Articles

Dr. Slamet Muliono Redjosari

Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mengadakan perjalanan guna mengekplorasi manusia yang bersekongkol untuk meredupkan cahaya kebenaran. Persekongkolan jahat untuk menolak risalah kenabian dipelopori oleh mereka yang berlimpah fasilitas dunia. Mereka bersinergi untuk merusak dengan memperkeruh kesucian Al-Qur’an. Kekayaan dan pengaruh buruknya dimaksimalkan untuk menutupi cahaya kebenaran. Namun Allah untuk menantang akan membiarkan mereka tanpa petunjuk-Nya dan hidup dalam kegelapan. Inilah awal kehancuran ketika masyarakat menolak cahaya dan lebih memilih kegelapan.

Penjelajahan Profetik

Perintah menjelajah dunia, bukan sekedar plesir mendapatkan kegembiraan untuk melepaskan penat, atau bekerja mencari nafkah. Mengadakan perjalanan menelusuri dunia guna mengetahui bagaimana manusia-manusia dalam memperlakukan terhadap Tuhannya. Apakah mereka mengagungkan atau menghinakan.

Allah memerintahkan penjelahan untuk melihat bagaimana perilaku manusia dalam memperlakukan terhadap Sang Maha Pencipta dan Pemelihara alam semesta. Mereka yang memperlakukan Tuhannya dengan tidak pantas, maka kesudahannya sangat mengerikan. Dengan demikian, kita akan mengambil Pelajaran. Itulah penjelajahan profetik.

Al-Qur’an menarasikan bahwa manusia dahulu memiliki kekuatan dan memiliki jejak kekayaan yang banyak tetapi tidak taat terhadap aturan dan perintah. Mereka melakukan perbuatan dosa yang tak layak dilakukan oleh pemimpin bumi. Hal ini termaktub sebagaimana firman-Nya :  

أَوَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَيَنظُرُواْ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ كَانُواْ مِن قَبۡلِهِمۡ ۚ كَانُواْ هُمۡ أَشَدَّ مِنۡهُمۡ قُوَّةٗ وَءَاثَارٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ فَأَخَذَهُمُ ٱللَّهُ بِذُنُوبِهِمۡ وَمَا كَانَ لَهُم مِّنَ ٱللَّهِ مِن وَاقٖ

Artinya:

Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu adalah lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allah. (QS. Ghāfir : 21)

Kehidupan mereka yang melimpah harta, justru berbuat bebas tanpa aturan. Berbagai pelanggaran pun mereka lakukan dengan sekehendaknya. Kemewahan dan kesuksesan hidup membuat dirinya lupa diri hingga secara tidak sadar melakukan pelanggaran sosial. Pelanggaran sosial ini sulit dihentikan karena kekayaan dan kekuasaan telah meninabobokkan kehidupan sosial mereka.

Kejahatan terbesar, ketika datang nasehat yang disampaikan oleh seorang rasul. Mereka justru bersinergi untuk melakukan perlawanan dan menutup celah masuknya hidayah dan petunjuk Ilahi. Orang yang hidup berkecukupan itu justru menggerakkan masyarakat untuk melawan guna mempertahankan gaya hidup dan budaya yang selama ini sudah berjalan mengakar. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

وَكَذَٰلِكَ مَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ فِي قَرۡيَةٖ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتۡرَفُوهَآ إِنَّا وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٖ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم مُّقۡتَدُونَ

Artinya:

Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. Az-Zukhruf : 23)

Rasul datang untuk mengajarkan kebaikan dan petunjuk dalam mengagungkan Allah, mereka justru mengagungkan tradisi yang membuat mereka terjerumus dalam kehancuran. Alasan mengikuti jejak nenek moyang menjadi dasar perlawanan terhadap rasul. Ketika diajarkan berkorban untuk Allah, tetapi nenek moyang mereka mengajarkan korban untuk laut, gunung, atau penguasa hutan. Rasul pun membawa bukti kebenaran yang meyakinkan, tetapi mereka justru semakin kuat perlawanannya. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَانَت تَّأۡتِيهِمۡ رُسُلُهُم بِٱلۡبَيِّنَٰتِ فَكَفَرُواْ فَأَخَذَهُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّهُۥ قَوِيّٞ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ

Artinya:

Yang demiklan itu adalah karena telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, lalu mereka kafir; maka Allah mengazab mereka. Sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Keras hukuman-Nya. (QS. Ghāfir : 22)

Merendahkan Al-Qur’an

Ketika disodorkan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pendoman terbaik, mereka justru mengotori dan merendahkannya. Mereka mengira bahwa Al-Qur’an bisa dibuat sekehendak hati yang membawanya. Rasul dituduh bisa membuat-buat ayat. Mereka melecehkan Al-Qur’an seolah bisa dibuat oleh siapa saja. Rasul pun diminta membuat Al-Qur’an sebagai cara untuk merendahkan Al-Qur’an.  Hal ini diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya :

وَإِذَا لَمۡ تَأۡتِهِم بِـَٔايَةٖ قَالُواْ لَوۡلَا ٱجۡتَبَيۡتَهَا ۚ قُلۡ إِنَّمَآ أَتَّبِعُ مَا يُوحَىٰٓ إِلَيَّ مِن رَّبِّي ۚ هَٰذَا بَصَآئِرُ مِن رَّبِّكُمۡ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ

Artinya:

Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al-Quran kepada mereka, mereka berkata, “Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?” Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhan-ku kepadaku. Al-Quran ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhan-mu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Al-‘A`rāf : 203)

Perlakuan merendahkan Al-Qur’an pun dibalas Allah dengan ancaman berat. Allah mengancam mereka dengan membiarkan hidup tanpa aturan, sehingga di antara mereka akan saling mengklaim kebenaran, tanpa ada aturan yang menjadi rujukan kebenaran. Ancanan Allah dijelaskan sebagaimana firman-Nya :

قُل لَّوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَا تَلَوۡتُهُۥ عَلَيۡكُمۡ وَلَآ أَدۡرَىٰكُم بِهِۦ ۖ فَقَدۡ لَبِثۡتُ فِيكُمۡ عُمُرٗا مِّن قَبۡلِهِۦٓ ۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ

Artinya:

Katakanlah, “Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu”. Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya . Maka apakah kamu tidak memikirkannya? (QS. Yūnus : 16)

Hancur dan kekacauan di tengah masyarakat, ketika aturan menurut selera hawa nafsu. Hawa nafsu tidak bisa dijadikan standar kebenaran. Karena masing-masing orang memiliki hawa nafsu yang sulit dikendalikan. Hawa nafsu menginginkan untuk menumpuk harta dan mempertahankan kekuasaan di tengah kemiskinan dan kesengsaraan masyarakat. uang dan para pengikut buta pun dikerahkan untuk melakukan pembenaran.

Hawa nafsu tidak bisa dikendalikan kecuali oleh kematian dan kebinasaan. Betapa banyak kaum terdahulu berakhir dengan bencana dan pemusnahan. Hal itu karena tidak ada cara lain untuk menghentikan hawa nafsu kecuali dengan pembinasaan. Kehendak Allah untuk menghancurkan suatu kaum, tidak bisa dibendung, ketika manusia sudah berani mengotori Al-Qur’an dengan meremehkan dan menghinakannya.

Surabaya, 29 Mei 2025