Perempuan Kuat, Bangsa Hebat
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Kalau ada akademisi laki-laki hebat, itu tidak istimewa. Prinsip itu lama kupegang. Kubangun dan kuyakini dengan cukup kuat. Dasarnya pengalaman. Juga konteks sosial. Dunia yang serba laki-laki menjadi latar belakangnya. Apalagi di masyarakat yang serba patrilineal system. Hidup serba dengan cara pikir laki-laki. Sentrumnya laki-laki. Perempuan hanya sebagai pengikut terhadap cara pikir itu. Maka, tentu saat laki-laki begitu menonjol di ruang publik, itu sungguh biasa saja. Karena semua serba memfasilitasi. Serba memudahkan. Serba membuka jalan keunggulan.
Namun, saat yang menonjol di ruang publik itu perempuan, itu baru istimewa. Apalagi, menonjolnya di bidang akademik. Bidang yang menjadi jalan sepi di tengah keramaian. Lonely in the crowd. Di sini lalu kuingat karya berjudul The lonely road of the intellectual: scholars in Indonesia. Ditulis oleh Arief Budiman. Karya setebal 22 halaman ini dipresentasikan sebagai naskah orasi pengukuhan guru besar (the inaugural professional lecture) di The University of Melbourne, Australia. Poin Arif Budiman adalah bahwa dunia akademik itu jalur sepi. Dan karena itu menjadi intelektual di Indonesia adalah jalan sunyi. Bukan jalur padat merayap nan ramai.
Kalau Arief Budiman melukiskan jalan intelektual sebagai jalur sepi, tamsilnya akan lebih mengena saat kita terapkan untuk perempuan. Langkah yang ditempuh intelektual perempuan Indonesia jauh lebih sepi lagi. Sudah sepi, berliku pula. Tuntutannya banyak. Tapi tak menghilangkan tugas dan kewajiban di ruang domestik rumah tangga. Bandingkan dengan ruang politik. Tengoklah ke sana. Jalur politik adalah jalur sibuk nan ramai. Orang bejibun dibuatnya. Dibikin terpesona karenanya. Jalurnya ramai peserta dan mudah untuk mengejar popularitas. Perempuan menjadi bagian dari penikmat jalur sibuk nan ramai ini.
Nah jalur akademik yang sepi akan semakin sunyi saat dilintasi oleh perempuan. Apalagi perempuan itu mengejar dunia akademik hingga level doktoral. Tentu saya sangat memberi hormat. Apresiatif. Dan angkat topi setinggi-tingginya. Ada sekian jumlah perempuan yang memasuki jalur sepi namun penuh liku serta onak dan duri itu. Mereka harus menjadi mahasiswa yang eksyelen. Tapi juga tetap harus menjadi isteri dan ibu rumah tangga idaman. Urusan publiknya dikejar tapi urusan domestiknya harus selesai. Multiple burden. Beban berlipat. Bukan double burden lagi. Bukan beban ganda lagi.
Apalagi, lalu beban berlipat itu ditunaikan oleh para perempuan akademisi Indonesia di kampus-kampus luar negeri. Tentu beban menjadi semakin berlipat-lipat pula. Sistem sosialnya sangat berbeda. Dibanding di negeri sendiri. Di luar negeri, semua serba mandiri. Tak ada dukungan keluarga besar yang bisa dinanti. Juga masyarakat sekitar yang mengitari. Seperti di negeri sendiri. Karena memang mereka tinggal di negeri yang budayanya sangat berbeda dan tersendiri. Juga sistem hidupnya tak terkecuali. Maka, beban berlipat sangat bisa dipahami. Harus eksyelen dalam kuliah. Harus terbaik menjadi isteri dari suaminya. Dan harus istimewa menjadi ibu bagi anak-anaknya. Dan juga ini: urusan domestik juga harus beres. Superwomen, pokoknya.
Kesan itulah yang kurasakan betul saat berkunjung ke Canberra. Di rumah rekan Indonesia yang menjadi dosen di University of Canberra (UC), Bu Prof. Sitti Maesuri bersama suaminya, Pak Ihsan. Di daerah Gungahlin pada hari Minggu (29 Oktober 2023). Di situ kudipertemukan dengan para akademisi perempuan yang sedang menyelesaikan studi S3-nya di Canberra. Ada yang di UC dan ada pula yang di The Australian National University (ANU). Kuketemu khususnya dengan Neng Anita, puteri Gus Dur yang sedang kuliah S3 di ANU. Hadir pula Mbak Puji dari UIN Antasari, Banjarmasin; Mbak Nadrah dari UIN Fatmawati Soekarno, Bengkulu; dan Mbak Ida Isandespha dari STAIN Khairun Nisa Maluku Utara. Di luar yang perempuan tersebut, ada Mas Putrawangsa dari UIN Mataram.
Sebagian besar mereka adalah mahasiswa S3 penerima program Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB) di kampus-kampus di atas. Dan tentu di luar mereka masih ada sejumlah lainnya. Baik yang tersebar di sejumlah kampus di negara bagian lain di Australia maupun di seluruh dunia. Mereka perempuan-perempuan hebat yang sedang membangun kemuliaan melalui jalur pendidikan S3 di luar negeri. Mereka, sekali lagi, superwomen! Kutangkap kuat kesan itu saat bercengkerama dengan mereka. Kesan itu semakin mengafirmasi pengalaman dulu saat kuliah sekitar duapuluh tahun lalu di Australia juga.
Tidak ada yang mudah kuliah program PhD di kampus luar negeri. Tak ada yang ringan menempuh kuliah jenjang doktor di kampus-kampus luar negeri itu. Apalagi bagi perempuan. Bagaimana tidak? Ya jadi mahasiswi S3. Ya jadi isteri. Ya jadi ibu rumah tangga. Ya juga tetap sibuk dengan urusan domestik rumah tangga. “Kadang beasiswa 3 bulan belum cair,” keluh salah seorang mereka. Yang lain bahkan hingga 6 bulan. Mereka harus nalangi dulu uang beasiswa itu. Juga biaya hidupnya. Hidup mereka pun jadi tidak mudah. Baik untuk urusan akademik-keilmuan maupun urusan keuangan. Apalagi, problem yang disebut terakhir akhirnya mengharuskan mereka juga bekerja untuk bertahan hidup.
Aku pun bilang pada diriku: “Kau dulu memang susah saat kuliah di Australia, tapi kau tak sehebat perempuan-perempuan kandidat PhD di atas👆.” Mereka sibuk urusan kuliah S3. Sibuk pula urusan domestik rumah tangga. Plus sibuk cari pendapatan tambahan untuk bertahan hidup. Semua harus sukses bersamaan. Bahkan saat mereka hadir pada pertemuan santai di rumah rekan Indonesia yang menjadi dosen UC di atas, mereka mengajak serta sejumlah anak mereka. Kalau aku saat kuliah dulu? Aku didampingi isteri. Anak-anakku juga ada yang merawat dan mendampingi. Ya isteriku itu yang melakukannya. Singkatnya, isteriku mengambil sebagian besar peran domestik rumah tangga. Bagaimana dengan para perempuan kandidat PhD di atas? Mereka mengambil peran semuanya, domestik maupun publik. Tentu sebagian bareng dengan suaminya.
Foto Koleksi Pribadi (Gungahlin, Canberra, 29 Oktober 2023)
Akupun teringat dengan quote menarik ini: A strong woman stands up for herself. A stronger woman stands up for everybody else. Wanita yang kuat berjuang membela dirinya sendiri. Wanita yang lebih kuat berjuang membela orang lain. Begitu pesan quote itu. Tapi, tentu untuk bisa berjuang untuk orang lain, maka wanita harus selesai dengan dirinya sendiri lebih dulu. Karena itulah, proses yang terjal akan menempa dirinya untuk bisa bergerak sebagai pejuang diri dan orang lain. Maka, penting untuk tidak pernah resah atas tantangan yang dihadapi. Penting untuk yakin: Semakin terjal hidup, semakin baik untuk proses penempaan diri. Dan itu yang akan membuat diri semakin matang dan tahan banting.
Kematangan diri oleh tempaan pengalaman riil dapat mendorong wanita menjadi pemimpin hebat. Harapan besar akan lahirnya generasi hebat pun bisa kita titipkan kepada perempuan dalam kriteria tersebut. Seorang aktivis HAM Amerika keturunan Irak dan sekaligus presenter ternama Zainab Salbi mengingatkan begini: stronger women build stronger nation. Wanita kuat, bangsa hebat. Semakin kuat wanita, semakin hebat sebuah bangsa. Karena itu, Zainab Salbi pun mendorong lahirnya kepemimpinan wanita (women leadership) di masyarakat manapun di dunia. Karena diyakini implikasinya jelas dan konkret untuk sebuah bangsa.
Dua quote di atas penting kukutip kembali untuk memaknai pengalaman hidup sahabat-sahabat saya, para perempuan Indonesia yang menempuh kuliah S3 di Canberra Australia di atas. Mencerna cerita hidup bertabur tempaan konkret mereka seperti kujelaskan di atas membuat mereka segera akan menjadi wanita kuat nan hebat. Untuk membangun keluarga dan bangsa yang bermartabat. Apalagi, tempaan yang mereka hadapi pasti ada ujungnya. Karena berbasis waktu. Berbasis masa studi. Yang rata-rata empat tahun saja. Usai itu, mereka akan kembali ke situasi normal di negeri sendiri.
Seorang teman berseloroh penuh tanya: “Kenapa mahasiswa Indonesia bisa bertahan hebat seperti pada cerita para perempuan Indonesia kandidat PhD di atas?” “Karena kita sebelumnya sudah terbiasa hidup susah saat di Indonesia,” jawab saya singkat sambal tertawa kecil. Canda tapi serius. Poin saya sebetulnya bukan “hidup susah”nya. Tapi, bagaimana kita terbiasa menghadapi setiap kesusahan dan kesulitan dalam hidup. Semakin terampil menghadapinya, semakin matang diri kita. Itu bisa dibuktikan dengan praktik mengambil pelajaran dari setiap kesulitan, kesempitan dan kesusahan itu.
Yang penting, memang, bukan ada atau tidak ada masalah. Karena selama bernafas, seseorang tak akan pernah lepas dari masalah. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana seseorang menghadapi masalah. Dan kebiasaan sebelum berangkat kuliah ke luar negeri akan menentukan bagaimana seseorang melakukan handling atas masalah hidup saat kuliah di luar negeri. Jika saat berada di Indonesia selalu menghindar dari masalah dan karena itu tak pernah belajar darinya, seseorang tak akan pernah punya pengalaman berarti dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah itu. Saat sukses menghadapi dan menyelesaikan masalah, tak akan ada kesulitan jika kesusahan hidup menghampiri kembali.
Pengalaman semasa masih di Indonesia inilah yang berperan penting bagi penyelesaian setiap kesulitan saat kuliah di negeri orang. Karena itu, jangan pernah lari dari masalah hidup setiap ia datang. Hadapi. Ikuti. Dan maknai. Pengalaman perempuan-perempuan Indonesia kandidat PhD dalam menghadapi kesusahan hidup semasa kuliah di Cenberra di atas memberi sinyal positif bahwa mereka datang ke Australia dengan segala pengalaman berbasis tempaan problematika hidup yang besar semasa masih di Indonesia. Pengalaman itu menjadikan mereka memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi kesulitan hidup di negeri orang. Itu walaupun tugas dan beban berlipat harus mereka tanggung sembari menjalani studi.
Kampus harus memikirkan kanal bagi lahirnya perempuan-perempuan hebat. Kampus penting merealisakan hubungan yang kuat antara pendidikan dan gender. Untuk kepentingan ini, semua kampus sangat pantas memikirkan skema pengarusutamaan perempuan di pendidikan tinggi sebagai kanal publik mereka. Itu karena, sarana paling efektif untuk mewujudkan pengarusutmaan perempuan di ruang publik adalah melalui jalur pendidikan tinggi. Pengalaman para perempuan Indonesia yang sedang menjalani kuliah S3 di Canberra Australia di atas harus memberi pelajaran penting bahwa kampus di Indonesia harus menjadi tempat terbaik bagi individu perempuan dalam berproses untuk menjadi pribadi yang kuat. Karena sekali lagi, perempuan kuat, bangsa hebat.