Column
Oleh: Achmad Room Fitrianto, SE., M.E.I., MA., Ph.D.
Wadek 3 FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya

Buku “Rich Dad Poor Dad” karya Robert Kiyosaki merupakan karya yang menginspirasi banyak orang untuk memahami pentingnya pendidikan finansial dan investasi. Kiyosaki menceritakan pengalamannya dengan dua sosok ayah yang memiliki pendekatan berbeda terhadap uang dan kehidupan: “Ayah Kaya” yang cerdas secara finansial dan “Ayah Miskin” yang memiliki pendidikan formal tetapi kurang paham tentang keuangan. Ayah Kaya mengajarkan konsep investasi, manajemen risiko, dan pentingnya memiliki aset yang menghasilkan pendapatan pasif. Sebaliknya, Ayah Miskin percaya bahwa pendidikan formal dan pekerjaan yang stabil adalah kunci kesuksesan, meskipun kurang dalam pengelolaan keuangan yang bijak.

Konsep-konsep dalam “Rich Dad Poor Dad” dapat diaplikasikan secara efektif dalam pengelolaan perguruan tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Keagamaan (Islam) seperti UIN, IAIN, dan STAIN, dalam upaya menuju status world class university. Perguruan tinggi ini dapat mengadopsi prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Ayah Kaya, seperti investasi dalam aset, manajemen risiko, dan pengembangan sumber daya yang berkelanjutan, untuk mencapai kesejahteraan finansial dan kesuksesan akademis.

Writers University: Kampus Para Penulis

Mengembangkan Writers University merupakan langkah strategis dalam mengimplementasikan prinsip “Ayah Kaya” dari buku “Rich Dad Poor Dad” karya Robert Kiyosaki. Dalam konteks ini, Writers University tidak hanya berarti mendorong dosen dan mahasiswa untuk menulis, tetapi juga menciptakan iklim akademik yang mendukung dan memfasilitasi kegiatan penelitian dan penulisan. Ini penting untuk mencegah munculnya fenomena “Profesor Kangkung” atau “Profesor Discontinued,” yang merujuk pada akademisi yang berhenti produktif menulis setelah meraih gelar professor dan atau menggunakan jurnal discontinue sebagai karya fenomenal mereka sebagai profesor.

Pembibitan penulis di perguruan tinggi harus dimulai dengan membangun iklim akademik yang kondusif. Ini bisa dicapai melalui beberapa langkah strategis. Pertama, kampus perlu menyediakan platform dan kesempatan bagi dosen dan peneliti muda untuk berkolaborasi dengan dosen dan peneliti senior. Kolaborasi ini dapat meningkatkan kualitas penelitian dan tulisan karena melibatkan berbagai perspektif dan pengalaman. Dosen senior, dengan pengalamannya, dapat memberikan bimbingan dan mentoring yang penting bagi dosen dan peneliti muda dalam merancang, melaksanakan, dan mempublikasikan penelitian. Hal ini tidak hanya membantu meningkatkan kualitas hasil penelitian, tetapi juga membantu menghindari munculnya “penelitian abal-abal” yang tidak memiliki kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan.

Kedua, perguruan tinggi harus mendorong budaya menulis dengan menyediakan berbagai fasilitas dan dukungan. Ini termasuk menyediakan akses yang mudah ke jurnal ilmiah, perpustakaan digital, dan software penulisan akademik. Selain itu, universitas juga harus menyediakan pelatihan menulis akademik dan workshop publikasi yang berkelanjutan. Pelatihan ini penting untuk memastikan bahwa dosen dan mahasiswa memiliki keterampilan yang diperlukan untuk menulis karya ilmiah berkualitas tinggi.

Ketiga, penghargaan dan insentif juga memainkan peran penting dalam mendorong produktivitas menulis. Perguruan tinggi bisa memberikan insentif berupa penghargaan atau bonus bagi dosen dan peneliti yang berhasil mempublikasikan karya di jurnal bereputasi atau yang menulis buku yang diakui secara akademis. Penghargaan ini bisa berupa pengakuan akademik, dana tambahan untuk penelitian, atau bahkan promosi jabatan. Dengan demikian, menulis dan mempublikasikan karya ilmiah menjadi aktivitas yang tidak hanya diharapkan, tetapi juga dihargai dan didukung.

