
Target capaian publikasi di jurnal terindeks Scopus memang menarik secara retoris, bahkan terkesan ambisius. Namun, orientasi tersebut dapat dikembangkan secara lebih produktif apabila disertai dengan sentuhan konseptual dari tasawuf, khususnya melalui gagasan Tazkiyah al-‘Aqliyah sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Ghazali. Kritik terhadap rendahnya kematangan intelektual para akademisi di perguruan tinggi memang sah-sah saja, tetapi narasi semacam ini sebaiknya tidak berhenti pada sindiran historis membandingkan antara Oxford University dengan Peradaban Majapahit tanpa membuka ruang reflektif bagi dialog etnografis.
Seandainya pada era Majapahit telah dikenal sistem publikasi seperti Scopus, tentu tokoh seperti Empu Tantular penulis kitab Sutasoma pada tahun 1350 M (lihat J. Ensink, On the Old Javanese Cantakaparwa and Its Tale of Sutasoma, 1967:4), dan Empu Prapanca penulis kitab Negarakertagama pada tahun 1365 M (lihat J.L.A. Brandes, Kakawin Nagarakretagama, 1973:3), jauh lebih klasik dengan Empu Bharada penulis kitab Pararaton pada 1222 M tentang Singahasari (lihat J.L.A. Brandes, Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit, 1897), akan tercatat sebagai pemikir besar yang sangat berpengaruh dalam dunia akademik klasik. Ketiganya merupakan warisan intelektual yang menunjukkan tingginya peradaban literasi pada masa itu. Empu Bharada, Empu Tantular dan Empu Prapanca dikenal sebagai rakawi dan pustakawan keraton yang bertugas menjaga serta mengembangkan khazanah intelektual dan spiritual Majapahit, serta memperoleh kehormatan tinggi dari institusi kerajaan. Otoritas Keraton Majapahit sebagai pusat kebudayaan dan keagamaan memiliki lembaga intelektual tempat naskah-naskah disalin, disimpan, dan disebarluaskan secara sistematis oleh para rakawi untuk menjamin keasliannya. Dalam konteks tersebut, gelar guru besar kiranya layak disematkan kepada mereka.
Korelasi lebih klasik dapat ditarik dengan figur Imam al-Ghazali (1058-1111 M). Meskipun tidak mengenal konsep ketenaran akademik maupun sistem pengindeksan seperti Scopus, beliau tetap produktif menulis sejak usia muda, dengan semangat spiritual yang kuat dan sikap hidup yang bersahaja. Setiap karya yang ia hasilkan lahir dari proses kontemplatif dan laku tirakat intelektual yang mendalam, mulai dari risalah yang tipis hingga karya-karya besar seperti Ihya’ ‘Ulum al-Din. Andaikan publikasi Scopus telah dikenal pada zamannya, bisa jadi Imam al-Ghazali tetap akan berhati-hati dan bersikap wara’, menjaga kesucian akal (Tazkiyah al-‘Aqliyah) agar tidak tercampur dengan ambisi duniawi.Imam al-Ghazali, yang semasa hidupnya dikenal sebagai seorang filosof dan sufi besar (mutasawwif), bahkan telah melampaui semangat ilmiah yang kini dipersonifikasikan oleh sistem akademik modern. Pada tahun 484 H / 1091 M, ia diangkat menjadi guru besar di Madrasah Nizhamiyyah di Baghdad salah satu universitas Islam paling prestisius pada masanya, namun dedikasinya semata-mata tertuju pada pencapaian mardhāti allāh, bukan mardātun māliyya. Karena itulah, dalam pandangan sufistik, poin dan koin akan lenyap dalam kefanaan (fanā’), dan keberkahan ilmu menjadi sangat penting untuk dijaga, agar ilmu tidak menjadi sarana pemujaan duniawi, melainkan jalan menuju Tuhan.
