
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Pagi itu, Jumat (30 Mei 2025), kami siap-siap ke Solo. Mau healing tipis-tipis. Mengisi kegiatan di liburan akhir minggu panjang. Long weekend, begitu istilah kerennya. Kebetulan kala itu kami bisa berkumpul bersama dalam formasi utuh keluarga kecilku. Aku, istriku, dan kedua anakku. Penginapan pun sudah di-booking. Di sebuah hotel & resort yang sangat asri nan menawan. Namanya, Warisan Boutique Hotel. Di daerah Kadilangu, Kecamatan Baki, Sukoharjo. Tentu berbagai persiapan sudah dilakukan. Lalu, dengan berkendara bersama, melajulah kami ke kota yang sangat kuat dengan tradisi Jawanya itu.
“Mau makan siang di mana nih?” tanyaku kepada anak-istriku, begitu kendaraan mulai meninggalkan kota tempat tinggal menuju Kota Solo. “Kita cari yang recommended di Solo saja,” teriak salah seorang anakku. Lalu, dia pun menyodorkan opsi ini: “Gimana kalau ke Sate Kambing Bu Hj. Bejo? Itu salah satu favorit Pak Jokowi?” Kami sekeluarga pun akhirnya setuju dengan opsi ini. Kebayang waktu itu, jika sudah dikenal sebagai salah satu favorit makanan seorang tokoh besar, maka makanan yang dijual pasti enak. Tak akan mengecewakan. Bayangan rasa semacam itu sudah langsung menggelayuti pikiranku kala itu.
Terus melajulah kami ke arah Solo. Begitu keluar exit tol Palur, kami menuju ke Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo itu. Sambil dikit-dikit ada yang menengok hasil penilaian sejumlah konsumen atas warung itu di sejumlah platform media sosial. Kami perlu melakukan checking hasil review itu karena hidup belakangan ini dimudahkan oleh teknologi informasi dan komunikasi. Salah satunya melalui media sosial. Dan betul saja! Penilaian semua konsumen cenderung positif. Dan itu bikin kemecer. Nafsu makan membuncah. Pertanda bahwa kami sudah tak boleh menunggu waktu lama untuk bisa menikmati sajian makanan di warung sate yang legend itu.
Benar saja! Begitu sampai di area warung sate itu, parkiran pun sudah sangat penuh. Artinya, pengunjung sudah membludak. Tapi untungnya, kami masih bisa mendapatkan slot parkir. Karena persis begitu sampai di area itu, ada kendaraan yang keluar dari parkiran. Dan alhamdulillah, rizki tak ke mana-mana. Kami pun akhirnya bisa mendapatkan slot parkir yang kami butuhkan. Alhamdulillah banget, karena nafsu makan yang sudah membuncah membuat kami sekeluarga ingin segera bisa menikmati makanan di warung sate yang terkenal itu. Rasanya sudah tak tahan untuk segera menyantapnya.
Alhamdulillah lagi. Semua menu makanan yang kami inginkan masih tersedia. Ada tengkleng, tongseng, dan sate buntel. Semua masih tersedia. Alhamdulillah, sebab tak lama seusai kami memesan menu makanan itu, ada pelayan warung itu yang terdengar sedang berteriak: “Tengkleng habis!” Teriakan itu disampaikan untuk menyambut pegawai lainnya yang menanyakan ketersediaan makanan favorit itu atas request rombongan pengunjung lain yang baru saja datang. “Alhamdulillah, kita bisa mendapatkan semua makanan pesanan kita,” begitu gumamku dalam hati.
Kami sekeluarga pun menyantap semua makanan pesanan. Semua top. Semua berasa maknyus. Tengklengnya, masya Allah, enak sekali. Tongsengnya, yaa salaam, top banget. Apalagi sate buntelnya: tak ada duanya! Saya sendiri secara pribadi bisa menilai seperti itu karena sudah pernah menikmati menu makanan serupa di banyak tempat. Di area Solo sendiri. Bahkan di sejumlah daerah yang menjadi warung cabang. Mulai dari Semarang, Yogyakarta, hingga Surabaya. Tapi, menu tengkleng, tongseng, dan sate buntel di Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo itu memang istimewa.
