Berita

Kamis, 10 Oktober 2024 Pusat Studi Agama dan Perdamaian (PSAP) Prodi Studi Agama Agama UIN Sunan Ampel Surabaya mengadakan sebuah event Peace Talks Series#1 dengan tema “Konstruksi Identitas dan Kewalian Keturunan Arab (Habib) di Gresik” di Ruang laboratorium Lantai 2 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Acara ini diisi oleh Dr. Fikri Mahzumi, S.Hum, M.Fil.I sebagai pemateri dan dihadiri oleh penanggung jawab PSAP prodi SAA UIN Sunan Ampel Surabaya.

Akhir-akhir ini, nasab atau keturunan arab (habib) sedang ramai diperbincangkan. Banyak media yang menyoroti hal ini, istilah Islam Arab, Islam Yaman, Islam Indonesia, habib atau sayyid pun sedang menjadi topik hangat yang diperdebatkan hingga mencapai situasi yang krusial. Dalam hal ini, Dr. Fikri Mahzumi, menjelaskan dengan membedah hasil disertasinya yang berjudul “Tradisi Diskursif Kewalian: Konstruksi, Mekanisme dan Dinamika pada Keturunan Arab di Gresik.”

Debat nasab suatu realitas yang bisa dirembukan dalam masyarakat, sebab nasab bisa menjadi polemic dalam kehidupan. Hal tersebut pun menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dalam penelitiannya di Gresik, Dr. Fikri Mahzumi tertarik pada Abu Bakr bin Muhammad (1869-1957) sebagai objek kajiannya. Sosok yang dikenal sebagai wali bergelar al-qutb. Makamnya yang terletak di masjid Jamik Gresik menjadi destinasi Sejarah dan peringatan haulnya pun juga menarik antusiasme masyarakat islam yang begitu besar.

Pada konteks keturunan Arab di Gresik, kontruksi wali dapat ditemukan pada penggunaan gelar kawalian, pembentukan, kepercayaan dan perlakuan pada sebagian publik Islam kepadanya, Sementara berdasarkan pada teori kerja artikulatori, makanisme kawalian adalah kerja-kerja aktif dari para aktor yang melibatkan berbagai infrastruktur yang dapat menopang kesuksesan dalam menciptakan dan melestarikan otoritas wali.

Dalam hasil penelitiannya, dia mengemukakan sejumlah jawaban dari beberapa pertanyaan akademis yang dia ajukan. Pertama, keberadaan keturunan Arab di Kota Gresik tidak lepas dari migrasi orang-orang dari Hadramaut, Yaman yang terjadi dalam sejumlah gelombang. Banyak yang menduga bahwa motif kedatangan mereka ke Hindia Belanda karena motif ekonomi, hanya sebagian yang menyanggah pandangan ini dengan mengatakan bahwa motif agamalah yang mendorong mereka untuk bermigrasi ke luar Hadramaut.

Kedua, konstruksi wali pada keturunan Arab di Gresik dapat ditemukan pada sosok Abu Bakr b. Muhammad yang lahir di Hindia Belanda pada tahun 1869. la menerapkan teknologi diri yang telah tersedia dalam modul kewalian pada tarekat ‘Alawiyah yang berpijak pada elemen-elemen fondasional, yaitu: gneologi, teks, dan tradisi.

Suasana Peace Talk Series #1. (Sumber: dokumentasi PSAP)

Ketiga, mekanisme kawalian dapat terlihat pada Abu Bakr b. Muhammad sebagai pekerja tradisi yang secara aktif ‘menebar sunah dan merangkai jemaah’. Melalui majelis taklim yang la rintis, sang wali mengaktifkan otoritasnya sebagal shaykh ta’lim dan shaykh murshid untuk menghimpun public islam. Mekanisme kewaliannya menggunakan ihya’ ‘ulumuddin sebagai alat untuk mencapai kewalian.

Dr. Fikri Mahzumi pun memberi pandangan bahwa gnoseologi kewalian sebagai tradisi diskursif bergerak dinamis, mengikuti arus pergerakan komunitas Sufi dunia dalam lintasan masa dan geografi. Secara bersamaan, diskursus ini mendapatkan tantangan dan bersaing dengan diskursus lain yang berbeda dalam sudut pandang. Kedua-duanya sama-sama meletakkan fondasi argumentasinya pada sumber tekstual islam yang primer. Sehingga sudut pandang tentang kewalian dalam islam terpisah ke dalam dua diskursus yang dikotomis, gnosis dan formalistis.

Setelah melaksanakan diskusi dan tanya jawab dengan mahasiswa, di akhir acara dia menyampaikan closing statement-nya bahwa perbedaan merupakan suatu yang normal. “Jangan kaget dengan melihat perbedaan, karena perbedaan adalah hal lumrah. Jadi ketika melihat perbedaan jangan mudah marah, jangan mudah menjustifikasi seseorang. Janganlah membedakan orang dengan kelompok, nasab dan sebangainya. Islam itu menggunakan prinsip persamaan dan kesetaraan, nasab boleh dibanggakan hanya untuk kepentingan pribadi bukan untuk diumumkan dan disombongkan. Posisikan diri dengan konsep kesetaraan. Saat bersama dan bersosial dengan seorang habib atau orang lain, ukurannya bukan nasab tetapi ketaqwaan. Dan konsep takwa, tidak hanya dalam hati tapi juga menunjukkan keilmuan dan pengamalannya.”, tutur beliau.

Penulis: Dwi Ayu Zafira Amatilla
Editor: Khalimatu Nisa