Dengan demikian, alih-alih terjebak dalam dikotomi bahwa Majapahit lebih konvensional, sementara Oxford University sudah modern, akan lebih konstruktif jika narasi dialihkan pada pertanyaan yang lebih esensial: bagaimana membangun etos keilmuan yang tidak hanya bersifat kuantitatif seperti jumlah publikasi tetapi juga memperhatikan kualitas dan dimensi spiritual, sejalan dengan prinsip-prinsip Tazkiyah al-‘Aqliyah.
Secara etimologis, Tazkiyah al-‘Aqliyah terdiri dari dua kata. Pertama, kata tazkiyah, menurut Lisān al-‘Arab karya Ibnu Manẓūr (1984: Jilid-14 h-358), berasal dari akar kata zakkā – yuzakkī – tazkiyah, yang berarti menyucikan atau membersihkan. Dalam konteks ini, tazkiyah merujuk pada upaya menyucikan diri dari kotoran atau dosa, baik secara fisik maupun spiritual. Kedua, kata al-‘Aqliyyah berasal dari kata ‘Aql, yang berarti mengikat, menggunakan akal, serta mencerminkan kecerdasan (1984: Jilid-11 h-458). Dengan demikian, Tazkiyah al-‘Aqliyah dapat dimaknai sebagai proses penyucian pikiran dari kesombongan intelektual, prasangka, serta dorongan hawa nafsu duniawi, agar seseorang mampu menerima dan memahami kebenaran dengan jernih dan rendah hati. Menurut penulis, Akal perlu dibimbing oleh wahyu Tuhan agar berada di jalan keselamatan, serta melalui tuntunan kitab suci-Nya.Tazkiyah al-‘Aqliyah, merujuk pada istilah yang digunakan oleh Imam al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn (1971:14–15), di mana dijelaskan bahwa akal merupakan sumber dan fondasi utama dari ilmu. Akal adalah ciptaan pertama Allah dalam diri manusia, dan melalui akal itulah manusia dimuliakan di atas makhluk lainnya. Jika hal ini dikaitkan dengan pencapaian publikasi ilmiah, maka produktivitas akademik termasuk publikasi di jurnal bereputasi seperti Scopus, idealnya merupakan ekspresi dari akal yang telah mengalami proses penyucian. Bukan sekadar upaya mengejar validasi global, tetapi sebuah refleksi dari niat tulus untuk memberi manfaat, membangun ekosistem keilmuan yang etis, dan menjembatani secara transformatif antara sains dan agama.
Imam al-Ghazali dalam Mi‘yār al-‘Ilm fī Fann al-Manṭiq (1927:20), menyatakan bahwa ilmu adalah bentuk keyakinan rasional atau kepastian akal yang diperoleh melalui berbagai sumber: pengamatan inderawi (ḥissiyyāt), pengetahuan intuitif (badīhiyyāt), informasi yang bersifat mutawatir, perasaan batin (wijdāniyyāt), eksperimen (tajrībiyyāt), serta prinsip-prinsip naluriah yang bersifat logis (qaḍāyā fiṭriyyah qiyāsiyyah). Seluruh proses ini diverifikasi oleh akal, yang kemudian memutuskan kebenaran atau kesalahannya. Pada bab Darajāt al-Naẓar wa al-Ḥurriyyah wa al-Istiqlāl (1927:19), al-Ghazali mengajukan kritik penting: bahwa kebenaran tidak akan terungkap dari balik tirai kecuali dengan memenuhi sejumlah syarat penting, salah satunya adalah memotong segala bentuk penghalang yang menghambat kesungguhan pencarian kebenaran. Syarat itu meliputi keikhlasan dan semangat pencari ilmu yang terbebas dari kecintaan berlebihan terhadap dunia, yang menjadi penghambat utama dalam pencarian makna sejati.