Rasa lapar mungkin menjadi penambah gairah. Tapi, senyatanya, harus kusebut bahwa rasa semua menu makanan itu memang top. Bahasa prokemnya, sitimewa! Kata ini digunakan untuk menunjuk ke kata aslinya “istimewa.” Sebab, bukan hanya aku yang menyatakan rasa itu istimewa. Semua anggota keluargaku, mulai istri hingga kedua anakku juga menyatakan hal yang sama: rasa istimewa. Bahkan, kami semua tak ingin menambah makanan tambahan lainnya. Termasuk nasi. Agar puas bisa menikmati istimewanya rasa tengkleng, tongseng, dan sate buntel itu.

Tak salah memang, hasil penilaian para pengunjung. Tak rugi rasanya, mencari referensi dari hasil review para konsumen. Dan, penting kusebut: aku bercerita semua tentang sajian menu makanan Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo di atas bukan bermaksud promosi. Tak ada niat sama sekali untuk melakukan marketing gratis atas warung itu. Toh warung sate itu sudah terkenal dan menjadi legend jauh sebelum aku dan keluarga kecilku mendatanginya. Jadi, apa yang kutulis tentangnya ini sebetulnya tak berarti apa-apa untuk warung yang sudah terkenal itu. Tak menambah dan juga tak mengurangi.
Tapi, pengalamanku makan di Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo itu harus kutulis. Kepentingannya satu: mengambil pelajaran. Itu saja. Dan itu yang selalu kulakukan atas setiap kejadian yang kualami. Seperti sebelum-sebelumnya. Lalu, kejadian itu menjadi perhatianku. Karena ada pelajaran menarik yang kurasa penting untuk dibagikan. Kepada siapa saja yang merasa butuh untuk menambah kemuliaan dalam hidup. Karena itulah, tulisan tentang Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo Solo bersama nikmatnya sajian menu makanan yang kualami sendiri bersama keluarga kecilku aku turunkan kali ini. Untuk berbagi kebajikan.
Pertanyaannya lalu, apakah ku tahu sebelumnya tentang Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo ini? Tentu jawabannya adalah: tidak. Ku tak tahu sama sekali sebelumnya. Lalu, kenapa aku dan keluarga kecilku akhirnya merasa perlu datang ke warung sate itu? Jawabannya: tertarik dan lalu mengikuti hasil penilaian para konsumen yang ada. Dan, hasilnya memang top. Kami sangat puas dengan beragam menu makanan yang disajikan di warung sate itu. Puas sekali. Bahkan sambil bercanda ku bilang kepada anak istriku begini: “Nanti perlu kita ulang lagi ya. Gampang caranya, bawa kendaraan ke Solo, lalu makan di Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo ini, lalu setelahnya kita balik pulang ke Sidoarjo.” Tawa riang pun lepas di antara kami berempat.
Ahaaaa!! Kisah yang kuceritakan di atas memberi makna penting berikut ini: begitu pentingnya referensi. Bentuknya adalah hasil penilaian banyak orang. Dulu, referensi itu muncul dari pembicaraan lisan. Orang berkumpul, lalu membicarakan perihal sesuatu. Dan hasil pembicaraan itu mengandung penilaian atas sesuatu itu. Lalu, penilaian lisan itu dijadikan sebagai pegangan oleh orang lain. Proses itu lalu berkembang dan menyebar dari satu orang ke orang-orang selainnya secara menular. Dan penilaian lisan seperti ini sudah menunjuk peda substansi yang disebut dengan istilah referensi.
Kini, penilaian dan atau referensi itu bisa dilakukan secara online. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memfasilitasi semua itu. Sehingga, kini jika ada seseorang ingin mengetahui atas sesuatu, tinggal dicari saja hasil review oleh yang lain di laman media sosial yang ada. Hasil review tersebut secara otomatis sama artinya dengan penilaian. Dari hasil review yang berbalut penilaian inilah kita bisa menarik referensi. Dari pengetahuan berbasis referensi inilah, kita akhirnya bisa mengetahui substansi sentral dari perihal yang dibicarakan. Dan itu pula yang aku dan keluarga kecilku lakukan atas Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo di Solo itu. Mencari informasi sebagai referensi atas warung tersebut dari hasil review dan atau penilaian para pengunjung sebelumnya pada laman komentar media sosial.
