Misbakhul Munir, S.Si., M.Kes. Dosen FST UINSA
Hari ini tepat tanggal 1 Juni 2025, kita Bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila—sebuah momentum historis sekaligus reflektif untuk kembali merenungi nilai-nilai dasar negara. Pancasila bukan sekadar teks normatif yang tertulis di pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, melainkan fondasi ideologis, spiritual, dan etis yang seharusnya membumi dalam perilaku, kebijakan, dan cara berpikir bangsa. Di Tahun 2025 ini, tantangan bangsa semakin kompleks, mulai dari krisis multidimensi, ketimpangan sosial, polarisasi politik, ancaman terhadap kebhinekaan, hingga penetrasi budaya global yang mengikis nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia.
Merujuk pada realitas tersebut, ada salah satu gagasan dalam salah satu cabang ilmu biologi- bioteknologi-yang cukup menarik untuk dibahas yakni Teknik atau proses PCR (Polymerase Chain Reaction ) dalam kaitannya dengan Pancasila. Gagasan tentang bagaimana “Proses PCR” dengan pendekatan simbolik dapat dijadikan alat reflektif dan praktis dalam membumikan Pancasila di tengah permasalahan bangsa saat ini PCR dalam dunia bioteknologi diartikan sebagai salah satu metode untuk menciptakan jutaan hingga miliaran salinan dari segmen Deoxyribonucleic Acid (DNA) tertentu, yang memungkinkan ilmuwan untuk melipatgandakan sampel DNA yang sangat sedikit hingga mencapai jumlah yang cukup untuk dipelajari secara detail. DNA adalah asam nukleat yang mengandung informasi genetik yang menentukan karakteristik makhluk hidup. Ia seperti cetak biru atau “blue print” yang menyimpan instruksi untuk membangun dan menjalankan tubuh, menentukan ciri fisik dan pewarisan sifat dari orang tua ke anak. Metode PCR ini ditemukan pada tahun 1983 oleh Kary Mullis, ahli biokimia Amerika Serikat. Secara garis besar, sejumlah kecil urutan DNA diperbanyak secara eksponensial melalui rangkaian siklus perubahan suhu untuk memperkuat (amplifikasi) fragmen DNA secara berulang-ulang agar bisa terbaca dan dimaknai. Metaforanya sangat dalam: jika Pancasila dianggap sebagai DNA ideologis bangsa, maka tugas kita adalah melakukan “PCR ideologis” untuk memperkuat ekspresi dan aplikasinya dalam kehidupan nyata bangsa Indonesia.Kita ketahui Bersama, Pancasila terdiri dari lima sila yang mewakili nilai-nilai universal yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Jika negara ini adalah organisme hidup, maka Pancasila adalah DNA yang membentuk identitas, arah perkembangan, dan respons imun bangsa terhadap tantangan.
Sayangnya, dalam konteks kekinian yang dianggap modern ini, ekspresi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari mengalami degradasi. Sebuah survei LIPI (2023) menunjukkan bahwa sekitar 38% pelajar SMA tidak bisa menyebutkan sila-sila Pancasila secara lengkap. Ini adalah tanda bahwa DNA ideologis bangsa mulai terfragmentasi atau setidaknya tidak teramplifikasi secara tepat.
PCR yang merupakan teknik dalam biologi molekuler mengajarkan kita bagaiman proses memperbanyak bagian tertentu dari DNA dengan tahap-tahap yang dilakukan secara siklik yakni tahap denaturasi, annealing, dan ekstensi. Jika kita gunakan sebagai metafora ideologis, maka kita dapat membayangkan proses bahwa pada tahap denaturasi diartikan sebagai tahap untuk menyadari bahwa nilai-nilai bangsa telah mengalami kerusakan atau penyimpangan. Artinya, kita harus “mencairkan” dogma palsu dan membuka kembali ruang berpikir kritis tentang siapa kita sebagai bangsa. Jika direfleksikan dalam Pendidikan maka mungkin perlu revisi kurikulum agar tidak sekadar menghafal Pancasila, tetapi memahami maknanya secara kontekstual.
Selanjutnya pada tahap Annealing dapat direfleksikan sebagai tahapan untuk merekatkan kembali nilai-nilai asli Pancasila ke dalam sistem kehidupan—baik melalui pendidikan, kebijakan , maupun budaya. Di bidang Pendidikan perlu dikembangkan pendidikan karakter berbasis Pancasila misal dengan melakukan Integrasi dalam semua jenjang pendidikan, bukan hanya dalam mata pelajaran PPKn, tetapi dalam metode pengajaran, interaksi sosial, dan budaya sekolah.
