Lebih dari seabad lalu, seorang kiai dari Kauman Jogja, keturunan kedua belas dari Sunan Gresik, Maulana Malik Ibrahim, sempat diprotes santrinya, Sudjak, karena mengulang-ulang pelajaran tentang al-Ma’un. Para santrinya merasa sudah hapal dan memahami kandungan dari surah tersebut. Bahkan mereka sudah ‘mempraktikkannya’ sebagai bacaan dalam shalat. Tetapi sosok ulama yang pernah berguru pada Kiai Shaleh Darat dan Syaikh Ahmad Khatib itu menyatakan jika mereka belum benar-benar mengamalkannya. Maka oleh sang kiai, dimintalah mereka menjumpai orang-orang miskin di sekeliling tempat tinggalnya. Lalu diundang ikut ke rumah untuk diberi makan dan minum serta pakaian yang pantas. Usai itulah sang kiai baru mengatakan jika mereka telah mempraktikkan pesan dari surah al-Ma’un.
Dengan bahasa lain, saat itulah curiga manjing warangka. Keris sudah menyatu dengan sarungnya. Surah al-Ma’un tak lagi menjadi hanya sekedar ‘badan wadag’ yang kosong, tetapi sudah bersenyawa dengan ‘roh’-nya. Al-Ma’un menjadi ‘hidup’ ketika pemahaman atas pesan kepedulian kepada kaum mustadh’afin dan keberpihakan kepada kaum marjinal bertransformasi menjadi perbuatan dan tindakan nyata yang dapat dirasakan dan diterima langsung oleh mereka yang membutuhkan. Melalui caranya, sang kiai hendak menyadarkan para santrinya bahwa seseorang mungkin saja sudah khatam ngaji, tetapi belum tentu khatam ngelmu. Seseorang bisa jadi sudah tuntas mempelajari sesuatu, semisal surah al-Ma’un, tetapi belum tuntas dalam menghayatinya. Karena, “ngelmu iku kalakone kanthi laku,” dalam kalimat KGPAA Mangkunegara IV di Serat Wedhatama.
Di kehidupan sehari-hari, betapa fenomena semacam itu banyak dijumpai. Adakalanya seseorang merasa sudah khatam ngaji tentang shalat, tetapi kesehariannya masih banyak berbuat maksiat. Pemahamannya tentang tata cara dan praktik shalat tidak menjadikannya pribadi yang memelihara diri dari perbuatan-perbuatan tercela. Padahal di ayat 45 surah al-Ankabut tegas Allah menyatakan, إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” Artinya, pemahamannya tentang shalat dan amalan shalatnya masih sebatas khatam ngaji, tuntas mempelajari, tetapi belum khatam ngelmu, tuntas menghayati.
Demikian pula misalnya tentang puasa. Adakalanya seseorang telah merasa tuntas mempelajari ritual ini. Ia mengetahui seluk-beluk puasa dari dalil hingga wawasan filosofisnya. Tetapi dalam pergaulannya, ternyata ia belum bisa menjadi manusia yang berhasil menjaga lisan. Ia masih gemar berbohong. Bahkan tak jarang, ia menipu, dari lingkup antar-individu atau bahkan kepada khalayak ramai karena jabatan publik yang diembannya. Sementara Rasulullah jelas telah mengingatkan, مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ, “barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan amalan dusta, maka Allah tidak butuh (tidak peduli) ia meninggalkan makan dan minumnya”. Melalui sabda ini, terpahami betapa khatam ngaji tentang puasa seolah-olah menjadi tak berarti tatkala tak bermuara hingga menjadi khatam ngelmu.
Sekarang, cukupkah dengan khatam ngaji dan khatam ngelmu? Ternyata belum. Kiai yang sebelum berangkat haji bernama Muhammad Darwis itu juga mengajari santri-santrinya bahwa seorang yang beriman haruslah juga khatam ngibadah atau khatam nyembah. Mereka harus menjadi santri yang selalu berusaha optimal melayani kehidupan dan kemanusiaan. Karenanya, mereka harus ngaji sekaligus ngelmu. Tetapi orientasi puncaknya bukanlah untuk anggegayuh semat drajat kramat, tetapi sumarah ing manembah. Menghambakan dirinya hanya kepada Allah, Gusti Kang Maha Welas Asih, dengan ketauhidan yang bersih. Selaras dengan apa yang telah disimpulkan oleh Hujjatul-Islam Imam al-Ghazali dalam kitab terakhirnya, Minhaj al-‘Abidin, bahwa puncak perlawatan dan pengembaraan spiritual seorang manusia adalah menjadi العابدين الخالصين, hamba yang ikhlas. Hamba yang bening hati dan fikirannya, bersandar dan bergantung utuh kepada Tuhannya. Tanpa itu, digambarkan oleh ayat 264 surah al-Baqarah, كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا, “seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan lebat sehingga tinggallah (batu) itu licin kembali.” Tak berbekas.
________Ditulis oleh:
Dr. Nyong Eka Teguh Iman Santosa, M.Fil.I.,
Kaprodi Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Ampel Surabaya