Senada dengan Ibnu ‘Aṭā’illah dalam Miftāḥ al-Falāḥ wa Miṣbāḥ al-Arwāḥ fī Dzikr Allāh al-Karīm al-Fattāḥ (2018:42) mengingatkan bahwa rezeki lahir diperoleh melalui gerakan jasmani, rezeki batin melalui gerakan ruhani, rezeki sirr (rahasia ilahiah) melalui keheningan, dan rezeki akal diperoleh ketika seseorang mengalami fanā’ dalam diam, yakni saat ia diam karena Allah dan bersama Allah. Dalam konteks ini, nutrisi ruhani dan hati adalah dzikir kepada Allah, Dzat yang mengetahui segala yang gaib.
Badiuzzaman Said Nursi dalam al-Maktūbāt (2017:9) juga menggarisbawahi bahwa seseorang yang telah mengalami pencerahan ruhani dapat merasakan keindahan yang bersih, baik, dan suci. Ia akan melihat kefanaan dunia sebagai jalan menuju pembaruan kenikmatan, penyingkapan keindahan ciptaan, serta bentuk cinta dan kekaguman terhadap Sang Pencipta. Pesan penutupnya menegaskan: al-Bāqī huwa al-Bāqī, artinya Yang kekal hanyalah Dzat Yang Mahakekal.
Dalam paradigma ilmiah modern, produktivitas kerap diukur melalui indikator-indikator formal seperti jumlah publikasi, jumlah sitasi, dan pengakuan dalam basis data global seperti Scopus. Namun, jika ditinjau dari kerangka filosofis dan spiritual yang ditawarkan oleh Imam al-Ghazali, tugas seorang ilmuwan sesungguhnya memuat dimensi yang jauh lebih mendalam daripada sekadar mengejar validasi akademik.
Konsep Tazkiyah al-‘Aqliyah atau penyucian akal sebagaimana dijelaskan dalam Mi‘yār al-‘Ilm fī Fann al-Manṭiq karya Imam al-Ghazali, menegaskan bahwa akal bukan semata-mata instrumen berpikir formal-logis, melainkan juga merupakan sarana untuk mendekati kebenaran melalui niat yang tulus, kebijaksanaan, dan tujuan moral dalam proses pencarian ilmu. Dalam konteks ini, seorang ilmuwan tidak semestinya menjadikan kecerdasan sebagai alat dominasi atau kompetisi belaka, melainkan harus memfungsikannya sebagai jalan menuju al-Ḥaqq (kebenaran), al-Khayr (kebaikan), dan al-Jamāl (keindahan).
Implikasinya, produktivitas ilmiah termasuk dalam bentuk publikasi bereputasi, hendaknya menjadi ekspresi dari akal yang telah disucikan, yang terbebas dari kepentingan duniawi semata, tidak didorong oleh ambisi pribadi untuk ketenaran akademik, serta tidak tunduk pada logika pasar dan kekuasaan. Dalam perspektif ini, kritik terhadap realitas akademik di lingkungan kampus sebaiknya tidak berhenti pada keluhan, tetapi dijadikan sebagai pijakan untuk membangun kembali semangat keilmuan yang seimbang: antara akal dan hati, antara capaian teknis dan pencerahan rohani.
Inilah yang dimaksud Imam al-Ghazali sebagai jalan ilmu yang membawa berkah dan kebermanfaatan bukan semata ketenaran. Kesuksesan al-Ghazali dalam dunia keilmuan tidak hanya terletak pada keluasan wawasan atau banyaknya karya yang ia hasilkan, melainkan pada proses Tazkiyah al-‘Aqliyah yang melandasi setiap langkahnya dalam berpikir dan menulis. Al-Ghazali tidak menulis demi ketenaran, apalagi demi akreditasi lembaga seperti Madrasah Nizhamiyyah di Baghdad. Ia menulis karena dorongan batin yang jernih dan visi keilmuan yang berpijak pada tanggung jawab rohani. Karya-karyanya seperti Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn lahir dari proses panjang perenungan, kontemplasi, dan pembelajaran lintas ilmu baik yang bersifat eksoteris maupun esoteris.
Bandingkan dengan narasi akademik dalam tulisan rekan kita sebelumnya yang berjudul “Scopus dan Tazkiyah an-Nafs”, di mana istilah Scopus cenderung diposisikan sebagai tujuan akhir, bukan sebagai buah alami dari proses keilmuan yang matang dan mendalam. Dalam lanskap semacam ini, produktivitas ilmiah tidak lagi dimaknai sebagai hasil dari Tazkiyah al-‘Aqliyah, tetapi justru terkadang menjadi pelarian dari kegelisahan akademik yang tidak tuntas dan tidak jernih. Maka lahirlah kecenderungan instan, mengejar publikasi tanpa melewati proses intelektual yang panjang; masuk ke jurnal tanpa menimbang mutu akademiknya; bahkan mengabaikan nilai-nilai etika demi sekadar dapat berkata published.
Kondisi ini sangat kontras dengan kesungguhan Imam al-Ghazali ketika menghadapi krisis eksistensial dan keraguan intelektual tentang hakikat kebenaran, yang menurutnya tidak dapat diselesaikan hanya melalui nalar rasional dan perdebatan teologis (kalam). Pengalaman ini mendorongnya untuk secara tiba-tiba meninggalkan jabatannya pada tahun 488 H / 1095 M dan mengasingkan diri dalam perjalanan spiritual selama hampir satu dekade. Ia berkelana ke Damaskus (di Masjid Umawi), Yerusalem, Hijaz (untuk berhaji), dan akhirnya kembali ke kampung halamannya di Ṭūs. Dalam masa penyepiannya, al-Ghazali tidak menulis untuk mengejar status akademik atau publikasi cepat, melainkan sebagai bagian dari proses penyucian akal melalui perenungan, dzikir, dan riyāḍah intelektual yang mendalam. Ia hidup dalam ketegangan spiritual antara raja’ (harapan akan rahmat Allah) dan khauf (takut akan riya’ dan kesia-siaan ilmu).
Jika Imam al-Ghazali justru mencapai maqām keilmuan tertingginya setelah menjauh dari hiruk-pikuk dunia akademik dan menempuh jalan batin, maka banyak akademisi modern justru terjebak dalam formalitas administratif yang melelahkan, yang sering kali kehilangan dimensi rohaniah. Akibatnya, akal menjadi letih, dan nafsu akademik tidak tersaring secara etis, membuka ruang bagi praktik-praktik tidak etis seperti plagiarisme, kolaborasi semu, hingga publikasi di jurnal predator.
Dalam pandangan Imam al-Ghazali, seorang ilmuwan sejati adalah mujāhid pejuang di medan ilmu. Medan ini bukan hanya menuntut kecerdasan dan ketekunan, tetapi juga pemurnian niat, penyucian akal, dan penguatan dimensi spiritual. Publikasi ilmiah yang sejati bukanlah produk dari akal yang terobsesi pada dunia, tetapi dari akal yang telah disucikan dan terhubung dengan Dzat Yang Maha Kekal “al-Bāqīy.”Ibnu ‘Aṭā’illah dalam Ṭaj al-‘Arūs al-Ḥāwī li-Tahdhīb al-Nufūs (2011: 276) mengingatkan bahwa ilmu yang tidak dibarengi dengan kedekatan kepada Allah cenderung menjadi sesuatu yang merusak, karena pemiliknya lebih berorientasi pada popularitas dan dunia. Ilmu yang bermanfaat adalah yang membimbing kepada ketaatan, menumbuhkan rasa takut kepada Allah, dan menjaga rambu-rambu syariat-Nya (2011: 277). Sebaik-baik ilmu adalah yang disertai dengan khauf, sebagaimana firman Allah dalam QS. Fāṭir [35]: 28: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” Ilmu yang tidak dibarengi rasa takut tidak akan membawa kebaikan, bahkan pemiliknya tidak pantas disebut sebagai ‘ālim (orang yang berilmu) (2011: 278).
Pencapaian publikasi di jurnal bereputasi seperti Scopus dapat dipahami sebagai sarana Tazkiyah al-‘Aqliyah itu sendiri yakni penyucian akal melalui proses berpikir yang kritis, jujur, dan bertanggung jawab, serta penyucian nafsu melalui ketekunan, kerendahan hati dalam menghadapi penolakan, dan kesabaran dalam menjalani proses revisi. Ini sejalan dengan prinsip mujāhadah dalam tradisi tasawuf: bahwa setiap langkah dalam menempuh ilmu harus dilalui dengan kesungguhan (ṣidq) dan keikhlasan (ikhlāṣ). Oleh karena itu, solusinya bukanlah menolak praktik publikasi, melainkan membangun kultur akademik yang mengedepankan proses yang panjang, reflektif, dan spiritual dalam setiap pencapaian ilmiah.
Seperti yang dicontohkan oleh Imam al-Ghazali, integritas dalam keilmuan tidak boleh dikorbankan demi popularitas. Maka, akademisi masa kini pun hendaknya tidak mengorbankan kualitas dan etika ilmiah demi memenuhi target formal seperti “One Article, One Semester”. Di sinilah urgensi meneladani sikap al-Ghazali. Ia menunjukkan bahwa kesungguhan dalam menuntut ilmu tidak terletak pada kecepatan, tetapi pada keikhlasan, kesabaran, dan kejernihan niat. Karya monumentalnya, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, ditulis dalam kurun waktu sepuluh tahun, dalam suasana batin yang telah dibersihkan dari ambisi duniawi bukan di tengah hiruk-pikuk kompetisi akademik. Ia tidak gentar terhadap kritik, namun juga tidak menggantungkan diri pada pujian. Ia menghayati ketegangan spiritual antara raja’ (harapan bahwa tulisannya menjadi amal jariyah) dan khauf (rasa takut jika ilmunya justru menjadi hijab yang menyesatkan).
Sebagaimana dicatat oleh Ṣāliḥ Aḥmad al-Shāmī dalam al-Imām al-Ghazālī: Ḥujjat al-Islām wa Mujaddid al-Mi’ah al-Khāmisah (1993: 238–239), al-Ghazali menegaskan bahwa akal semata tidaklah cukup tanpa bimbingan syariat, dan syariat tidak akan sempurna tanpa keterlibatan akal. Orang yang menyeru kepada taklid buta dengan menyingkirkan peranan akal adalah orang yang jahil; sebaliknya, orang yang merasa cukup dengan akalnya sendiri tanpa menyinari pikirannya dengan cahaya al-Qur’an dan Sunnah adalah orang yang tertipu. Karena itu, janganlah menjadi bagian dari keduanya. Jadilah pribadi yang menghimpun keduanya secara utuh. Sebab, ilmu akal laksana gizi yang menguatkan, sedangkan ilmu syariat bagaikan obat yang menyembuhkan.
Penulis mengutip dua sanad ijazah doa’ dari Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani dalam Syawāriq al-Anwār min Ad‘iyat al-Sādah al-Akhyār (2020: 73) dan dari Kiai Hamim Jazuli dalam Dzikrul Ghafilin (1993: 34), yaitu:اللّهم اجعل الدّنيا تحت أيدينا ولا تجعلها في قلوبنا ولاتجعل الدّنيا أكبر همّنا ولا مبلغ علمنا
Artinya: Ya Allah, jadikan dunia berada di bawah tanganku saja, jangan sampai masuk terpikir dalam hatiku, dan jangan jadikan dunia itu pusat keprihatinanku (yang banyak dipikir hanya dunia saja), dan janganlah menjadi terminal Ilmuku (jangan sampai ilmuku untuk mencari dunia).
Doa ini mencerminkan orientasi spiritual yang mendalam bahwa dunia semestinya menjadi sarana, bukan tujuan. Ilmu, dalam pandangan ini, tidak seharusnya diarahkan untuk meraih kemegahan duniawi, melainkan sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah dan mengabdi kepada kebenaran Nya.