PUNCTUALITY
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Hanya sehari sebelum acara pertemuan dilangsungkan, pesan singkat masuk ke HP sahabatku, Prof. Dr. Achmad Zaini, MA. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UINSA Surabaya. Pengirimnya adalah Pak Soeharyo. Pejabat Fungsi Penerangan Sosial dan Budaya, Konsulat Jenderal RI di Jeddah. Begini isi pesan singkat itu: “Besok mohon hadir on time ya Pak. Karena kebetulan Pukul 10:30 Pak Konjen sudah ada agenda lain. Tks.” Pesan itu dikirim begitu saja. Tanpa ada pendahuluan apapun sebelumnya. Tentu maksudnya untuk mengingatkan semata.
Rencana pertemuan itu sendiri dilaksanakan di kantor Konsulat Jenderal RI di Jeddah. Pertemuan itu terjadwal Hari Ahad (19 November 2023). Bib Zaini, begitu aku akrab memanggil nama Prof. Dr. Achmad Zaini, MA, adalah narahubung dari pihak UINSA untuk pertemuan itu. Beliau memang yang mengatur semua rencana pertemuanku dengan berbagai pemangku kepentingan di Saudi Arabia selama melaksanakan tugas kedinasan di negeri itu (14-19 November 2023). Termasuk dengan Pak Yusron B. Ambary, Konjen di Jeddah itu.
Di hari pertemuan, hanya dua menit sebelum dilangsungkan, yakni jam 09:28 waktu setempat, pesan singkat masuk lagi ke HP Bib Zaini. Kala itu aku dan Bib Zaini sudah berada di lingkungan gedung Konjen RI di Jeddah itu. Tapi pesan singkat itu masuk tentu untuk memastikan saja. “Assalamu’alaikum. Posisi sudah di mana Pak?” tanya Pak Soeharyo singkat. Beliau belum tahu bahwa kami berdua sudah memasuki kantor KJRI. Tak butuh hitungan menit, kami pun sudah berada di depan pintu masuk ruang tamu. Diantar dan dikawal oleh staf keamanan dalam Konjen. “Eh, tepat waktu, ya Pak!” demikian sapa Pak Soeharyo begitu mendapati kami berdua sudah berada di ruang tamu Konjen. Legalah beliau. Karena kami berdua datang tepat waktu. Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya.
Kelegaan hati Pak Soeharyo di atas sangat bisa dimaklumi. Karena beliau paling bertanggung dengan urusan penjadwalan kegiatan kantor di Konjen RI itu. Meleset berarti tidak profesional. Telat berarti akan mengganggu agenda Pak Konjen hari itu yang sudah terjadwal padat. Karena jadwal Pak Konjen pastinya sudah sangat rapi tersusun. Menit hingga perjamnya. Sebagai kantor resmi perwakilan, sudah barang tentu kantor Konjen harus menjaga nama baik pemerintah, bangsa dan negara Indonesia di mata bangsa dan negara lain. Kewajiban itu harus ditunaikan sebaik mungkin.
Foto: Yusron B. Ambary (Konjen), Razilu (Irjen Kemenkumham), saya (19/11/2023)
Pemegang jabatan Fungsi Penerangan Sosial dan Budaya KJRI Jeddah di atas tampak harus mengingatkan agenda pertemuan di atas. Termasuk soal kehadiran tepat waktu. Ada dua hal yang bisa dijelaskan. Pertama, pengingatan itu berarti ada kebiasaan di masyarakat Indonesia yang tidak selalu tepat waktu. Atau, minimal memaknai konsep tepat waktu bukan dalam menit. Tapi dalam rentang. Selama masih dalam rentang jam 10:00, sebagai misal, selama itu pulang masih dianggap dalam ketentuan tepat waktu (punctuality). Apakah jam 10:10. Ataukah 10:20. Ataukah 10:30. Semua itu, dalam kebiasaan sejumlah orang Indonesia, masih dianggap tepat waktu dalam hitungan jam 10. Belum ada kebiasaan untuk menjadikan menit sebagai hitungan tepat waktu.
Kedua, dalam birokrasi modern, semua aktivitas teragenda dengan matang. Terjadwal dengan rapi. Terencana dengan baik. Penjadwalan kegiatan yang rapi dimaksudkan untuk bisa membangun dan merencanakan kinerja harian dengan baik pula. Sebaliknya, tidak terencana membuat hidup tidak teratur. Jadwal kegiatan menjadi kabur. Kinerja pun menjadi tidak terukur. Karena semua berjalan tanpa standar dan ukuran. Seharian harus mengerjakan apa saja, itu disesuaikan dengan kesukaan. Akibat tak adanya perencanaan. Tak pernah ada penjadwalan. Deteksi dini dan antisipasi pun tak pernah bisa dilakukan.
Pengalaman soal timing di Saudi Arabia di atas tak kutemukan di Australia. Sebagai perbandingan saja. Bahkan pada pengalaman terbaru sekalipun. Ya, hanya berjarak sepuluh hari saja sebelum melakukan tugas kedinasan ke Saudi Arabia pada 14-19 November 2023, aku dan tim penjaminan mutu UINSA menjalani tugas kedinasan serupa ke Australia. Tepatnya pada 28 Oktober-3 November 2023. Sudah lama juga kupahami bahwa kejadian serupa atau mirip tak kutemukan di Australia. Aku mengalaminya langsung. Waktunya lama pula. Kebetulan kupernah hidup hampir tujuh tahun di negeri kanguru itu. Saat kuliah pascasarjana di sana.
Tak pernah kualami kejadian serupa di Saudi Arabia di atas dalam masa panjang hidupku di negeri Australia itu. Tak ada pertanyaan “mohon on time”. Tak ada permintaan “mohon tepat waktu”. Tak ada permohonan “agar tidak telat”. Tak ada kalimat “agar datang pada jamnya”. Kalimat-kalimat itu tak pernah kudengar. Tak pernah kualami. Tak pernah kutemukan. Dalam kehidupan sehari-hari sekalipun. Begitu ditetapkan jam 10:00 pagi, seumpama, semua yang terlibat berada dalam komitmen sama untuk datang pada jam yang ditentukan itu. Bahkan, datang sebelum jam yang ditentukan itu.
Mengapa semua ini bisa terjadi? Karena kebiasaan masyarakat yang dihadapi juga berbeda kultur. Minimal dalam tutur. Sebagai misal, kalimat “Insya Allah” harusnya awalnya adalah kalimat yang wajib disampaikan oleh individu Muslim untuk menjaga ketepatan waktu. Caranya dengan menyertakan Tuhan untuk hadir dalam rencana tepat waktu itu. Artinya, dalam Islam, tepat waktu itu juga ajaran agama. Perintah Tuhan. Dan penyertaan nama Allah dalam kalimat “Insya Allah” itu dalam kerangka besar untuk menjamin praktik tepat waktu. Tapi lalu kalimat “Insya Allah” bergeser makna. Tak lagi untuk semangat tepat waktu. Tak lagi untuk menjamin disiplin waktu. Seperti yang seharusnya terjadi.
Alih-alih, kalimat “Insya Allah” kerap disampaikan untuk melegitimasi praktik telat. Untuk mensahkan praktik selisih waktu. Untuk melegalisasi praktik molor waktu. Untuk menghalalkan tindakan tidak disiplin waktu. Lalu, untuk itu semua, Tuhan pun dimanfaatkan untuk memanipulasi praktik buruk itu. Sehingga dalam praktiknya, kalau telat, selisih waktu, atau bahkan tidak disiplin waktu sekalipun, sering diimbuhi dengan penjelasan “kan sudah saya bilang insya Allah?”Dengan begitu, ungkapan “Insya Allah” yang awalnya begitu mulia, lalu dimanipulasi sebagai pembenar ketidakdisiplinan waktu. Disalahgunakan sebagai pensahih atas praktik selisih waktu. Diselewengkan untuk membenarkan tindakan serba telat.