Keempat, untuk mencegah fenomena “Profesor Gedebog Pisang,” yaitu profesor yang tidak lagi produktif setelah mencapai puncak karier akademik, universitas harus menetapkan kebijakan yang mendukung produktivitas berkelanjutan. Ini bisa meliputi penilaian kinerja tahunan yang mencakup publikasi, serta pengabdian pada masyarakat dan kegiatan akademik lainnya. Dengan cara ini, universitas dapat memastikan bahwa profesor dan doktor tetap aktif dalam berkontribusi pada bidang keilmuan mereka.

Penting juga untuk memperkuat budaya akademik yang menghargai keaslian dan kualitas di atas kuantitas. Publikasi tidak boleh dilihat hanya sebagai angka dalam CV, tetapi sebagai kontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan dan masyarakat. Dengan demikian, perguruan tinggi dapat menghindari sindrom “Profesor Kangkung” yang berfokus pada pencapaian gelar tanpa substansi.

Mengembangkan Writers University, dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut, tidak hanya akan meningkatkan reputasi akademis perguruan tinggi, tetapi juga mempersiapkan mahasiswa dan dosen untuk menjadi kontributor aktif dalam dunia akademik dan profesional. Ini sejalan dengan konsep aset dalam “Rich Dad Poor Dad,” di mana karya tulis dan publikasi menjadi aset intelektual yang dapat menghasilkan keuntungan jangka panjang, baik dalam bentuk pengakuan akademis, peluang pendanaan, maupun kerjasama internasional. Dengan demikian, Writers University dapat menjadi katalisator utama bagi perguruan tinggi keagamaan Islam untuk mencapai status world-class university.

Engagement University: Kampus yang Dekat dengan Masyarakat

Dalam buku “Rich Dad Poor Dad,” Robert Kiyosaki menekankan pentingnya investasi dalam aset yang memberikan manfaat jangka panjang. Dalam konteks perguruan tinggi, ini dapat diwujudkan melalui keterlibatan aktif dengan masyarakat. Engagement University adalah konsep di mana kampus berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat melalui program pendampingan, pelatihan, dan pengabdian. Perguruan tinggi keagamaan, khususnya, memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan (agent of change) di masyarakat, dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial, kebaikan bersama, dan moralitas.

Pendekatan Participatory Action Research (PAR) adalah salah satu cara di mana perguruan tinggi dapat memainkan peran ini. PAR melibatkan masyarakat dalam setiap tahap penelitian, dari perencanaan hingga pelaksanaan dan evaluasi. Dengan melibatkan komunitas lokal, PAR membantu mengidentifikasi masalah-masalah yang nyata dan relevan serta mencari solusi bersama. Pendekatan ini tidak hanya menghasilkan pengetahuan yang lebih kaya dan relevan, tetapi juga memperkuat posisi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, menjembatani hubungan relasi kuasa yang tidak seimbang. Dengan cara ini, perguruan tinggi keagamaan tidak hanya menjadi sumber ilmu pengetahuan, tetapi juga fasilitator perubahan sosial yang memberdayakan komunitas.

Selain itu, pendekatan Asset-Based Community Development (ABCD) dapat digunakan untuk membangun kesadaran komunitas tentang aset dan potensi yang mereka miliki. ABCD berfokus pada kekuatan dan sumber daya yang ada dalam komunitas, daripada hanya menyoroti kekurangan dan masalah. Perguruan tinggi keagamaan dapat berperan dalam memetakan aset-aset lokal seperti keterampilan, pengetahuan tradisional, jaringan sosial, dan infrastruktur. Dengan mendorong masyarakat untuk mengenali dan memanfaatkan aset-aset ini, kampus dapat membantu komunitas untuk menjadi lebih mandiri dan berdaya. Ini juga menciptakan peluang bagi mahasiswa untuk belajar langsung dari masyarakat dan memahami dinamika sosial-ekonomi yang kompleks.

