Menjelang akhir tahun Hijriyah, kita patut merenungkan perjalanan kehidupan dan spiritual kita yang telah kita lalui selama setahun ini. Peristiwa-peristiwa penting, tantangan, dan pencapaian menjadi bahan evaluasi untuk mengukur sejauh mana kita telah berkembang sebagai individu dan sebagai umat, dan seberapa besar manfaat yang sudah kita berikan dan dirasakan oleh umat manusia.
Mengakhiri satu tahun berarti kita telah menjalani sekitar 360 hari dari usia kita yang telah kita lalui. Banyak kesempatan di tangan kita, namun berapa banyak yang telah kita perbuat? Banyak yang meninggal dan mendahului kita sebelum berakhirnya tahun ini, sementara kita masih diberikan umur dan nafas hingga detik ini. Rasululllah saw mengingatkan kita bahwa, umur panjang bukanlah satu-satunya kunci sukses di kehidupan akhirat kelak, tapi kuncinya adalah pada amal. Maka, beliau tegaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang umurnya panjang dan baik amalnya, dan seburuk-buruk manusia adalah orang yang umurnya panjang dan buruk amalnya. Maka dari itu, jika kita sudah mengetahui bahwa kunci keselamatan di akhirat adalah amal, maka nikmat umur panjang ini sepatutnya mendapat perhatian khusus untuk menambah amal salih dalam setiap detik dan nafas kita.
Kematian teman sebaya kita sejatinya menjadi bukti nyata akan kedekatan kita dengan ajal, mau tidak mau kita harus selalu siap dengan datangnya ajal kapan pun ia datang. Umur panjang yang masih kita nikmati sekarang wajib selalu disyukuri, mensyukuri nikmat yang hakiki adalah mempergunakan nikmat itu di jalan Allah SWT. Umur panjang di akhirat pula akan menjadi hujjah bagi kita, entah ia akan menjadi hujjah lana atau hujjah alaina tergantung bagaimana kita mengisinya.
Oleh sebab itu, menjelang berakhirnya tahun, introspeksi diri menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Saat ini adalah waktu untuk merenungkan perjalanan pribadi selama satu tahun yang telah berlalu, pencapaian yang telah diraih, kesulitan yang telah dihadapi, dan pelajaran berharga yang telah didapat. Introspeksi ini membantu kita memahami lebih dalam tentang diri sendiri, melihat kekuatan dan kelemahan yang perlu diperbaiki, serta menggali potensi yang mungkin belum kita maksimalkan. Dengan melakukan introspeksi, kita dapat menetapkan tujuan baru untuk masa depan, memperbaiki hubungan dengan orang-orang di sekitar kita, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan, sekaligus menjadi momen yang berharga untuk mempersiapkan diri menghadapi tahun yang baru dengan lebih baik dan lebih siap secara mental, emosional, dan spiritual.
Mari kita renungkan, bahwa banyak kenikmatan di dunia ini seperti harta benda, kedudukan, sandang pangan, dan lainnya jika hilang masih bisa digantikan atau didapatkan kembali, namun waktu yang hilang (walau sedetik) tidak akan mampu kita kembalikan. Pernahkah kita berfikir berapa maksimal lamanya jatah hidup kita di dunia dibanding lamanya kita menjalani dalam masa penantian di alam barzakh /kubur, apalagi dibandingkan dengan kehidupan abadi di akhirat. Kita akan tahu bahwa betapa singkatnya jatah hidup kita di alam dunia ini. Kebijaksanaan kita menentukan apakah kita termasuk dari golongan yang mementingkan kehidupan dunia yang amat singkat ini atau kita menyadari betapa singkatnya kehidupan dunia ini untuk diprioritaskan.
