Column

RUSSIA, DUNIA ISLAM, DAN TATA DUNIA BARU

Muhammad Qobidl ‘Ainul Arif
Penulis buku Politik Islamophobia Eropa (Deepublish, 2015), Staf edukatif Prodi Hubungan Internasional FISIP UINSA

 

Ada yang menarik dari pemberitaan di website resmi kepresidenan Russia (kremlin.ru) sehari setelah berakhirnya Pemilihan Presiden Russia pada 15 hingga 17 Maret 2024 yang lalu. Tercatat dua pemberitaan mengenai pembicaraan Presiden Russia, Vladimir Vladimirovich Putin, bersama para pemimpin dunia melalui sambungan telepon pada tanggal 18 Maret 2024.

Berita pertama bercerita tentang bagaimana para pemimpin dunia tersebut memberikan selamat atas kemenangan Putin dalam Pilpres yang baru saja dihelat. Mereka menekankan pada kekaguman atas masifnya dukungan publik terhadap pencalonan kembali Putin serta berharap kesuksesan pada periode kepemimpinan di masa yang akan datang. Pembicaraan tentu tidak sebatas basa-basi dalam memberikan ucapan selamat, namun juga menyentuh pembicaraan mengenai agenda bilateral serta global. Para pemimpin dunia yang memberikan ucapan selamat tersebut adalah Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, Presiden Belarusia, Alexander Lukashenko, Presiden Kazakhstan, Kassym-Jomart Tokayev, Presiden Kyrgistan, Sadyr Japarov, Presiden Tajikistan, Emomali Rahmon, dan Presiden Uzbekistan, Shavkat Mirziyoyev.

Berita kedua bercerita tentang respon dan ucapan selamat pemimpin dunia lainnya atas kemenangan Putin dalam Pilpres 2024. Namun yang menarik, ucapan kali ini berasal dari salah satu negara anggota NATO, yakni Turkiye. Putin mengungkapkan keinginan untuk melanjutkan hubungan akrab antara kedua negara dalam meningkatkan stabilitas dan keamanan global, khususnya di wilayah Laut Hitam. Lebih menarik lagi ketika secara eksplisit dan personal, Presiden Putin memberikan ucapan selamat kepada Presiden Turkiye, Recep Tayyip Erdogan, serta seluruh Ummat Islam di dunia dalam menjalankan ibadah di bulan suci Ramadhan tahun ini. Alih-alih membahas sengketa kebijakan luar negerinya dengan NATO, Putin memberikan respon intersubyektif kepada Erdogan dengan melibatkan sentimen keagamaan.

Analisis framing serta semiotika dapat mengungkap makna di balik fenomena tersebut dengan lebih jelas. Dari sisi struktur sintaksis dan tematik, berita tersebut membingkai fakta adanya beberapa pembicaraan melalui telepon dari negara-negara sahabat dekat Russia dengan penekanan pada pemberian ucapan selamat serta dukungan terhadap kepemimpinan Putin di Russia. Bagi pengamat Dunia Islam, cara wartawan dalam menyusun dan menekankan fakta bahwa pembicaraan per telepon tersebut ternyata dilakukan dengan para pemimpin dari negara-negara Muslim merupakan suatu tanda yang menarik untuk ditafsirkan lebih lanjut.

Secara semiotik, pembicaraan Putin dengan beberapa pemimpin dari Dunia Islam merupakan qualisign yang memperoleh bentuk ketika susunan pemberitaannya disajikan secara berurutan, sehingga tidak ada lagi yang menyangkal bahwa ucapan selamat dan dukungan terhadap kepemimpinan Putin memang telah datang dari Dunia Islam. Hingga tulisan ini dibuat, website kepresidenan kremlin.ru kembali merilis tiga berita seputar pembicaraan telepon dengan para pemimpin dunia yang mengucapakan selamat, yakni dari Putra Mahkota Saudi Arabia, Mohammed bin Salman, Presiden Turkmenistan, Serdar Berdimuhamedov, serta Presiden Iran, Ebrahim Raisi. Lagi-lagi, semuanya berasal dari para pemimpin Dunia Islam.

Fenomena politik ini paling tidak mengilustrasikan bahwa intensifikasi hubungan antara Russia dengan Dunia Islam sedang berlangsung saat ini. Hal ini tidak terlepas dari eskalasi konflik ekonomi-politik global yang kemudian mengarah pada ketidakpastian, keputusasaan, bahkan polaritas serta persaingan antar aliansi negara. Dalam konteks perebutan pengaruh global inilah, Russia memandang negara-negara di Dunia Islam menjadi sasaran diplomasi politik demi meraih dukungan atas kebijakan-kebijakan luar negerinya yang seringkali berlawanan arah dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat.

Diplomasi Russia untuk mendapatkan pengaruh di Dunia Islam terlihat jelas sejak Presiden Putin menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Putrajaya Malaysia pada tahun 2003. Dalam pertemuan tersebut, selain mengeksploitasi fakta akan eksistensi populasi Muslim yang cukup besar di Russia, Putin juga menyatakan siap menggunakan posisi strategis Russia sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB untuk melayani upaya-upaya konstruktif yang sejalan dengan kepentingan negara-negara Muslim anggota OKI. Hasilnya, Russia resmi didaulat menjadi anggota pengamat OKI sejak 2005. Russia berhasil mencatatkan sejarah sebagai negara Eropa dengan mayoritas Kristen Ortodoks pertama yang berhasil menjadi anggota pengamat OKI.

Komitmen Russia untuk berperan aktif dalam OKI lantas diwujudkan lebih konkret melalui lembaga eksekutif bernama The Group of Strategic Vision “Russia – Islamic World” yang dibentuk pada tahun 2006. Kelompok kerja ini terdiri dari 34 tokoh dari 28 negara seperti mantan Perdana Menteri, menteri luar negeri, publik figur, para cendekiawan dari Indonesia, Maroko, Saudi Arabia, Iran, Kuwait, dan lain sebagainya. Kelompok kerja ini aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan, seperti konferensi tahunan yang pernah dihelat di Moscow, Kazan, Istanbul, Jeddah, dan Kuwait.

Dalam situasi politik global yang memanas akibat genosida Israel di Palestina baru-baru ini, Russia dengan jelas menunjukkan keberpihakannya pada kemerdekaan Palestina. Ketika Amerika Serikat hanya berputus asa karena gagal membujuk “si anak emas” Israel untuk tidak melakukan genosida, Russia melakukan upaya konkret dengan mengumpulkan para pemimpin faksi-faksi perjuangan Palestina di Moskow guna membentuk pemerintahan unifikasi Palestina. Respon Russia dalam konflik Israel-Palestina memberi pesan jelas kepada Amerika Serikat bahwa dunia saat ini tengah membutuhkan tatanan baru yang lebih adil, yang tidak hanya didominasi oleh kepentingan Barat, dan tidak mandul dalam menghadapi kejahatan kemanusiaan seperti yang dipertontonkan Israel.

Kecenderungan unipolaritas sistem internasional yang terjadi setelah runtuhnya Uni Soviet membuat dunia dijejali dengan praktik-praktik ketidakadilan dan berbagai bencana kemanusiaan. Dalam perjalanan di panggung politik internasional sejak kemerdekaannya pada tahun 1991, Russia sebenarnya tampak berusaha keras mencari jalan bagi terbentuknya tatanan global yang lebih adil dan berimbang. Namun jalan tersebut terlihat lebih keras diupayakan sejak terjadinya konfrontasi terbuka dengan NATO dan invasi militer Russia ke Ukraina.

Dalam konteks pencarian alternatif sistem ekonomi global yang lebih berkeadilan, Russia turut serta dalam menginisiasi pendirian BRICS (kepanjangan dari Brazil, Russia, India, China, and South Africa) yang dibentuk di Yekaterinburg, Russia, pada 16 Juni 2009. Pada tahun 2024 ini, Russia yang mendapat giliran presidensi telah mengangkat agenda pada penguatan organisasi dan perluasan keanggotaan. Pesona BRICS terletak pada advokasi kepentingan-kepentingan ekonomi negara-negara di kawasan selatan atau biasa disebut sebagai isu Global South. Upaya ini terlihat dari kebijakan BRICS yang berusaha mengurangi ketergantungan kepada dollar AS dan sistem perbankan Eropa, SWIFT. Di tahun ini, beberapa negara kandidat disebut-sebut dalam perbincangan perluasan keanggotaan, termasuk Pakistan, Yaman, Meksiko, Nigeria, Vietnam, dan Indonesia.

Pemerintah Russia telah memutuskan untuk menghelat KTT BRICS di Ibukota Republik Tatarstan, Kazan, pada bulan Oktober 2024. Putin menyampaikan bahwa KTT akan mengusung format BRICS+ (plus), artinya acara akan dihadiri pula oleh delegasi dari negara-negara potensial yang siap bekerjasama atau bahkan hendak bergabung.

Pemilihan Kazan, sebagai wilayah dengan mayoritas penduduk Muslim, tentu bukan tanpa tujuan (sebagai suatu legisign/kode dalam analisis semantik). Pada tahun 2022, Kazan menghelat pertemuan Global Youth Summit dalam kerangka kerjasama dengan OKI yang kemudian dideklarasikan sebagai Ibukota Pemuda OKI (OIC Youth Capital). Pada tahun 2025, Kazan akan menyelenggarakan Islamic Youth Games yang diikuti oleh para atlit muda dari negara-negara anggota OKI dalam 20 kompetisi olah raga. The Group of Strategic Vision “Russia – Islamic World” direncanakan juga akan menggelar acara KazanForum pada 14 hingga 19 Mei 2024 dengan mengangkat tema “Hubungan Russia – Dunia Islam: Tatanan Dunia Multipolar yang Adil dan Pembangunan yang Aman”. Sampai di sini analisis semantik sudah cukup jelas untuk mengantarkan pada kesimpulan bahwa Russia memang tengah melakukan proyek diplomasi strategis dan massif dalam meraih dukungan Dunia Islam menuju tata dunia baru yang lebih berkeadilan. Lantas, apakah akan terwujud? Sejarah lah yang kelak membuktikan.