Service learning adalah pendekatan lain yang dapat menghubungkan dunia pembelajaran di kampus dengan pengalaman nyata di masyarakat. Dalam service learning, mahasiswa terlibat dalam proyek-proyek pengabdian masyarakat sebagai bagian dari kurikulum mereka. Ini tidak hanya memperkaya pembelajaran akademik, tetapi juga membangun empati, keterampilan praktis, dan kesadaran sosial di kalangan mahasiswa. Melalui kemitraan dengan organisasi masyarakat, lembaga pemerintah, atau sektor swasta, perguruan tinggi keagamaan dapat memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan masyarakat sekaligus menyediakan pengalaman belajar yang bermakna bagi mahasiswa.

Perguruan tinggi juga dapat memainkan peran sebagai inkubator bagi Social Entrepreneurs, individu atau kelompok yang ingin menciptakan perubahan sosial melalui inovasi dan kewirausahaan. Dengan menyediakan dukungan berupa pelatihan, akses ke jaringan, dan pendanaan awal, kampus dapat membantu mengembangkan inisiatif-inisiatif sosial yang berfokus pada isu-isu seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Social entrepreneurship tidak hanya mendorong solusi kreatif untuk masalah-masalah sosial, tetapi juga menumbuhkan semangat kewirausahaan di kalangan mahasiswa dan anggota komunitas.

Dengan mengadopsi pendekatan-pendekatan ini, perguruan tinggi keagamaan dapat menjadi pusat perubahan sosial yang signifikan. Mereka dapat membentuk agen perubahan yang bekerja menuju masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. Dalam proses ini, kampus tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk mengejar ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai katalisator untuk pembangunan komunitas dan transformasi sosial. Dengan demikian, Engagement University tidak hanya mendekatkan kampus dengan masyarakat, tetapi juga memperkaya kehidupan akademik dan sosial dari semua pihak yang terlibat.

Pro Poor University: Kampus yang Dekat dengan Masyarakat yang Kurang Beruntung

Dalam bukunya, “Rich Dad Poor Dad,” Robert Kiyosaki menekankan pentingnya investasi untuk masa depan, terutama dalam hal pendidikan dan pembentukan aset jangka panjang. Perguruan tinggi keagamaan dapat mengadopsi prinsip ini dengan berfokus pada inklusivitas dan aksesibilitas, menjadikan dirinya sebagai Pro Poor University. Ini berarti bahwa perguruan tinggi tersebut harus berkomitmen untuk menyediakan pendidikan yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi yang kurang beruntung. Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi tidak hanya memenuhi misinya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga memainkan peran penting dalam membentuk masa depan bangsa dengan menciptakan jaringan alumni yang beragam dan berpengaruh.

Program satu keluarga satu sarjana adalah salah satu inisiatif yang dapat diimplementasikan oleh perguruan tinggi keagamaan untuk mendukung tujuan inklusivitas. Program ini bertujuan untuk memastikan bahwa setidaknya satu anggota dari setiap keluarga di Indonesia memiliki kesempatan untuk meraih gelar sarjana. Untuk mencapai ini, perguruan tinggi keagamaan dapat memanfaatkan konsep frugal innovation, yaitu inovasi yang bertujuan untuk menghasilkan solusi berkualitas tinggi dengan biaya yang rendah. Dalam konteks pendidikan, frugal innovation dapat diterapkan melalui berbagai cara, seperti penyediaan kursus online dengan biaya minimal, penggunaan teknologi untuk mengurangi biaya operasional, serta pengembangan kurikulum yang efisien namun tetap berkualitas.

Selain itu, perguruan tinggi keagamaan juga dapat menawarkan alternatif pembiayaan untuk biaya kuliah. Salah satu contohnya adalah program green UKT (Uang Kuliah Tunggal), di mana mahasiswa dapat membayar biaya kuliah mereka dengan cara mencicil. Program ini bisa lebih mendidik dan ramah lingkungan jika diintegrasikan dengan inisiatif seperti Bank Sampah, di mana mahasiswa dapat mengumpulkan dan mengelola sampah plastik dan kertas sebagai bentuk pembayaran cicilan. Melalui program ini, mahasiswa tidak hanya belajar tentang manajemen keuangan tetapi juga berkontribusi dalam menjaga lingkungan.

