Column

Setiap 1 Juni kita memperingati Hari Lahir Pancasila. Peringatan ini memberikan gambaran tentang sakralitas kelahiran Pancasila sehingga perlu terus menerus dikenang. Atas dasar ini, cukup beralasan bila ia ditetapkan sebagai hari libur nasional berdasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 tahun 2016, walau hari kelahiran Pancasila tahun ini bertepatan dengan hari Minggu. Karenanya, jangan lewatkan kesakralannya begitu saja dengan hanya peringatan-peringatan, sementara tidak ada pikiran dan tindakan serius menghadirkan peringatannya sebagai usaha untuk memberikan dampak pada mentalitas dalam proses menghadirkan nilai-nilai Pancasila semakin nyata sebagai dasar ideologi berbangsa dan bernegara.

Secara historis, penetapan Pancasila secara redaksional __sebagaimana kita ketahui dalam lima sila selama ini__ tidaklah sekali jadi, melainkan melalui proses diskusi panjang antar elemen anak bangsa yang sangat melelahkan. Diskusi itu disinyalir hampir menjadi pemantik konflik antar mereka. Tapi, memang nuansa jelang kemerdekaan secara psikologis dapat dengan mudah menyatukan kembali antar mereka sebab yang terpikirkan ketika itu adalah tujuannya sama, yakni bagaimana mewujudkan bangsa Indonesia benar-benar sebagai bangsa yang merdeka.

Diskusi dimulai dari rapat BPUPKI yang diadakan pada tanggal 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945. Mereka yang rapat berasal dari asal usul yang berbeda-beda, baik dari agama, suku maupun cara berpikir ideologis. Karenanya, menyatukan pandangan dalam mencari format ideal-ideologis bagi tatanan kebangsaan dan kenegaraan membutuhkan pikiran yang besar sehingga muncul beberapa pandangan dari para tokoh dalam forum ini. Menariknya, rumusan Pancasila akhirnya dibacakan pada tanggal 1 Juni 2025 oleh Ir. Soekarno, dan menjadi sebab tanggal ini sebagai hari lahirnya Pancasila.

Selanjutnya, diskusi tentang Pancasila terus masih berlangsung antar elemen anak bangsa hingga melahirkan apa yang disebut dengan rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Adanya Piagam Jakarta ini harus diakui menuai banyak persoalan sebab melahirkan dinamika baru __untuk tidak mengatakan kontestasi baru__ antar elemen anak bangsa sebab bangsa ini dibangun bukan milik satu kelompok tertentu sebagaimana tersirat dalam 7 kata dalam sila pertama, yakni “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Secara substansi kalimat “Syari’at Islam” sangat problematik, baik di internal umat Islam, apalagi bagi Non-Muslim yang menjadi mayoritas di beberapa daerah di Indonesia, khususnya Indonesia bagian Timur. Karenanya, tanggal 18 Agustus 1945 menjadi sejarah penting bagi pengesahan UUD 1945, termasuk pengesahan 5 sila dalam Pancasila. Dikatakan penting secara Ideologis sebab 7 kata yang bergulir menyertai sejarah sila-sila dalam Pancasila, akhirnya diganti dengan sila pertama sebagaimana kita ketahui hari ini, yaitu Ketuhanan yang maha esa.

Itulah kilas balik sejarah singkat proses kelahiran hingga penetapan Pancasila sebagai dasar ideologi bangsa dan negara. Fakta sejarah ini harus diakui dan direnungkan agar kita, khususnya generasi muda, tidak mudah tergoda oleh ideologi lain sebab ideologi Pancasila lahir ___mengutip Ir. Soekarno__ dari perasan atau semacam sari pati dari nilai-nilai kultural masyarakat Indonesia yang unik dan beragam suku, agama dan ras.

Sebagai Living Values

Ideologi Pancasila sudah final, dan tak perlu diperdebatkan lagi. Kalaupun ada sebagian pihak yang ingin mempersoalkan berarti ia sedang akan mengalami proses keterputusan dengan sejarah sebab terpengaruh oleh ideologi lain. Atau bisa jadi sedang putus asa dalam melihat realitas kekinian bernegara, misalnya penyakit sosial tidak kunjung tuntas (seperti penyakit korup, rakus dan sejenisnya). Alih-alih mewujudkan keadilan semesta bagi semua rakyat Indonesia, sementara kekayaan negara masih sering menjadi “bancaan” segelintir orang. Karenanya, ia katakan Pancasila sudah tidak relevan lagi sebagai dasar ideologi bangsa.

Untuk itu, Pancasila adalah konsep ideal ideologi bangsa, dan sudah final adanya. Tapi, menghadirkannya sebagai “living values” harus terus menerus __bahkan wajib __ dilakukan oleh semua elemen anak bangsa, terlebih para pemangku kebijakan harus menjadi garda terdepan. Bukankah sejak orde lama, orde baru hingga orde reformasi dan sekarang ini masih tetap bergerak dalam kerangka ideal ideologi Pancasila, padahal nyatanya setiap era selalu memunculkan persoalan dalam konteks politik kebangsaan; mulai adanya perlawanan kelompok yang menginginkan ideologi komunis, perlawanan kelompok Islam yang tidak puas kepada kebijakan negara hingga lahirnya pemerintahan otoriter, korup dan sejenisnya.

Pancasila sebagai “living values” adalah meng-andaikan bagaimana nilai-nilai Pancasila yang termuat dalam 5 sila menjadi nilai positif yang membumi dalam menyertai kehidupan kita sehari-hari. Mempraktikkan Pancasila selamanya tidak akan final sebab tantangan terus berjalan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, apalagi hari ini kontestasi dengan nilai lain sangat terbuka seiring dengan mudahnya informasi menyebar melalui media sosial sehingga merangsek pada setiap individu.

Sebagai modal agar semangat ber-Pancasila sebagai “living values” dapat terus bergerak menjadi spirit mentalitas kita dalam berbangsa. Pertama, perlu merenungkan kembali sila pertama yang berbumi “Ketuhanan yang Maha Esa.” Sila ini sengaja diletakkan oleh para pendiri bangsa __sebagaimana ditemukan dalam banyak referensi__ bukan tanpa alasan. Ada filosofinya kaitan sila pertama diletakkan paling atas, yaitu bahwa sila-sila yang ada di bawahnya yang terdiri dari empat sila adalah gambaran dari proses manisfetasi dari subtansi nilai sila pertama.

Maksudnya, ketuhanan yang maha esa, bila diyakini dengan tulus dan menjadi “living values” akan melahirkan semangat nilai yang ada dalam empat sila Pancasila. Orang yang taat beragama, tapi pada konteks yang berbeda melakukan tindakan kepada orang lain dengan cara-cara yang tidak adil, maka religiusitas yang dilakukan masih tidak sempurna. Begitu juga, yang taat beragama, tapi selalu menjadi pemantik konflik sosial hingga merusak persatuan antar sesama, maka ketaatannya masih bersifat semu sebab terjebak pada individualis-vertikal. Mengingat, puncak ketaatan seseorang kepada Allah SWT semestinya akan melahirkan tindakan sosial terbaik dari pelakunya kepada orang lain. Tidak salah bila kemudian, semua ibadah seringkali kesempurnaannya diukur sejauh mana ia memberikan dampak baik dalam ruang sosial nyata.

Kedua, mentalitas yang kuat. Mentalitas yang dimaksud adalah mentalitas ideologis dalam memahami Pancasila. Mentalitas ini memang tidak muncul tiba-tiba, tapi perlu ditanamkan setiap saat. Ibarat keimanan yang selalu mengalami naik turun, mentalitas ideologis berPancasila bisa juga mengalami proses naik dan turun. Maka menghadirkan Pancasila sebagai “living values” dibutuhkan sosok yang lebih berpikir besar dan jangka panjang, tidak berpikir kecil dan jangka pendek dengan hanya bertujuan untuk pemenuhan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya.

Maraknya budaya korupsi atau masih adanya ketimpangan sosial bagi rakyat miskin bisa jadi karena nilai-nilai Pancasila belum terpraktikkan secara maksimal. Sebut saja, korupsi yang sampai hari ini masih sering terjadi terpraktikkan oleh elite politisi sangat bertentangan dengan sila pertama sebab bagian dari prilaku dholim dengan mengambil hak yang bukan semestinya. Bukan hanya itu, korupsi melahirkan kemiskinan baru dalam ruang sosial terkecil, bahkan bisa berdampak pada negara. Bukankah ini juga sangat bertentangan dengan nilai keadilan dan keadaban yang ada dalam sila ke dua, yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Untuk itu, nilai Pancasila yang belum terpraktikkan harus menjadi perhatian semua. Pastikan bahwa mengamalkan substansi nilai-nilai Pancasila dengan penuh ketulusan adalah bukti ketaatan kepada negara, sekaligus wujud dari pengamalan nilai-nilai Islam sebab lima sila itu hampir tidak ada pertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Karenanya, Pancasila bukanlah agama baru, sebagaimana dikatakan para pemikir, tapi nilai-nilai Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Last but not least. Selamat memperingati Hari Kelahiran Pancasila, 1 Juni 2025. Jadikan kelahirannya sebagai momentum melakukan renungan bersama untuk tetap setia dalam alam pikiran hingga alam tindakan nyata dalam mempraktikkan nilai-nilai Pancasila. Nuansa kehidupan sosial boleh terus berubah seiring dengan kemajuan tehnologi, tapi membumikan ideologi Pancasila selamanya tidak boleh kendur sedikitpun. Pasalnya, tindakan apapun yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, bukan hanya merusak tatanan individu dan sosial, tapi juga akan mengancam masa depan Indonesia dengan segala karakternya yang ada dalam spirit tagline “Bhinneka Tunggal Ika”.