluruh anggota badan mengadu kepada lidah/lisan, mereka berkata: “Takutlah kepada Allah tentang kami, karena sesungguhnya kami bersamamu, jika kamu lurus niscaya kami lurus dan jika kamu bengkok niscaya kami juga bengkok.” (HR. Tirmidzi.)

            Di zaman modern ini, perkataan manusia tidak hanya keluar dari lidah (mulut) saja tetapi  juga keluar dari jari-jari melalui alat-alat media social seperti Hand phone dan lain-lain.  Melalui media sosial, saat ini orang mudah menghina, menghujat, menyebar berita bohong, membuka aib orang lain, mengadu domba, memfitnah dan lain sebagainya. Perkataan yang semula hanya keluar dari lidah (mulut), kini juga keluar melalui jari-jari tangan, bahkan dalam penyebaran dan jangkauannya lebih luas, dan akibatnya lebih berbahaya. Data penelitian UNICEF PBB menyatakan bahwa hampir 80 % terjadinya huru hara dibelahan dunia saat ini diakibatkan berita hoxs. Oleh sebab itu maka penting bagi seseorang untuk tidak hanya memikirkan apa saja yang akan kita omongkan tetapi juga apa saja yang ingin kita tuliskan. Demikian tulisan singkat ini semoga bermanfaat. Amin.

[Abd. Kholid, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]