Untuk mendukung mahasiswa dari latar belakang kurang mampu, perguruan tinggi juga dapat bermitra dengan lembaga filantropi. Kemitraan ini dapat membantu menyediakan beasiswa dan bantuan keuangan lainnya, sehingga mahasiswa yang berpotensi namun tidak mampu secara finansial tetap dapat mengakses pendidikan tinggi. Lembaga filantropi ini dapat berasal dari berbagai sektor, termasuk perusahaan swasta, yayasan amal, maupun donasi dari individu-individu yang peduli terhadap pendidikan.

Pentingnya menyediakan akses pendidikan tinggi yang inklusif dan terjangkau tidak hanya berdampak pada individu yang bersangkutan, tetapi juga pada komunitas dan bangsa secara keseluruhan. Ketika lebih banyak orang dari berbagai latar belakang mendapatkan kesempatan untuk mengejar pendidikan tinggi, mereka tidak hanya memperluas kesempatan kerja mereka sendiri tetapi juga membawa perubahan positif bagi komunitas mereka. Alumni dari latar belakang yang beragam cenderung membawa perspektif dan solusi yang beragam pula, yang pada gilirannya dapat memperkaya ekosistem akademik dan profesional di Indonesia.

Dengan demikian, perguruan tinggi keagamaan yang mengadopsi pendekatan Pro Poor University tidak hanya memperkuat perannya sebagai lembaga pendidikan tetapi juga sebagai agen perubahan sosial. Melalui berbagai inisiatif seperti program satu keluarga satu sarjana, frugal innovation, green UKT, dan kemitraan dengan lembaga filantropi, perguruan tinggi ini dapat menjadi pilar dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif, adil, dan sejahtera.

Islamic Moderate University: Menjadi Kampus Rahmatan Lil Alamin

Dalam bukunya, Robert Kiyosaki menekankan pentingnya nilai dan etika dalam kehidupan keuangan dan bisnis. Prinsip ini dapat diaplikasikan ke dalam pengelolaan perguruan tinggi keagamaan dengan menanamkan nilai-nilai Islam moderat sebagai fondasi pendidikan dan manajemen kampus. Perguruan tinggi ini, yang dikenal sebagai Islamic Moderate University, berperan penting dalam mempromosikan toleransi, inklusivitas, dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan kampus. Dengan demikian, mereka tidak hanya berfungsi sebagai pusat pendidikan, tetapi juga sebagai pusat moral yang menegakkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin—rahmat bagi seluruh alam.

Salah satu cara efektif untuk mempromosikan toleransi dan moderasi beragama adalah melalui program cultural immersion dan religion immersion. Program-program ini dirancang untuk memberikan pengalaman langsung kepada mahasiswa tentang keberagaman budaya dan agama, dengan tujuan memperluas wawasan mereka dan meningkatkan pemahaman serta penghormatan terhadap perbedaan. Dalam konteks perguruan tinggi keagamaan, program cultural immersion dapat melibatkan mahasiswa dalam kegiatan yang memperkenalkan mereka pada berbagai tradisi budaya, seni, dan nilai-nilai masyarakat yang berbeda. Sementara itu, religion immersion memungkinkan mahasiswa untuk mengalami dan mempelajari praktik-praktik keagamaan dari agama-agama lain, yang dapat menumbuhkan rasa hormat dan penghargaan terhadap keyakinan yang berbeda.

Sebagai bagian dari upaya ini, program KKN (Kuliah Kerja Nyata) dengan fokus pada moderasi beragama perlu ditingkatkan intensitas dan level pelaksanaannya. KKN moderasi beragama dapat menjadi platform penting bagi mahasiswa untuk terlibat langsung dengan masyarakat yang beragam secara budaya dan agama. Dalam program ini, mahasiswa dapat ditempatkan di komunitas-komunitas dengan keberagaman agama yang tinggi, di mana mereka dapat bekerja sama dengan anggota komunitas dalam berbagai proyek sosial dan pendidikan. Melalui interaksi langsung ini, mahasiswa tidak hanya dapat belajar tentang kehidupan sehari-hari dan tantangan yang dihadapi oleh komunitas-komunitas ini, tetapi juga dapat mengaplikasikan pengetahuan mereka tentang moderasi beragama dalam konteks nyata.

