Artikel

Pemilu dan Pasar Krempyeng

Prof. Abdul Chalik

Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

 

Bila anda ke kawasan pasar Gresik di sisi barat atau bersebelahan terminal terdapat pasar legenda namanya Pasar Krempyeng. Saya tidak tahu mengapa disebut pasar Krempyeng. Di pasar itu dari pagi hingga malam hari penuh sesak dengan manusia untuk membeli kebutuhan sehari-hari, utamanya sayuran dan buah. Yang punya isi dompet sedikit atau banyak dapat membeli kebutuhan sehari-hari di tempat itu. Apapun saja dapat dibeli sesuai dengan kemauan asal isi dompet masih tersedia. Sama seperti pasar-pasar lain di Indonesia, hulu lalang manusia sibuk bertransaksi di tengah pasar yang kumuh dan semrawut.

Pemilu kita yang baru bulan lalu  dilaksanakan tak ubahnya seperti pasar. Ada yang yang penjual dan ada pembeli. Yang menjual adalah para Caleg dan yang membeli suara konstituen atau rakyat. Caleg menjual gagasan dan program. Biasanya dituangkan dalam flyer, pamflet, spanduk atau disampaikan secara langsung melalui tatap muka. Gagasan dan program dibeli oleh konstituen dengan keyakinan dan harapan. Yakin bahwa Caleg yang dicoblos dapat memperjuangkan hak-haknya, beserta harapan perbaikan hidup di masa yang akan datang.

Namun saat ini sudah tidak murni  jualan gagasan dan program. Agar gagasan dan program laku dijual diselingi dengan beragam rayuan–salah satunya melalui pemberian uang, barang atau janji. Beragam jumlah uang yang ditawarkan dari jumlah terkecil 20 ribu hingga di atas 100 ribu. Adapun barang yang terbiasa ditawarkan dalam bentuk peralatan ibadah seperti sarung, baju, mukena hingga kerudung. Uang dan barang mulai terlihat menjelang atau mendekati masa pencoblosan.

Pembeli tidak semata karena faktor keyakinan dan harapan. Ada kalanya berharap satu suara dihargai dengan materi sebagai kompensasi atas pengorbanan waktu dan tenaga pada saat hari pencoblosan. Nilai dan harga cukup menentukan terhadap keputusan akhir di bilik suara. Semakin besar keuntungan materi yang diperoleh maka semakin besar pula kemungkinan untuk mengarahkan paku coblos di menit terakhir.

Tidak dapat dipungkiri adanya fakta bahwa ‘masih ada’ yang berharap momentum lima tahunan dijadikan ajang sebagai ‘pesta rakyat’—sebuah istilah atau derivasi dari ‘pesta demokrasi’. Kebahagiaan sebuah pesta yang tidak hanya dirasakan oleh yang punya hajat dan penyelenggara, tetapi juga dapat dinikmati oleh masyarakat secara langsung.

Di beberapa survey terakhir menunjukkan bahwa nilai manfaat praktis tetap menjadi pertimbangan pemilih untuk menentukan  hadir di TPS dan sekaligus mengarahkan ke mana paku itu bergerak. Begitu pula cara kampanye yang cukup efektif dalam memobilisasi massa ditentukan oleh manfaat praktis baik dalam bentuk uang maupun sembako. Survey FISIP UINSA di bulan Oktober 2023 lalu menunjukkan bahwa uang dan sembako berada di peringkat tertinggi dalam mendorong konstituen hadir dan menentukan pilihan politiknya. Sementara pertimbangan pilihan atas dasar program atau visi-misi berada jauh di bawah uang dan sembako. Hasil survey tersebut berbanding lurus dengan survey lembaga lain secara nasional.

Hasil survey tersebut bukan sesuatu yang baru dan tidak mengagetkan. Hasil riset dari beberapa peneliti menunjukkan gejala serupa, sebut saja Edward Aspinall, Marcus Meitzner, Diego Fossati, Andreas Ufen, Burhanuddin Muhtadi hingga Mada Sukmajati. Beberapa nama tersebut hadir dan melakukan riset pada saat Pimilu dan Pilpres pasca Reformasi 1998. Hasilnya menunjukkan gejala serupa dan hampir tidak mengalami perbaikan dari tahun ke tahun.

Tiap Pemilu mengingatkan saya pada pasar Krempyeng;ramai dan kumuh. Penjual dan pembeli berada dalam satu lokasi saling berdesakan untuk bertransaksi. Begitu pula menjelang Pemilu. Baliho, spanduk, pamflet, brosur dan kaos bersiliweran. Kemana arah mata melihat, di situ kita temukan gambar kontestan. Lebih-lebih di Medsos. Pasca Pemilu diskusi di warung kopi nyaris sama yakni soal lalu lintas uang receh untuk memperebutkan suara.

Juga terkesan kumuh karena ditemukan paradoks. Caleg yang korup, di Medos bicara soal pemberantasan korupsi. Caleg yang selalu hadir rapat terlambat, di Medsos bicara soal kedisiplinan. Caleg incumben yang dikenal sebagai anggota 3 D (Duduk, Diam dan Duit) di dewan lalu di Medos bicara soal tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Pemilu kita masih Pemilu pasar. Selera pemilik lapak sebagian besar masih selera ‘harga’. Siapapun pembeli asal menawar dengan harga tinggi, merekalah pemenangnya. Sebaliknya yang menawar harga rendah cukup sulit untuk bersaing dengan tawaran yang lebih tinggi. Ada harga, ada barang. Reggo nento’no rupo. Begitu ‘teori pasar’.

Pemilu kita masih menyisakan ‘pekerjaan rumah’ besar. Caleg berkualitas dengan modal pas-pasan dapat mudah dirontokkan oleh Caleg yang berbekal isi tas yang tebal. Ini sebuah ironi dalam praktik demokrasi setelah 25 tahun Refromasi. Bukan hanya tugas penyelenggara dan pemerintah, tetapi kita semua. Karena Pemilu yang berkualitas akan menentukan pemimpin yang berkualitas. Pemimpin yang berkualitas sangat menentukan kemana arah bangsa ke depan. Wallahu a’lam