Column

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D

Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Toko kaca mata, jual kaca mata. Itu biasa. Banyak macamnya. Pergilah ke toko kaca mata ternama, seperti Melawai. Juga ada Optik Seis dan OWL Eyewear. Dan masih banyak lainnya. Mereka adalah toko kaca mata. Yang dijual? Ya tentu kaca mata. Semua yang diperdagangkan di toko-toko tersebut adalah kaca mata. Semuanya. Berbagai ukuran dan modelnya. Termasuk produk ikutannya bernama contact lenses yang kini mulai mengemuka. Orang tinggal datang saja. Lalu memilih yang disuka. Jika cocok, bayar. Jika tidak, berikan kembali ke pegawainya. Jika cocok dan lalu membayar, berikutnya tunggu proses penyetelan kaca mata yang dibeli. Sesimpel itu.

Tapi, kini ada toko kaca mata. Namanya Saturdays. Merek internasional. Jualan utamanya memang masih kaca mata. Seperti toko-toko kaca mata lainnya. Tapi, selain kaca mata, toko itu juga menjual barang lainnya. Dua yang kudapati: kopi (beserta snack/roti dengan beragam rasa) serta diecast. Nama yang disebut terakhir adalah jenis produk mainan mobil-mobilan. Atau motor-motoran. Biasanya anak-anak suka sekali untuk memilikinya. Diecast itu kini menjadi trend baru kesukaan produk mainan di kalangan anak-anak dan remaja.   

Kudapati sendiri toko dengan kecenderungan baru dalam jenis usaha bisnis kaca mata di atas. Kala itu, siang hari. Di Hari Sabtu, 6 April 2024. Kubersama anak-isteriku jalan-jalan di Mal Galaxy, Surabaya. Biasa saja. Wisata kota. Di akhir minggu. Nah, saat melewati sebuah koridor, mataku langsung terbelalak. Karena ada toko kaca mata Saturdays, seperti kusebut di atas. Tapi yang dijual tak hanya produk kaca mata. Ada produk lain yang dijualnya juga. Yakni kopi dan diecast. Seperti kusebut juga sebelumnya.

Bahkan, langkahku kuhentikan begitu berlalu dari toko itu. “Eh, apa iya sih toko kaca mata itu jual produk kopi dan diecast?” tanyakan dalam hati. Penasaran! Begitu rasa ingin tahuku kala itu. Daya investigasiku bergerak. Untuk mencari jawaban. Atas rasa ingin tahuku yang membuncah. Seakan tak bisa lagi ditahan. Pertanda bahwa ada hal menarik yang perlu kulacak. Kesan awalku pada pandangan pertama menuntutku untuk mendapatkan pembenarannya. Lalu, aku pun berjalan kembali ke depan toko kaca mata itu. Untuk memastikan kebenaran kesan sepintasku itu.

Eit, ternyata benar! Toko kaca mata itu tidak hanya menjual produk kaca mata. Tapi juga kopi beserta snack/roti dengan beragam rasa. Dan produk diecast pun ternyata juga ada. Kulihat calon pembeli perempuan sedang berada di depan rak display produk kaca mata. Sedang memegang-megang produk kaca mata itu. Lalu mencoba mengenakannya. Tapi, kulihat juga di sampingnya ada seorang anak lelaki yang melihat-lihat produk diecast. Tak jauh darinya, ada seorang lelaki dewasa yang berdiri di bagian rak layanan jual kopi. Sedang memesan kopi. Tidaklah mungkin aku mencari tahu hubungan ketiga mereka. Tapi, kesanku sepintas, mereka berasal dari hubungan keluarga yang sama. Semacam sepasang suami-isteri dan anak.

Jadilah tiga orang di atas memiliki kesibukan masing-masing di toko kaca mata itu.  Yang perempuan dewasa sedang mencoba mengenakan produk kaca mata di toko itu. Yang lelaki dewasa sedang memesan kopi. Dan sang anak lelaki sedang memegang-megang serta mencoba memainkan produk diecast. Masing-masing tampak tenang dengan kondisinya di hadapan produk yang disuka masing-masing. Tidak tampak ada kegundahan satu atas lainnya akibat kegiatan transaksi pembelanjaan satu jenis produk secara sepihak, sedangkan lainnya tak terlibat di dalamnya.