Untuk meningkatkan efektivitas program KKN ini, perguruan tinggi keagamaan dapat mengembangkan kurikulum khusus yang mencakup pelatihan tentang moderasi beragama dan teknik mediasi konflik. Mahasiswa dapat dilatih untuk menjadi fasilitator dalam dialog antaragama dan antarbudaya, serta belajar bagaimana mengatasi stereotip dan prasangka. Selain itu, perguruan tinggi dapat bekerja sama dengan organisasi-organisasi non-pemerintah, lembaga keagamaan, dan komunitas lokal untuk memastikan bahwa program-program ini tidak hanya berdampak positif pada mahasiswa, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat yang dilayani.

Dengan mempromosikan program-program seperti cultural immersion, religion immersion, dan KKN moderasi beragama, perguruan tinggi keagamaan dapat memainkan peran kunci dalam membangun masyarakat yang lebih toleran dan inklusif. Mereka dapat menjadi tonggak toleransi dan moderasi beragama, di mana mahasiswa diajarkan untuk melihat keberagaman sebagai kekayaan, bukan ancaman. Melalui pendekatan yang holistik ini, Islamic Moderate University tidak hanya mendidik generasi muda dengan pengetahuan akademis, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk menjadi agen perubahan yang membawa pesan damai dan kasih sayang dalam interaksi sosial mereka. Ini adalah langkah penting menuju membentuk generasi yang mampu membawa pesan Islam yang rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia, mempromosikan harmoni dan kesejahteraan universal.

Entrepreneur University: Mendorong Kewirausahaan

Ayah Kaya dalam buku “Rich Dad Poor Dad” menekankan pentingnya kewirausahaan dan memiliki bisnis sendiri sebagai cara untuk mencapai kebebasan finansial. Dalam konteks perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi keagamaan, konsep ini dapat diimplementasikan melalui pengembangan Entrepreneur University. Konsep ini bukan hanya sekadar mengajarkan kewirausahaan dalam kurikulum, tetapi juga membangun ekosistem yang mendukung pengembangan bisnis dan inovasi di kalangan mahasiswa dan dosen. Dengan mengintegrasikan kewirausahaan dalam program pendidikan, perguruan tinggi dapat menjadi tonggak penting dalam mengembangkan kewirausahaan nasional di Indonesia.

Indonesia saat ini membutuhkan peningkatan jumlah entrepreneur untuk mencapai status negara maju. Berdasarkan data terbaru, hanya sekitar 64 juta warga Indonesia yang tercatat sebagai entrepreneur. Ini berarti hanya sekitar 4% dari total populasi yang terlibat dalam kewirausahaan, sedangkan idealnya sebuah negara maju membutuhkan antara 4-10% penduduknya untuk menjadi entrepreneur. Perguruan tinggi keagamaan memiliki potensi besar untuk mendukung pencapaian ini, mengingat peran mereka sebagai pusat pendidikan dan pengembangan karakter.

Untuk menjadi tonggak kewirausahaan nasional, perguruan tinggi keagamaan dapat mengembangkan pusat-pusat kewirausahaan yang didukung dengan pembiayaan yang memadai. Ini termasuk mendirikan “entrepreneur hub” yang menyediakan ruang kerja dan fasilitas lengkap bagi mahasiswa, staf, dan akademisi untuk mengembangkan ide-ide bisnis dan startup. Entrepreneur hub ini harus dilengkapi dengan akses teknologi mutakhir, bimbingan dari mentor berpengalaman, dan program pelatihan kewirausahaan yang komprehensif.

Selain itu, perguruan tinggi dapat menjalin kemitraan strategis dengan lembaga penyedia modal, seperti perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Kemitraan ini akan memberikan akses yang lebih mudah bagi mahasiswa dan dosen untuk mendapatkan pendanaan awal bagi startup mereka. Pendanaan ini sangat penting untuk membantu mereka mengatasi hambatan finansial yang sering kali menjadi kendala utama dalam memulai bisnis. Dengan adanya dukungan finansial yang kuat, perguruan tinggi dapat mendorong terciptanya lebih banyak entrepreneur muda yang inovatif dan siap bersaing di pasar global.

Entrepreneur University juga harus mencakup komponen pengajaran yang kuat dalam kurikulum, termasuk kursus-kursus yang berfokus pada pengembangan keterampilan bisnis, manajemen risiko, pemasaran, dan strategi bisnis. Kurikulum ini harus dirancang untuk tidak hanya memberikan pengetahuan teoritis tetapi juga pengalaman praktis melalui proyek-proyek nyata, magang, dan program inkubasi bisnis. Pengalaman praktis ini akan memberikan mahasiswa kepercayaan diri dan keterampilan yang diperlukan untuk memulai dan menjalankan bisnis mereka sendiri.

Dengan mendorong kewirausahaan, perguruan tinggi keagamaan dapat menciptakan generasi lulusan yang tidak hanya mencari pekerjaan tetapi juga menciptakan pekerjaan. Hal ini sejalan dengan filosofi Ayah Kaya yang menekankan pentingnya menciptakan aset yang dapat menghasilkan pendapatan. Perguruan tinggi yang berhasil menciptakan lingkungan yang mendukung kewirausahaan juga dapat menarik minat investor dan membangun jaringan dengan dunia industri, sehingga memperkuat ekosistem startup di dalam kampus.

Selain memberikan manfaat ekonomi, pengembangan Entrepreneur University juga memberikan dampak sosial yang signifikan. Mahasiswa yang terlibat dalam kewirausahaan cenderung lebih mandiri, inovatif, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Mereka dapat berkontribusi pada pembangunan ekonomi lokal dengan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Lebih jauh lagi, lulusan yang sukses dalam dunia bisnis dapat memberikan kontribusi kembali kepada almamater mereka melalui donasi, endowment, dan dukungan lainnya, yang pada gilirannya akan memperkuat kemampuan finansial perguruan tinggi.

Secara keseluruhan, pengembangan kewirausahaan di perguruan tinggi keagamaan tidak hanya akan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional tetapi juga memperkuat peran mereka sebagai pusat inovasi dan pendidikan. Dengan mempersiapkan mahasiswa untuk menjadi entrepreneur yang sukses, perguruan tinggi keagamaan dapat menjadi agen perubahan yang signifikan dalam membangun Indonesia sebagai negara yang maju dan berdaya saing tinggi.

Kesimpulan

Kesimpulan dari tulisan di atas dapat dihubungkan dengan konsep “Ayah Kaya” dan “Ayah Miskin” dalam buku “Rich Dad Poor Dad” oleh Robert Kiyosaki. Dalam konteks pengelolaan perguruan tinggi keagamaan, “Ayah Kaya” mewakili mentalitas pengelola dan kementerian yang menekankan pentingnya kewirausahaan, inovasi, dan pendidikan keuangan sebagai jalan menuju kesuksesan dan kebebasan finansial. Seperti Ayah Kaya yang mengajarkan untuk memiliki aset dan menghasilkan pendapatan pasif, perguruan tinggi keagamaan dapat menjadi pusat pengembangan kewirausahaan nasional. Mereka dapat melakukannya dengan membangun entrepreneur hub yang mendukung mahasiswa dan staf dalam menciptakan startup, menyediakan fasilitas dan dukungan pembiayaan, serta menjalin kemitraan dengan lembaga keuangan.

Sebaliknya, “Ayah Miskin” melambangkan pendekatan yang lebih konvensional dan kurang proaktif, yang mungkin lebih fokus pada pendidikan formal tanpa memperhatikan pentingnya keterampilan praktis dalam mengelola uang dan berinvestasi. Dalam hal ini, perguruan tinggi dan kementerian yang berfokus hanya pada pencapaian akademis tanpa memperkenalkan konsep kewirausahaan dan manajemen keuangan mungkin akan tertinggal dalam menciptakan lulusan yang siap menghadapi tantangan ekonomi modern.

Dengan mengadopsi mentalitas “Ayah Kaya”, perguruan tinggi keagamaan tidak hanya akan mencetak lulusan yang siap kerja tetapi juga mereka yang siap menciptakan lapangan kerja. Ini penting untuk memastikan keberlanjutan dan relevansi mereka dalam dunia yang terus berubah, serta berkontribusi secara signifikan terhadap kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat.