Bak kesambar petir. Rencanaku berantakan. Keberangkatanku ke Ethiopia batal. Semua yang kupersiapkan untuk presentasi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Harmoni Lintas Agama oleh G20 Interfaith Forum di negeri itu hanya tinggal kenangan. Penyebabnya sangat teknis. Pesawat yang harusnya memberangkatkanku dari Surabaya ke Jakarta tertunda (delayed). Harusnya ku terbang jam 14:50 WIB dari Surabaya ke Jakarta. Dan oleh perusahaan penerbangan lokal itu, jadwalku terbangku dipindah ke jam 17:15 WIB. Dan, perubahan jadwal itu tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Tiba-tiba saja saat ku check-in pada jam 12:00 WIB di konter penerbangan itu, pemberitahuan disampaikan.
“Bapak sudah tahu, penerbangan Bapak digeser ke jam 17:15 WIB?” tanya petugas konter check-in. “Lho iya kah?” tanyaku balik. Tentu saja ku tidak tahu. “Kenapa tidak ada pemberitahuan sebelumnya, Mbak?” tanyaku lebih lanjut dengan penuh gundah. ‘Saya tidak tahu, Pak. Coba, Bapak langsung ke ruang customer service kami,” begitu petunjuk yang dia sampaikan kepadaku. Di Mbak petugas check-in itu memang melihatnya hanya di sistem pengelolaan check-in penerbangan yang ada di komputer. Soal kebijakan perubahan tentu bukan kewenangan dan tanggung jawabnya. Maka, dia pun tak bisa memberi jawaban atas pertanyaan perubahan jadwal penerbangan yang mendadak itu.
Bergeserlah aku ke ruangan customer service (CS) penerbangan lokal itu. Letaknya di pojok aula check-in penumpang. Sesampainya di ruang CS itu, kupertanyakan perubahan jadwal penerbanganku itu. Begini komplainku: “Bagaimana perubahan mendadak ini bisa terjadi? Saya ini mau terbang ke Ethiopia malam ini, jam 19:35 WIB. Lewat bandara Soekarno-Hatta di Cengakreng Jakarta. Kalau penerbanganku ditunda ke jam 17:15 WIB, saya tak mungkin bisa terbang lanjutan ke Ethiopia dari Jakarta. Apalagi sesampai di Soetta, saya harus pindah terminal. Lalu mengikuti proses imigrasi yang panjang. Jadi, nggak mungkin bisa mengejar penerbangan internasionalku ke Ethiopia dari Jakarta jam 19:00 WIB.”
Tapi tetap tak ada jawaban yang meyakinkan. Staf CS penerbangan lokal di atas tak bisa berbuat banyak. Apalagi kala itu baru hari kedua lebaran idul fitri (12 April 2024). Peak season untuk semua penerbangan. Kecil kemungkinan ada kursi kosong. Akhirnya, tetaplah perubahan itu terjadi. Tak ada opsi lain. Lalu kubilang ke staf itu: “Mas, sampeyan ini mengacaukan agenda saya lho! Saya ini mau presentasi di konferensi internasional di Ethiopia. Kalau berubah jadwal begini, tak mungkin aku bisa terbang. Sampeyan ini gimana sih Mas?” lalu dijawabnya dengan enteng: “Iya, Pak, kami mohon maaf.”
Dalam suasan hectic seperti itu, tak ada yang bisa kulakukan. Apalagi dipaksakan. Hanya pasrah yang bisa dikemukakan. Karena kala itu, semua memang dalam situasi padat, sibuk dan penuh agenda. Mudik masih menjadi agenda besar banyak warga. Karena memang baru dua hari lebaran idul fitri. Begitu jadwal penerbanganku diubah secara sepihak dan mendadak oleh perusahaan penerbangan, tak ada ruang untuk berimprovisasi. Kesal sudah pasti. Tapi marah juga buat apa. Karena toh tak akan menyelesaikan masalah. Tak akan bisa mengembalikan penerbanganku ke jadwal terbang semula. Yakni jam 14:50 sebagaimana awal rencana.
Kukontaklah panitia. Lalu nggak lama dari itu, panitia pusat dari Washington mengontakku. Dan meminta maaf atas kejadian yang kualami. Lalu dia bilang akan mengusahakan kembali ke armada penerbangan agar aku tetap bisa berangkat keesokan harinya. Ke Ethiopia juga. Saya sih oke-oke saja. Atas tawaran panitia. Karena toh itu bukan kesalahanku. Murni karena persoalan teknis perubahan penerbangan. yang tiba-tiba. Yang tidak ada pemebritahuan sebelumnya. Yang semua itu tentu di luar kontrolku sebagai penumpag.