Lalu, apa pelajaran yang bisa dipetik dari kisah tentang hasil review para pengunjung atas Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo dan rasa puasku dan keluarga kecilku terhadap menu makanannya? Ada tiga pelajaran penting. Pertama, jangan pernah meninggalkan rekam jejak buruk dalam hidup. Setiap detik adalah emas. Bernilai mahal. Sebab, setiap detik yang lewat akan menjadi pengalaman. Isinya adalah rekam jejak. Maka, saat yang terlewat adalah buruk, maka buruk pula rekam jejak. Nah, rekam jejak ini akan menjadi patokan orang dalam menilai dan memahami siapakah kita.
Kata “kita” di sini tak hanya menunjuk kepada person atau diri kita. Tapi juga meliputi apapun yang melekat atau diasosiasikan dengan person itu. Bisa berbentuk perilaku yang kita lakukan. Bisa pula berasal dari apapun yang kita produksi atau hasilkan. Bagi Anda yang berprofesi sebagai akademisi, maka kata “kita” dimaksud bisa menunjuk kepada rekam jejak akademik kita. Mulai dari rekam perjalanan pendidikan, publikasi hingga profil pengabdian kepada masyarakat yang kita lakukan. Maka, siapapun orang yang ingin mengetahui siapakah kita bisa melakukannya dengan menelaah rekam jejak akademik kita itu.
Bagi Anda yang pebisnis, maka kata “kita” dimaksud bisa menunjuk kepada kualitas produk atau komoditas yang dihasilkan. Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo di Solo memberi pelajaran bahwa rekam jejaknya bisa dirujukkan kepada kualitas rasa (taste) dari komoditas dagangannya, mulai tengkleng, tongseng, hingga sate buntel. Hasil review tentang Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo yang diberikan oleh para konsumen sebelumnya di berbagai platform media sosial menjadi medium penilaian publik terhadap kualitas menu makanan yang diperdagangkan di dalamnya. Maka, saat hasil review itu baik, maka baik pulalah rekam jejak. Itulah yang dinikmati oleh Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo itu: baiknya rekam jejak bisnis oleh penilaian publik yang juga cenderung baik, dan karena itu tingkat kunjungan konsumen pun juga cenderung tinggi.
Kedua, jadikan hasil review sebagai petunjuk awal untuk berkembang maju. Sebagai petunjuk awal saja. Selanjutnya, petunjuk awal itu harus disempurnakan dengan pengalaman langsung di lapangan. Apalagi, jika petunjuk awal itu berbalut persepsi atau penilaian rasa atau taste, maka pengalaman langsung lapangan penting untuk menjadi penyempurna. Pengalamanku bersama keluarga intiku dalam menikmati menu makanan berupa tengkleng, tongseng, hingga sate buntel di Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo di atas memberi bukti bahwa hasil review banyak orang tentang warung sate itu sangat penting untuk segera mendekatkanku pada warung dimaksud bersama menu makanan yang diperjualbelikan.
Apalagi, rasa puasku bersama kelurga kecilku terhadap makanan yang disajikan, mulai tengkleng, tongseng, hingga sate buntel, berhasil mengkonfirmasi hasil review dari beragam kalangan konsumen atas warung sate itu. Berdasarkan pengalaman langsungku berkunjung ke warung itu, aku pun lalu bisa menyatakan, tak salah penilaian banyak orang selama ini terhadap Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo di atas. Bahkan, aku pun merasa berhutang budi atas hasil review banyak kalangan selama ini terhadap warung sate itu. Sebab, aku pun tak perlu susah mencoba makanan ke sana kemari hanya untuk mendapatkan makanan favorit. Cukup mendapatkan hasil review orang lain sebagai petunjuk awal untuk mengetahuinya. Mengalami sendiri pada tahapan berikutnya adalah penyempurna atas petunjuk awal itu.