Foto:  Tampak Depan Toko Kaca Mata Saturdays di Mal Galaxy

Fenomena seperti yang terjadi pada toko kaca mata Saturdays di atas tidak eksklusif padanya semata. Ku juga pernah menyaksikan kecenderungan serupa pada pelaku bisnis lainnya. Ada toko busana yang juga menjual buku, di samping ragam busana yang tentu menjadi komoditas utamanya. Juga ada pelaku bisnis es krim yang semakin menjamur di tengah masyarakat. Brand-nya besar dan belakangan makin ternama. Namun mereka juga jual kopi. Misal, Mixue. Juga WeDrink. Dan tentu masih banyak lainnya yang bisa menandai kecenderungan baru usaha bisnis  ekonomi di tengah masyarakat. Kecenderungan itu bahkan terjadi pada nama-nama besar nan ternama pada beragam produk jualannya.

Apa yang bisa dipetik sebagai pelajaran dari kecenderungan beragam usaha bisnis di atas, terutama oleh dan bagi pengelola perguruan tinggi? Kucatat dua pelajaran penting. Pertama, pasar itu dirawat. Jangan sampai menyapanya telat. Apalagi dibiarkan begitu saja lewat. Lalu pertanyaannya, bagaimana cara merawat pasar? Rumusnya, jangan biarkan pasar berjalan sendiri ke arah yang dikehendaki. Sementara kita juga berjalan ke arah yang kita kehendaki sendiri. Ikuti kecenderungan seleranya. Jangan jauh-jauh dari kecenderungan pergerakannya. Termasuk perubahan seleranya. Dekat dengan selera pasar adalah awal kesuksesan. Berjarak hanya akan menyebabkan ketertinggalan.

Penting belajar dari bagaimana pelaku bisnis seperti toko kaca mata, busana dan es krim di atas dalam merawat pasar. Mereka melakukan diversifikasi usaha. Komoditas utama tak pernah diterlantarkan. Tapi, mereka memperkaya dan memperluas barang dagangannya untuk merawat pasar konsumennya. Toko kaca mata tetap konsisten dengan jualan kaca mata sebagai komoditas utamanya. Namun, ia juga menjual kopi dan diecast sebagai pelengkapnya. Sekali lagi, “sebagai pelengkap”. Ini artinya toko kacata mata itu tak meninggalkan komoditas utamanya. Tak mengesampingkan barang dagangan awalnya.

Mengapa tak meninggalkan komoditas utamanya begitu? Sederhana penjelasannya. Toko kaca mata itu tak mau kehilangan jati dirinya. Pelaku usaha ini tak mau trademark yang membesarkannya selama ini enyah darinya begitu saja. Sebab, kalau sudah tak lagi menjual produk kaca mata, maka ia berarti sudah tak lagi bisa dikaitkan dengan produk kaca mata itu sendiri. Maka, ia akan kehilangan trademark-nya.  Karena jati diri bisnisnya selama ini sangat identik dengan produk kaca mata.

Tapi, bukan berarti lalu toko kaca mata itu berhenti dengan layanan kaca mata semata. Komoditas kaca mata tetap menjadi barang jualan utama. Hanya, di sampingya juga dijual kopi dan diecast. Fungsinya apa? Keberadaan produk kopi dan diecast dalam layanan bisnis toko kaca mata itu hanya berfungsi sebagai “pelengkap” semata. Kepentingannya pada satu sisi untuk memperkuat pasar konsumen utamanya. Agar konsumen produk kaca mata makin nyaman dengan layanan bisnis di dalamnya. Jika konsumen hadir bersama pendamping seperti pasangan dan anak, sebagai misal, maka yang terlayani kebutuhannya bukan hanya dia, melainkan juga pasangan dan anaknya juga. Nah, memenuhi kebutuhan yang bertambah ini adalah bentuk perawatan pasar.

Kedua, petakan psikologi konsumsi pasar, atau umumnya disebut psikologi konsumen (consumer psychology), dengan baik. Bagaimana caranya? Jangan hanya berfokus pada satu titik konsumen saja dan melupakan selainnya. Lengkapi fokus itu dengan perhatian serupa juga pada pemangku kepentingan tambahan (additional stakeholder) di sekitar pemangku kepentingan utama (main stakeholder). Pemangku kepentingan utama adalah konsumen utama, dan pemangku kepentingan tambahan adalah konsumen pendamping atau tambahan.

Pemetaan psikologi konsumen di atas sangat penting karena langsung berhadapan dengan praktik konsumsi pasar (consumer behavior). Jangan pernah mengesampingkan perhatian pada bagaimana seseorang atau kelompok orang mengambil tindakan dan keputusan untuk memilih, membeli, menggunakan, dan mengenyahkan-menelantarkan suatu produk atau layanan. Semua faktor harus ditimbang dan ditelaah secermat mungkin agar apa yang diinginkan oleh pasar bisa diikuti dengan baik. Termasuk hingga bagaimana, meminjam ungkapan Cathrine V. Jansson-Boyd (Consumer Psychology, 2010:1), mereka terlibat dalam praktik konsumsi (engage in consumer activities). Mulai menjatuhkan pilihan dalam melakukan pembelian hingga mengkonsumi produk kebutuhan hidup.

Foto: Sampul Depan Buku Consumer Psychology

Dengan fokus pada konsumen yang diperluas di atas, maka baik konsumen utama maupun pendamping atau tambahan bisa menjadi pasar tersendiri meskipun bisa pula bersifat komplementer. Lihatlah satu keluarga yang terdiri dari tiga individu dalam kasus konsumsi di toko kaca mata di atas. Masing-masing bisa menjadi pasar tersendiri. Sang isteri berbelanja kaca mata. Suang bapak berbeanja minuman kopi dan makanan ringan. Sang anak berbelanja diecast. Kalau fokus hanya pada pemangku kepentingan utama, situasinya bisa tidak sama pula. Yang tersasar oleh jualan produk untuk sang isteri/ibu semata. Sementara sang bapak dan anak tak terlayani.

Jika dalam kasus toko kaca mata di atas, baik bapak maupun anak tak terlayani dengan baik, keduanya bisa-bisa menjadi faktor pengganggu (destructive factor) atas perilaku konsumsi sang isteri/ibu dimaksud. Karena yang memiliki kepentingan langsung dalam kegiatan transaksi jual-beli kaca mata di toko kaca mata di atas hanya sang isteri/ibu, sang suami/bapak dan anak bisa merasa tak menjadi bagian dari kepentingan itu. Faktor pengganggu yang disebut tadi bisa mewujud dalam bentuk penggiringan opini untuk tidak berbelanja di tempat itu. Atau bahkan desakan untuk membatalkan keinginan pembelian sama sekali di tempat itu.

Kalau sudah begitu, menunggu isteri/ibu yang sedang bertransaksi tuntas atas produk kaca mata untuk waktu yang cukup lama bisa bikin bete baik suami maupun anak dalam kasus transaksi jual-beli kaca mata di toko di atas. Tingkah laku aneh pun bisa muncul. Minimal, gerutu dan gundah melanda. Kalau dibiarkan untuk waktu yang cukup lama, situasi itu bisa menggangu transaksi sang isteri atau ibu atas produk kaca mata itu. Keputusan membeli pun bisa berubah jika sang perempuan itu mendapat tekanan gerutu dan gundah dari suami dan anaknya.  

Akhirnya, pasar itu pun bisa melayang saat perempuan tak kuasa untuk menegosiasikan kepentingannya dengan kegundahan suami dan anaknya. Nah, pelaku pasar yang baik akan sangat menghitung keberadaan suami dan anak dalam contoh kasus tersebut sebagai faktor penentu pula atas praktik konsumsi isteri/ibu. Posisi salah satu atau keduanya bisa mempertebal keyakinan sang isteri/ibu untuk segera melakukan pembelajaan atau konsumsi. Atau sebaliknya, mereka justeru cenderung melakukan desakan untuk membatalkan rencana pembelajaan atau konsumsi itu.

Selera pasar memang harus diikuti dengan baik. Karena dampak positifnya juga kembali kepada pelaku produksi dan pemberian layanan itu sendiri. Prinsip ini berlaku khususnya bagi kepentingan melancarkan proses produksi dan konsumsi untuk sebuah produk dan jasa. Yang demikian itu efektif meskipun pasar sendiri juga butuh beragam edukasi. Maka, judul “pasarku dirawat, pasarku melesat” dari tulisan ini mengirim pesan penting agar pelaku produksi dan pemberian layanan tak jauh-jauh dari pasar. Terlepas apakah berbentuk produk atau jasa, tetap saja proses produksi dan pemberian layanan harus terampil membaca dan memenuhi selera terkini pasar. Kalau tidak, siap-siap saja ditinggal oleh pasar.