Berikut pesannya ke aku lewat teks WhatsApp (WA): Prof. Muzakki, This is Anastasia Jespersen with G20 Interfaith Forum. I am working with Ethiopian Airlines to try to change your flight to Addis Ababa to tomorrow at 8:35 PM. I will keep you posted on how it is going. Di pesan ini, dia menyampaikan dua poin penting. Pertama, dia akan mengubah penerbanganku ke Addi Ababa, ibukota Ethiopia, ke keesokan hari dari jadwal semula. Jam 20:35 WIB. Kedua, dia akan terus memberitahuku tentang perkembangan lanjutan dari perubahan penerbanganku untuk esok hari.
Lalu. Telponku berdering. Melalui aplikasi voice call WA juga. “Oke Anda terbang besok hari,” begitu di ujung telpon suara Anastasia Jespersen dari panitia pusat di Washington. Legalah diriku. Ada asa untuk tetap bisa presentasi. Di KTT di atas. Hanya, tak sampai hitungan limabelas menit, kudapati lagi telpon dari Anastasia Jespersen melalui voice call WA. Di ujung telpon itu, dia bilang: “Hai Prof. Muzakki, Anda tetap berkenan terbang besok ke Ethiopia? Kami tetap akan usahakan.” Karena sebelumnya telah disampaikan bahwa aku akan diterbangkan keeseokan hari, pertanyaan perempuan itu bagiku mulai agak janggal. “Ini pasti ada sesuatu nih,” tanyaku dalam hati.
“Begini, untuk bisa menerbangkan Anda esok hari ke Ethiopia, ternyata kami kena charge tambahan oleh maskapai penerbangan. Angkanya sampai USD 7,000,- Tapi jika Anda berkenan tetap berangkat, tentu kami akan tetap usahakan pembayaran biaya tambahan itu. Sehingga Anda tetap bisa berangkat besok.” Demikian yang disampaikan oleh Anastasia Jespersen kepadaku. Artinya, panitia harus merogoh kocek dalam-dalam untuk tiketku ke Addis Ababa.
Mendengar penjelasan di atas, akupun lalu membatalkan penerbangan ke Ethiopia. Sebab, angka USD 7,000 itu bagiku cukup besar. Kalau dikurskan ke rupiah, jumlahnya bisa mencapai Rp. 110 juta kala itu. Tentu angka itu besar sekali. Lalu, saat Anastasia Jespersen itu menelpon kembali untuk urusan teknis lanjutan, kubilang padanya begini: “Biaya tambahan itu sangat besar sekali. Akan sangat membebani panitia. Walaupun panitia akan mengusahakan pembiayaan tambahannya. Aku sangat paham. Karena punya banyak pengalaman menjadi panyelenggara konferensi internasional. Karena itu, untuk kemaslahatan banyak pihak, aku pun mengambil keputusan untuk tidak berangkat ke Ethiopia. Karena sungguh akan memberatkan sekali bagi panitia.”
Lalu, Anastasia Jespersen pun merespon keputusanku untuk tidak jadi berangkat dengan apresiasi yang sangat baik. Begini pesannya melalui teks WA: Thank you for being so understanding. I am sorry things have worked out in such a disappointing fashion. We were very much looking forward to getting to know you. We hope you will be open to attending one of our events in the near future. (Terima kasih sudah begitu pengertian. Saya menyesal semuanya berjalan dengan cara yang mengecewakan. Kami sangat menantikan untuk mengenal Anda lebih dekat. Kami berharap Anda berkenan untuk menghadiri salah satu acara kami dalam waktu dekat.)
Sobat,
Lihatlah bagaimana panitia penyelengaran KTT Harmoni Lintas Agama seperti yang diwakili oleh Anastasia Jespersen di atas merespon kejadian kegagalanku berangkat ke Ethiopia. Cermatilah bagaimana dia membangun komunikasi ke diriku saat kegagalan itu terjadi. Cernalah bagaimana dia membangun dialog bersamaku atas kejadian itu. Sungguh banyak pelajaran yang bisa dipetik. Khususnya dari respon dan tindakan lanjutan atas kegagalan penerbanganku di atas. Sungguh sangat sayang dibiarkan berlalu begitu saja. Harus dimaknai bersama. Karena itu, penting bagi kita bersama untuk memetik pelajaran dari kejadian dimaksud.
Ada dua pelajaran penting. Pertama, profesionalisme itu sama dengan kepatuhan pada komitmen. Menyelisihi komitmen adalah pengkhianatan pada komitmen. Patuh pada komitmen adalah kesetiaan pada profesionalisme. Karena itu, menunjunjung profesionalisme itu wajib. Atas alasan apapun, jangan sampai kehilangan profesionalisme. Terutama saat harus berhadapan dengan pihak lain di luar institusi yang menjadi tempat kerja. Karena, profesionalisme dibangun di atas komitmen. Maka, ukuran profesionalisme seseorang pun terletak pada seberapa kuat dia tunduk, patuh dan setia pada komitmen yang telah dibangun dan disepakati.
Atas nama kepatuhan pada komitmen, panitia penyelengaran KTT Harmoni Lintas Agama oleh G20 Interfaith Forum seperti yang diwakili oleh Anastasia Jespersen harus melakukan Tindakan cepat. Dengan cara menyediakan tiket pengganti untuk penerbanganku ke Ethiopia yang sehari sebelumnya telah gagal. Karena kegagalanku untuk terbang ke Ethiopia itu bukan kesalahanku. Murni karena persoalan teknis dari armada Indonesia. Permintaan maafnya Anastasia Jespersen atas kejadian kegagalan terbangku itu merupakan petunjuk awal kuatnya komitmen panitia terhadap profesionalisme itu. Apalagi, kemudian mereka akan menyediakan penerbangan pengganti.
Tapi, atas nama profesionalisme juga, besarnya biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk penerbangan pengganti harus disikapi secara bijak. Keputusanku untuk tidak terbang melalui penerbangan pengganti itu semata-mata untuk menghormati profesionalisme panitia KTT itu. Sebab, kegagalanku terbang itu sama sekali bukan kesalahan mereka. Panitia telah melaksanakan tugas profesionalismenya dengan baik. Buktinya, semua persiapan untuk keberangkatanku sebagai pihak terundnag dilakukannya dengan baik. Setiap bagian disiapkan. Setiap detil direncakan. Tapi, jika dalam pelaksanaan ada masalah, Solusi sudah disiapkan juga.
Kedua, sempurnakan persiapan dengan mitigasi peluang dan resiko sesempurna mungkin. Pelajari latar belakang masyarakat atau institusi tujuan sedetil mungkin. Pengalaman positif internal tak boleh melupakan masalah di pihak eksternal. Memang, pengalaman mengikat pemahaman. Tapi, masalah pada pihak tujuan tak boleh dilupakan. Lihatlah kasus penerbangan domestik di Indonesia yang akhirnya membuatku gagal berangkat ke Addib Ababa, Ethiopia. Panitia KTT dari G20 Interfaith Forum sangat mengedepankan positive thinking dalam melihat layanan penerbangan di Indonesia. Dasarnya adalah pengalaman mereka di Amerika.
Dalam pengalaman di Amerika, semua layanan terstandar. Dan itu membangun memntal mereka dalam mempersepsi layanan penerbangan. akibatnya, tak sedikit orang Amerika cenderung mengasumsikan dan bahkan memperlakukan layanan penerbangan di Indonesia sebagaimana yang mereka dapati di Amerika. Semua dianggap terstandar. Apapun perusahaannya, layanan penerbangannya terjamin-terstandar. Mereka Panitia KTT dari G20 Interfaith Forum betul-betul tak berpikir bahwa penerbangan di Indonesia macam-macam jenis dan mutunya. Termasuk standar layanan dan kepuasan. Berubah tiba-tiba tak akan pernah terjadi. Kecuali alasan kesalamatan. Akibat cuaca buruk. Di luar itu, hampir tak terjadi.
Sejatinya saat tiket kuterima dari panitia di Washington, keraguan mulai menyelinap ke benakku. Karena kode penerbangan seperti yang tertera pada tiket yang kuterima agak laen. Diawali dengan huruf X. Aneh juga rasanya. “Mana ada penerbangan domestik Indonesia dari Surabaya ke Jakarta menggunakan kode penerbangan X,” gumamku dalam hati beberapa hari sebelum jadwal terbang.
Betul saja. Saat checkin online di Book Cabin, penerbangan itu tak tercatat. Tak ada. Check-in melalui aplikasi lain secara online juga tak ditemukan. Dan kami baru tersadar bahwa penerbangan itu setelah dikonversi ke penerbangan Indonesia menunjuk ke penerbangan domestik yang sangat terkenal dengan keterlambatan dan perubahan jawal penerbangan semena-mena itu. Makjleb! Saat kuberangkat ke bandara, hatiku mulai gelisah. Nggak enak hati! Karena berbagai pengalaman selama ini selalu diliputi dengan kesan negative soal keterlambatan dan perubahan tiba-tiba itu. Nah, kejadian di konter check-in di atas semakin menambah pengalaman negatif itu.
Menempuh jejak langkah menuju kinerja profesional memang tak selalu berbiaya tinggi. Bisa dimulai dari bawah. Dikondisikan. Dibiasakan. Lalu menjadi karakter diri. Berangkatnya bisa murah jika berproses seperti itu. Tapi, hasilnya pasti akan berharga mahal. Membuat nilai diri menjadi mulia. Dan itu mahal harganya. Tapi, saat sudah mencapai kinerja utama, profesional itu mahal. Menjaga profsionalisme itu mahal. Lihatlah, Panitia KTT dari G20 Interfaith Forum tak mau kehilangan profesionalisme di mata para pihak yang diundang. Meski itu harus dibalas dengan kebajikan serupa atas kemuliaan profesionalisme mereka.