Articles

Dr. Slamet Muliono Redjosari

Alam semesta merupakan manifestasi nyata dari kekuasaan dan keesaan Allah. Seluruh fenomena alam, mulai dari tumbuhnya benih hingga pergantian siang dan malam, merupakan bukti otentik yang mengarah kepada keberadaan dan keagungan Sang Pencipta. Namun akal yang tersekulerkan tidak mendorong hati untuk mengakui tanda-tanda kebesaran Tuhan. Melihat fenomena alam, manusia tidak menyembah Allah, tetapi justru meniadakan-Nya. Itulah fenomena akal yang tersekulerkan. Dakwah Nabi Ibrahim kepada ayahnya, dan peringatan Nabi Musa kepada Fir’aun merupakan upaya sadar agar akalnya berfungsi secara maksimal. Dengan akal yang berfungsi untuk mengakui kebesaran dan keagungan Allah.

Kebesaran Allah

Fenomena Alam yang terbentang di alam semesta sengaja dipertontonkan Allah kepada manusia agar berpikir yang berujung untuk mentauhidkan Allah. Allah menunjukkan bahwa tumbuhan dan biji-bijian tidak muncul dengan sendirinya, tetapi karena kekuasaan Allah. Manusia yang memfungsikan akal dengan benar, maka akan mengenal siapa penciptanya.

Dengan kata lain, berbagai makhluk hidup yang ada di alam semesta sebagai tanda kekuasaan Allah dan lemahnya manusia. Hal ini tidak lain sebagai cara Allah menunjukkan kebesaran-Nya, dan manusia diharapkan tidak berpaling menyembah kepada yang lain. Hal ini dijelaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

إِنَّ اللَّهَ فَالِقُ الْحَبِّ وَالنَّوَىٰ ۖ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَمُخْرِجُ الْمَيِّتِ مِنَ الْحَيِّ ۚ ذَٰلِكُمُ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ تُؤْفَكُونَ

“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling?” (QS. Al-An’ām: 95)

Ayat ini secara eksplisit mengajak manusia untuk menggunakan akal sehat dalam memahami realitas alam yang sejatinya mengarah kepada pengakuan terhadap ke-Esaan Tuhan. Namun, penyimpangan terjadi karena berbagai faktor yang menyebabkan akal kehilangan fungsinya. Inilah yang disebut kesyirikan profetik.

Al-Qur’an menegaskan bahwa ujung dari segala bentuk perenungan dan pengetahuan tentang alam dan kehidupan haruslah bermuara pada penghambaan kepada Allah. Setelah menguraikan tentang tanda-tanda kekuasaan-Nya. Allah menegaskan hal itu sebagaimana firman-Nya :

ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ ۚ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

“(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.” (QS. Al-An’ām: 102)

Disfungsi Akal  

Perjuangan dakwah Nabi Ibrahim kepada ayahnya, menunjukkan kerja cerdas. Nabi Ibrahim mempertanyakan apakah berhala bisa mendatangkan kebaikan bagi kehidupan. Praktek penyembahan berhala yang mereka buat sendiri, merupakan hal yang tak masuk akal. Nabi Ibrahim menggugah akal sehat ayahnya yang bekerja sebagai pembuat patung yang akan disembah Bersama. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً مِّن دُونِ اللَّهِ ۖ إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar: ‘Mengapa kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.'” (QS. Al-An’ām: 74)

Apa yang diperjuangkan Nabi Musa untuk menyadarkan Fir’aun agar Kembali menyadari adanya kekuasaan Allah. Fir’aun mengalami disfungsi akal, sehingga mengaku dirinya sebagai Tuhan. Dia ingin disembah padahal tak memiliki peran apa-apa dalam penciptaan. Puncak kejahatan Fir’aun ketika dia mendeklarasikan dirinya sebagai penguasa alam semesta. Hal ini dnarasikan Al-Qur’an sebagaimana dfirman-Nya :

فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ

“Lalu dia berkata: ‘Akulah tuhanmu yang paling tinggi.'” (QS. Al-Nāzi‘āt: 24)

Kekuasaan absolut membuat dirinya leluasa berbuat kedzaliman. Kesombongan semakin bsar karena kekuasaan yang langgeng. Hal ini telah membutakan akalnya sehingga tidak mampu lagi menerima kebenaran. Padahal Nabi Musa telah mempertunjukkan kekuasaan Allah dengan berbagai mukjizat yang dilihat langsung oleh Fir’aun. Hawa nafsu telah mengendalikan dirinya sehingga menutup suara hati dan jalan pikiran yang sehat.

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya…” (QS. Al-Jātsiyah: 23)

Al-Qur’an juga menunjukkan bahwa mengikuti tradisi nenek moyang telah membunuh akal kritis. Dengan dalil melestarikan tradisi, mereka menolak risalah yang mengajak dan mengakui kekuasaan Allah yang telah memberikan segalanya. Al-Qur’an mengingatkan hal itu sebagaimana firman-Nya :

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘Tidak! Kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.'” (QS. Al-Baqarah: 170)

Penyimpangan manusia dalam menyembah kepada selain Allah bukan karena kurangnya bukti atau dalil, tetapi karena akal yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Al-Qur’an berkali-kali menyeru agar manusia menggunakan akal dan hati nurani mereka untuk kembali kepada tauhid. Sebab hanya dengan akal yang tunduk kepada wahyu, manusia dapat memahami bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat yang layak disembah.

Tugas para nabi dan rasul adalah mengembalikan fungsi akal agar tak tersekulerkan ketika melihat tanda-tanda kekuasaan Allah. Fenomena alam yang terbentang seharusnya membuat akal manusia semakin kokoh dalam mengagungkan Allah. Namun yang banyak terjadi, akal manusia tersekulerkan, dan mendegradasi peran Allah sebagai satu-satunya Tuhan.

Surabaya, 31 Mei 2025