Bahkan lebih jauh, hasil review banyak orang atas sebuah obyek telah menjadi bukti bahwa untuk berkembang maju, hidup tak harus dimulai dari informasi dan pengetahuan dari nol. Itu pula yang juga berlaku dalam dunia akademik: ilmu dan pengetahuan bersifat kumulatif. Yakni, melengkapi dan menyempurnakan oleh satu atas yang lain. Kata “melengkapi” dan “menyempurnakan” di sini bisa lahir dari proses koreksi dan revisi. Bisa pula dari proses afirmasi dan konfirmasi. Serta bisa pula dari proses sinergi antara satu dan lainnya. Semua itu membuktikan bahwa kemajuan harus dibangun dari akumulasi informasi dan atau pengetahuan yang sudah ada.
Ketiga, untuk melengkapi kesempurnaan hidup, jangan tinggalkan data hasil review jalur baru. Apa itu? “Jalur langit”, begitu aku menyebutnya. Begini penjelasannya: Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi telah membuka jalur baru pencarian data: “jalur langit”. Yakni, jalur pemerolehan data dari basis informasi yang tersedia di dunia maya. Jalur ini membuka ruang bagi munculnya keilmuan yang disebut dengan sains data (data science). Mudahnya begini: Siapapun yang berkehendak untuk mengetahui dan atau memperoleh data atas sesuatu, tinggal grabbing (ambil) data yang beredar secara online di dunia maya. Lalu pemaknaan pun bisa dilakukan terhadap data maya itu. Karena itu, penilaian atas sesuatu sudah bisa dibantu dari ketersediaan data yang ada di dunia maya.
Memang, data lapangan dari “jalur darat” penting, namun data dari “jalur langit” ini menjadi pendamping dan bahkan penyempurna. Atau bisa juga sebaliknya, informasi awal bisa didasarkan pada “jalur langit”, lalu untuk selanjutnya bisa disempurnakan pembuktiannya melalui “jalur darat”. Pengalamanku bersama keluarga kecilku terhadap Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo di Solo di atas adalah hasil gabungan antara “jalur langit” dan “jalur darat” dimaksud. Berawal dari hasil review di platform media sosial, lalu disempurnakan dengan pengalaman langsung dalam menikmatinya di Solo.
Dan hasilnya? Gabungan yang apik antara “jalur langit” dan “jalur darat” dimaksud telah menjadi pemantik dan sekaligus penyempurna kepuasan yang mendalam. Tentu, aku dan keluarga kecilku sama sekali tak tahu sebelumnya tentang Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo di Solo itu. Ku tahu justru dari “jalur langit”. Dan penasaranku dan keluarga kecilku atas warung itu langsung mulai meninggi saat muncul hasil review atasnya di platform media sosial. Apalagi, semua hasil review itu bernilai positif. Termasuk menjadi salah satu warung favorit tokoh ternama negeri ini. Itu semua data “jalur langit”. Dan, data jalur tersebut semakin sempurna seusai aku dan keluarga kecilku menikmati menu makanan secara langsung di situ. Dan, hasilnya, kami semua sangat puas atas berbagai menu makanan yang kami pesan.
Referensi memang penting untuk kemajuan hidup. Tak perlu semua dimulai dari angka nol untuk konteks pengalaman hidup. Tak harus semua diawali dengan pengalaman sendiri tanpa belajar dari pengalaman sesama. Itulah mengapa sejarah (history) itu penting untuk menelaah catatan perkembangan hidup. Itulah mengapa dalam konteks kekinian, hasil review itu penting untuk mengenal sebuah produk layanan. Itu semua karena hidup butuh referensi. Apalagi, kemajuan hidup yang diharapkan pasti bersifat kumulatif. Yakni, meningkat dengan adanya tambahan berturut-turut (successive additions) serta penggabungan semua data yang ada saat ini (current) dan sebelumnya (previous). Maka, untuk kemajuan hidup, jangan tinggalkan rekam jejak buruk agar referensi atas diri tidak memburuk.