PARALLEL SESSION #1: GENDER DAN PENDIDIKAN MORAL DI ERA DIGITAL
UINSA Newsroom, Rabu (03 /05/2023); Rangkaian acara ketiga pada hari kedua kegiatan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 Tahun 2023 adalah Parallel Session 1 yang bertempat di Tower KH. Mahrus Aly. Parallel Session ini merupakan sesi paparan makalah hasil penelitian para peneliti nasional dan internasional yang berfokus dengan tema dari konferensi sesuai sudut pandang dari keilmuan masing-masing dengan berbagai tema pembahasan.
Salah satunya membahas terkait “The Fiqh Literacy for Gender, Minority Group and Disability Issues.” Kajian yang diangkat adalah pembahasan konteks gender terhadap peran perempuan di masyarakat secara sosiologis. Khususnya pada posisi perempuan dalam hukum adat Islam Nusantara.
Seperti halnya yang disampaikan Prof. Hazairin tentang hukum waris dalam posisi dan bagian yang diperoleh perempuan dalam pembagian warisan. Lalu peran majelis taklim yang ada di Jambi dalam promosi kesetaraan gender posisi perempuan di mata laki-laki, serta terkait dengan Ijtihad NU.
“Salah satu aspeknya terkait dengan pandangan NU terkait isu-isu perempuan yang berupa kepemimpinan, kekerasan dalam rumah tangga dan lainnya. Selanjutnya terkait isu postgenderisme dimana hal ini merupakan pembahasan gender dengan perspektif baru yang menghapuskan gender biner yang akan “membebaskan” manusia dari batasan mereka,” ujar Prof. Hazairin.
Dari hasil diskusi tersebut dapat disimpulkan, bahwa posisi perempuan memang masih relevan untuk diperjuangkan sampai saat ini. Mengingat separuh dari dunia dihuni perempuan. Sehingga jika perempuan tidak memiliki peran ataupun posisi yang sama dengan laki-laki maka potensi dunia itu tidak sepenuhnya bisa dimanfaatkan. Atas dasar hal itulah peran perempuan dalam dunia ini menjadi sangat penting.
Selanjutnya tema pembahasan lainnya terkait “Fiqh, Digital World, and Education.” Kajian ini fokus pada pembahasan edukasi anak-anak terkait cara menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di sekolahan maupun di lingkungan seperti kekerasan seksual atau kekerasan kepada bullying di sekolah dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut dibahas sebagai upaya preventif akan semaraknya bullying dan kekerasan yang akan merusak moral bangsa kita.
Menurut Prof. Abdurrahman Assegaf, pencegahan itu lebih baik dari mengobati. Salah satu contohnya terkait metode hukuman di lingkungan sekolah yang mana lebih banyak kepada hukuman fisik. “Hal ini akan masuk ke bawah alam sadar kita, khususnya anak-anak bahwa lingkungan sekolah mengajarkan tentang kekerasan. Berbeda dengan metode pendidikan yang ada di luar indonesai, yang lebih mengedepankan nasihat-nasihat baik dengan cara hikmah agar dapat mudah difahami oleh anak-anak,” tegas Prof. Abdurrahman Assegaf.
Selanjutnya terkait konteks parenting, itu tugas semua elemen yang ada di kehidupan anak. Bukan hanya elemen rumah melainkan elemen sekolah juga. Pola asuh dan mendidik anak menurut Dr. Lilik Hamidah, melalui beberapa step.
Pertama, instruksi dimana mengacu pada konteks bagaimana cara yang baik dan benar. Kedua, pendampingan. Ketiga, monitor. Keempat, pembatasan dengan hanya memantau. Kelima, pendampingan, dan Keenam, monitor atau kontroling sehingga ada evaluasi.
“Pada era saat ini fiqh, dunia digital, dan pendidikan memiliki satu permasalahan kompleks pada konteks bullying dan kekerasan yang semakin marak. Sebagai seorang akademisi dan orang tua, kita memiliki peran penting dalam upaya preventif akan hal ini. Dikarenakan 2 konteks permasalahan ini selaras dengan dekadensi moral suatu bangsa,” tukas Dr. Lilik Hamidah. (All/Humas)