Pada tahap yang ketiga yakni Ekstensi maka ini dapat direfleksikan sebagai Proses memperkuat dan memperluas nilai-nilai Pancasila agar hadir dalam berbagai lini kehidupan masyarakat—ekonomi, hukum, sosial, dan institusi negara dan sebagainya. Masyarakat digital Indonesia harus melek etika, bertanggung jawab, dan tidak memperlebar terjadinya segregasi sosial. Adanya teknologi deepfake, rekayasa genetika, bahkan Artificial Intelligencebisa membahayakan manusia jika tidak dibarengi nilai kemanusiaan.
Dengan pendekatan ini, harapannya upaya untuk membumikan Pancasila bukan hanya sebagai slogan belaka, melainkan suatu proses yang sistematis dan ilmiah dalam membangun kembali struktur ideologis bangsa.
Tahun 2025 diwarnai oleh sejumlah tantangan besar seperti masih adanya luka polarisasi Politik sebagai residu dari proses Pemilu 2024. Disamping itu juga adanya tantangan disinformasi dan ujaran kebencian mewarnai banyak terjadu di ruang publik. Hal ini tentu dapat merusak semangat sila ketiga yakni Persatuan Indonesia. Menurut data Kominfo, terdapat lebih dari 3.000 hoaks politik yang tersebar di media sosial selama masa kampanye. Ini mengindikasikan adanya kerusakan etika komunikasi dan berpolitik yang seharusnya dilandasi nilai-nilai Pancasila.
Data BPS pada kuartal I tahun 2025 menunjukkan bahwa indeks Gini atau Koefisien Gini-(ukuran yang digunakan untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan atau kekayaan dalam suatu populasi)-Indonesia naik menjadi 0,404. Indeks tersebut mencerminkan adanya ketimpangan yang kian melebar. Sila kelima tentang keadilan sosial menjadi semakin sulit direalisasikan jika tidak ada reformasi kebijakan berbasis nilai-nilai Pancasila.
Maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, dan bullying menunjukkan krisis moral yang cukup serius. Nilai kemanusiaan, empati, dan keadaban semakin terpinggirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adanya Kerusakan lingkungan akibat pertambangan, proses deforestasi, dan pembangunan yang tidak berkelanjutan mencerminkan lemahnya penerapan nilai kerakyatan dan keadilan terhadap alam sebagai bagian dari kehidupan.
Dengan menjadikan Pancasila sebagai fondasi etika ilmiah, Indonesia bisa membentuk generasi saintis, politisi, dan profesional yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter.
Lalu bagaimana Peran Generasi Muda dalam PCR Ideologis ini? Generasi muda adalah “polymerase” dalam PCR ideologis ini. Peran mereka antara lain sebagai Agent of Amplification yang berfungsi Menyuarakan nilai-nilai Pancasila dalam dunia maya dan nyata; Agent of Healing (Menjadi penengah di tengah polarisasi dan perpecahan sosial) serta Agent of Transformation yang menginisiasi inovasi sosial dan teknologi berbasis nilai kebangsaan.
Program seperti Kampus Merdeka Berpancasila, Desa Cerdas Berbasis Pancasila, dan Tech for Humanity bisa menjadi inkubator untuk memperkuat DNA ideologis bangsa.
Membumikan Pancasila tidak cukup dengan seremoni, pidato, atau baliho. Harus ada transformasi dari simbolisme ke aksi dari hafalan ke keteladanan, dari seremoni ke implementasi dan dari idealisme ke strategi nyata.
Pancasila bukan milik masa lalu, melainkan masa depan. Ia harus hidup dalam kebijakan negara, perilaku rakyat, serta denyut nadi teknologi dan sains masa kini. Pada Pada Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2025 ini, marilah kita tidak sekadar mengenang, tetapi melakukan amplifikasi nilai seperti dalam proses PCR. Kita “denaturasi” penyimpangan nilai, “annealing” kembali Pancasila ke dalam sistem kehidupan, dan “ekstensi” prinsip-prinsipnya dalam berbagai aspek kebangsaan. Bangsa Indonesia bisa bertahan bukan karena kekuatan militer atau kekayaan alamnya semata, melainkan karena DNA ideologisnya yang kokoh yakni Pancasila. Namun DNA yang baik sekalipun bisa redup jika tidak direplikasi, diperkuat, dan dibumikan. Mari jadikan Pancasila bukan sekadar teks di dinding kelas, tapi juga prinsip hidup, etika profesi, dasar kebijakan, dan denyut kehidupan bermasyarakat. (Wallohu a’lam bishowab)
“Selamat Hari Lahir Pancasila. Mari kita lakukan PCR nilai, bukan hanya untuk menguji, tetapi untuk memperkuat DNA bangsa”