Mungkin di hari-hari yang kita lalui kita masih menikmati perbuatan maksiat, menikmati harta haram dan syubhat, menikmati kedudukan dan posisi dengan kesombongan dan semua itu sama sekali tidak berdampak buruk dalam kehidupan kita secara langsung bahkan Allah masih menutupi kita dan belum memberikan peringatan terhadap kita. Namun bukan berarti Allah ridla dengan kemaksiatan kita, dan sungguh naïf jika dari kita ada yang merasa mendapatkan privilege dari Allah bahkan merasa menjadi kekasihNya sehingga bebas melakukan apa saja. Keadaan demikian bisa jadi masuk dalam kategori istidraj.
Hamba yang sedang dalam masa istidraj biasanya adalah hamba yang selalu lalai akan pentingnya waktu dan lalai mengisi waktu dengan amal salih. Hampir dipastikan orang yang sedang diistidraj tidak akan bisa keluar dari lingkaran istidraj itu kecuali atas kehendak Allah. Jika Allah berkehendak maka hidayah akan Ia berikan melalui berragam cara yang Ia kehendaki, mungkin melalui nasihat, mimpi, cabut nikmat, peristiwa besar, dan sebagainya.
Tidak kalah penting, bahwa dalam menjalani kehidupan ini, kita harus istqomah dalam sebuah kebiasaan baik (‘adah shalihah), dengan memiliki kebiasan-kebiasan yang baik memudahkan kita untuk selalu berada di garis yang benar, menumbuhkan semangat untuk beramal salih dan tidak pernah merasa puas dengan kebaikan yang diperbuat, sebaliknya memiliki kebiasaan buruk akan menjauhkan kita dari garis yang lurus, menolak nasihat dan merasa nyaman dalam gelimang dosa. Abdullah bin Mas’ud berkata تعوّدوا الخير، فإنّ الخير عادة, milikilah kebiasaan baik, karena kebaikan adalah kebiasaan (Para Nabi dan Sahabat).
Kebiasaan baik seperti menjaga solat dengan berjamaah, memperbanyak sholat nafilah, memperbanyak zikir, bersedekah, silaturahim, mengajarkan ilmu, membaca al-Qur’an dan solawat, dan sebagainya adalah perisai dalam kehidupan kita dan menjadi bekal kita untuk menjadi individu yang pantas mendapatkan murafaqah Nabi saw di surga. Namun menjaga kebiasaan yang baik tidaklah mudah, factor-faktor taqshir menjadi godaan sehari-hari. Faktor-faktor taqshir secara perlahan tapi pasti selalu mempengaruhi kita; seperti kesibukan kerja, hiburan yang melalaikan, hobi yang tidak terkontrol, bahkan interaksi yang berlebih dalam bermedsos. Tanpa kita sadari umur kita banyak kita habiskan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat, banyak waktu terbuang dalam tahun-tahun yang kita lalui.
Berdasar pengalaman, kita bisa mengambil pelajaran betapa pentingnya memiliki teman yang salih untuk membantu kita istiqamah dalam kebiasaan-kebiasaan baik. Oleh karena itu penting untuk seleksi kembali siapa teman yang pantas untuk kita jadikan partner dalam ta’awun ‘ala al-birr wa al-taqwa, karena dengan wasilah teman salih kita akan terbantu dalam menjaga ketaatan kepada Allah. Berapa kali upaya kita gagal dalam memperbaiki kekurangan dalam diri kita manakala kita melakukannya sendirian, dan betapa banyak contoh kisah ulama salaf yang sukses menjadikan sebuah pertemanan fillah dan lillah untuk saling menolong dalam ketaatan.
Terakhir, doa tidak kalah penting karena al-du’a silah al-mu’min. Penting kita untuk selalu berdoa supaya Allah selalu menjadikan kita hamba yang istiqamah, menghargai waktu, diberikan kekuatan, kesehatan dan keteguhan hati, serta diwafatkan dalam keadaan husnul khatimah. Doa ini tidak hanya menjadi impian, namun juga menjadi penyemangat kita di saat factor-faktor taqshir datang. Allahumma taqabbal minna shaliha a’malina wa tammim taqshirana. Aamiin.
[Athoillah Umar; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]