Padahal, agama adalah ajaran tentang disiplin waktu. Ada prinsip al-waqt ka al-sayf, in lam taqtha’hu, yaqtha’ka. Waktu adalah pedang, jika engkau tak menggunakannya untuk memotong, ia akan memotongmu. Ini adalah ajaran profesional dalam tata kelola disiplin waktu. Tapi semua itu kerap enyah dalam praktik individu Muslim. Seandainya mengamalkan ajaran mulia agama tersebut, maka setiap individu Muslim adalah profesional dalam hidupnya. Tanpa menunggu hadirnya kesempatan kerja atau jabatan tertentu dalam profesi kerja modern. Padahal, manajemen modern mempersyaratkan semua pihak menegakkan disiplin waktu. Seluruh pegawai mempraktikkan prinsip mahalnya waktu dalam bekerja.
Karena itu, Muslim sejati adalah pribadi profesional. Idealnya, setiap Muslim adalah pengamal nilai-nilai profesional. Itu karena agama adalah tentang profesionalisme itu sendiri. Kedisiplinan soal waktu adalah salah satu indikatornya. Sebab, waktu adalah bagian dari kekayaan hidup. Semaksimal mungkin harus dimanfaatkan. Gagal memaksimalkan adalah awal dari buruknya praktik keislaman. Gagal disiplin waktu adalah keburukan. Tak patut bagi jati diri keislaman. Bahkan kontraproduktif bagi kebutuhan untuk menjadikan diri sebagai Muslim profesional idaman.
Dalil atau ayat dan semacamnya adalah prinsip nilai. Dan hafal atas semua itu baru sebatas mengingat kuat diktum nilai. Meskipun, menghafal ini penting. Menghafal itu modal awal yang pasti mahal harganya. Karena banyak tindakan lahir dari hafalan atas diktum nilai. Lihatlah hidup para santri. Mereka tak pernah lepas dari teks. Hidup mereka selalu mengembang dan lalu kembali kepada teks. Teks yang dihafal seakan memandu gerak hidup. Teks yang berada dalam ingatan kuat seakan mengarahkan langkah hidup. Dan dalam praktiknya lalu mereka selalu menjadikan teks itu sebagai episentrum untuk menjalani dan bahkan memaknai hidup.
Teks dalam uraian di atas bisa berupa ayat. Bisa pula Hadits. Bisa pula atsar atau pernyataan mulia para sahabat Nabi Muhammad. Tentu juga bisa berbentuk maqalah atau pernyataan hikmah para ulama. Karena itu, jangan heran jika santri memiliki kemampuan textual analysis yang jempolan. Mereka memiliki kekuatan kognitif dalam menguji dan memaknai teks. Caranya, dengan menganalisis isi, gaya, struktur, tujuan dan makna-makna yang dikandung. Mengapa begitu? Karena mereka terbiasa dengan tradisi muthala’ah atau bahtsul kutub. Menghafal adalah bagian penting dari kecakapan dalam tradisi muthala’ah dimaksud. Ingatan yang kuat atas teks juga merupakan komponen penting dari tradisi bahtsul kutub dimaksud.
Kita semua meyakini pentingnya kecakapan textual analysis di atas. Karena hal itu akan mengantarkan seseorang punya kemampuan untuk melakukan contextual analysis atas teks. Terutama saat konteks sudah berubah dari kondisi awal. Saat situasi dan kondisi yang sedang berjalan tak sama dengan saat teks itu lahir. Tapi, yang tak boleh ditinggalkan sepanjang zaman adalah menerjemahkan nilai dan ajaran yang dikandung oleh teks-teks agama di atas ke dalam praktik tata kelola yang baik atas kehidupan. Ini langkah lanjutan namun strategis yang harus diambil oleh setiap Muslim. Gagap dalam penerjemahan tersebut adalah awal dari kegagalan menggerakkan nilai dan ajaran dimaksud sebagai energi penggerak (driving force) perbaikan ruang publik.
Kebutuhan terhadap penerjemahan nilai dan ajaran ke dalam praktik tata kelola ruang publik di atas terasa lebih membesar saat seorang Muslim harus menjalani hidup di ruang publik itu. Sebab, begitu masuk ke ruang publik, yang harus selalu dihitung adalah kemaslahatan bersama. Maslahah ‘ammah, dalam Bahasa Arab. Common goods, dalam Bahasa Inggris. Dan bukan sebaliknya yang jadi panglima. Yakni kebaikan pribadi. Atau maslahah fardiyah. Atau private virtues. Kebajikan bersama menjadi titik sentral dari praktik individu di ruang publik. (Baca juga tulisanku sebelumnya “Pelembagaan Nilai kemaslahatan Publik”, pada: https://uinsa.ac.id/id/blog/pelembagaan-nilai-kemaslahatan-publik).
Kenapa kusebut disiplin dan tepat waktu secara spesifik di atas sebagai perihal strategis? Karena disiplin waktu menjadi awal dari kinerja. Disiplin waktu adalah jawaban atas kepercayaan publik yang didamba. Baik untuk penunaian maupun penguatan atasnya. Juga, disiplin waktu adalah ruh dari lahirnya praktik tepat waktu yang diidamkan bersama. Penting jadi pelajaran, betapa disiplin waktu yang rendah membuat kinerja jadi berantakan. Betapa disiplin waktu yang berantakan menjadikan kerja asal gugur kewajiban. Bahkan, cenderung asal-asalan. Orang hanya terdorong untuk melaksanakan pekerjaan sebatas sebagai rutinitas semata tanpa adanya capaian. Orang hanya melakukan sesuatu hanya sebatas sebagai pemenuh kewajiban. Itu semua karena target kinerja tak pernah diraih maksimal akibat disiplin waktu yang tak pernah kuat tertanamkan.
Maka, sejatinya, praktik tepat waktu adalah bagian dari penerjemahan konkret nilai agama. Selalu on time adalah bagian dari perwujudan ajaran Ilahiah. Karena itu, rumus berikut ini berlaku: Semakin tinggi disiplin waktu, semakin tinggi pula derajat keberagamaan. Semakin kuat praktik tepat waktu, semakin tinggi pula indeks Keberislaman. Karena sejatinya Tuhan hadir dalam praktik disiplin waktu. Allah hadir bersama tindakan tepat waktu. Karena disiplin dan tepat waktu adalah ajaran-Nya. Tentu Allah menghitung betul praktik disiplin dan tepat waktu sebagai sebuah kemuliaan.
Bukankah Allah kerap menggunakan waktu sebagai kata perjanjian suci atau sumpah (qasam) dalam teks-teks al-Qur’an? Bukankah banyak perjanjian suci atau sumpah yang Allah lakukan dirumuskan dengan menyandingkan waktu di sampingnya? Di sinilah pentingnya menghadirkan dan menerjemahkan agama ke dalam kehidupan. Di antaranya melalui praktik disiplin dan tepat waktu yang sangat dibutuhkan. Lebih-lebih di dunia profesional yang penuh tuntutan. Dan semua itu butuh pembiasaan. Semua itu butuh pengondisian. Regulasi dan fasilitasi adalah dua bagian penting dari pemenuh kebutuhan. Keduanya harus diciptakan. Kepentingannya untuk menerjemahkan nilai profesional yang dikandung oleh teks agama yang kita muliakan. Semua itu, ujungnya, adalah untuk kinerja prima yang diidamkan.