Semua makhluk berjalan menuju Tuhan dan tidak ada satu pun yang ingin menyelisihi jalan-Nya. Namun jalan menuju Tuhan tidaklah mulus, tetapi menjumpai banyak jalan menyimpang. Al-Qur’an menarasikan bahwa kebanyakan manusia menempuh dan mengambil jalan lain selain yang ditetapkan Tuhan. Disitulah awal mula terjadi kesesatan dan penyimpangan dari jalan yang benar. Ketika banyak penyimpangan dari jalan yang benar itulah, maka Nabi diutus untuk meluruskan jalan manusia menuju Tuhan. Salah memilih jalan menuju Tuhan bukan hanya merusak jalan hidup di dunia tetapi mengkapling tempat kehinaan di akherat.
Satu Jalan Menuju Tuhan
Tuhan menetapkan cara yang tepat untuk menempuh kemuliaan, namun manusia dengan akalnya justru tak mengindahkan petunjuk Tuhan. Akal sebagai anugerah terbaik tidak dimanfaatkan untuk memudahkan jalan menuju Tuhan, tetapi justru menjerumuskannya menuju jalan yang sesat. Hal inilah yang membuat manusia semakin jauh dari Tuhan.
Banyaknya sarana menuju Tuhan membuat akal bingung dan tak terbimbing dengan baik. Hal ini membuat manusia terjerumus dengan menempuh jalan yang semakin menjauhkan dirinya dari Tuhan. Fenomena penyembahan terhadap makhluk di langit (bintang, bulan, atau matahari), atau makhluk di bumi (gunung, sungai, laut, pohon), semakin menegaskan adanya salah jalan menuju Tuhan. Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa seluruh makhluk di langit dan bumi menempuh jalan menuju Tuhan. Hal ini sebagaimana termaktub di dalam firman-Nya :
قُل لَّوۡ كَانَ مَعَهُۥٓ ءَالِهَةٞ كَمَا يَقُولُونَ إِذٗا لَّٱبۡتَغَوۡاْ إِلَىٰ ذِي ٱلۡعَرۡشِ سَبِيلٗا
Katakanlah, “Jikalau ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai arasy”. (QS. Al-‘Isrā : 42)
Alih-alih menemukan jalan menuju Tuhan, manusia yang mengandalkan akalnya justru tidak menemukan jalan terbaik menuju Tuhan. Akalnya justru merasa sombong sehingga tidak menjadikan dirinya semakin dekat dengan Tuhan, tetapi semakin menjauh dan menghinakan dirinya di hadapan Sang Pencipta dan Pemelihara kehidupan.
Manusia terkadang salah dalam mengagumi seseorang, sehingga menjadikan orang shalih itu sejajar dengan Tuhan. Orang-orang shalih terdahulu awalnya, setelah kematiannya, dijadikan contoh sekaligus rujukan serta representasi manusia yang dekat dengan Tuhan. Namun dalam perkembangannya, masyarakat justru menjadikannya berposisi seperti Tuhan. Mereka pun mulai menggambar (atau membuat patung) orang shalih itu, hingga akhirnya masyarakat meminta atau memohon doanya disampaikan kepada Tuhan.
Setelah generasi berikutnya, perlakuan terhadap orang shalih itu semakin disalahartikan hingga masyarakat menyembah menuhankannya. Kaum Nabi Nuh yang menyembah patung Waad, Suwa’, Yaghuts, Yauq, dan Nasr. Berawal dari anggapan bahwa lima orang shalih ini sebagai representasi orang shalih dan patut ditiru oleh generasi mendatang. Alih-alih meniru perbuatannya, kaum Nabi Nuh justru menyembah dan menggantungkan nasib padanya.
Padahal, linma orang shalih ini, dahulunya senantiasa teguh dan sabar menempuh jalan menuju Tuhannya. Tetapi dalam perkembangannya, masyarakat justru menjadikannya sebagai perantara menuju Tuhan. Bahkan pada akhirnya menjadikannya sebagai Tuhan. Hal ini dinarasikan dengan baik oleh Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ يَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلۡوَسِيلَةَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ وَيَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُۥ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُۥٓ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحۡذُورٗا
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhan-mu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (QS. Al-‘Isrā : 57)
Penjelasan Al-Qur’an ini meyakinkan bahwa orang shalih yang disembah ini sebenarnya berupaya untuk mencari jalan menuju Tuhan. Mereka berharap keselamatan kepada Tuhan sebagaimana manusia pada umumnya. Namun manusia sepeninggalnya justru salah jalan dan memperlakukannya sejajar dengan Tuhan.
Tuhan : Terpatri di Hati
Al-Qur’an menegaskan bahwa hati manusia sudah tertanam jiwa ketuhanan. Namun karena tertarik kepada dunia, manusia lalai terhadap jalan Tuhan. Jiwa ketuhanan itu akan muncul ketika musibah atau ancaman datang kepadanya. Al-Qur’an menarasikan bahwa manusia yang terkepung bahaya ketika di lautan, maka Allah disebut-sebut dan diminta pertolongan-Nya. Semua tuhan yang selama ini diagungkan tidak terbersit di benaknya lagi. Allah yang selama ini disingkirkan dan dilupakan justru menjadi andalan dan sandaran.
Al-Qur’an pun memproyeksikan bahwa ketika Allah menyelamatkan dari marabahaya, manusia melupakan-Nya. Mereka tidak lagi ingatdengan pertolongan Tuhannya, dan Kembali berbuat nista dengan melupakan-Nya. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana termaktub dalam firman-Nya :
وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِي ٱلۡبَحۡرِ ضَلَّ مَن تَدۡعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُ ۖ فَلَمَّا نَجَّىٰكُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ أَعۡرَضۡتُمۡ ۚ وَكَانَ ٱلۡإِنسَٰنُ كَفُورًا
Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru, kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih. (QS. Al-‘Isrā : 67) Narasi Al-Qur’an tentang sangat tepat bahwa dalam jiwa manusia tertanam jiwa ketuhanan. Hatinya akan terpantau menuju Tuhan. Namun kenikmatan duniawi, seperti kenikmatan berupa jabatan, kekuasaan, kekayaan telah menutup jalan menuju Tuhan. Pada saat terkepung bahaya jiwanya mengarahkan hatinya untuk menyebut dan meminta campur tangan Tuhan. Dan hal itu akan menjauh kembali, ketika Tuhan sudah menyelematkannya dari musibah itu. Pantas apabila Allah mengkapling manusia seperti ini pada tempat yang hina di dunia, dan khususnya ketika di akherat.
Dr. Slamet Muliono Redjosari; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat