Berita

Rabu (03/05/2023) Sesi plenary 1 dalam perhelatan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 yang bertempat di KH. Saifuddin Zuhri UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA) resmi digelar secara hybrid dan dapat diakses melalui youtube dan zoom. Sesi plenary 1 memiliki tema “Rethinking Fiqh for Non-Violent Religious Practices” yang fokus pada pemikiran ulang fikih mengenai praktik keagamaan anti kekerasan.

Sesi plenary perdana ini dipandu langsung oleh Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad. Dip. Sea., M.Phil., Ph.D. Terdapat tiga narasumber yang kompeten dalam bidangnya yaitu peneliti senior di Emory University yaitu Prof. Abdullah Ahmed An Na’im, guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yaitu Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin M.A., dan K.H Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) selaku ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Pembahasan tentang fikih sebagai landasan normatif hubungan ritual dan sosial dalam islam telah dirumuskan oleh para ulama klasik abad pertengahan dan berlaku hingga saat ini. Praktik-praktik kekerasan yang merupakan pembenaran atas nama agama banyak terjadi di tengah masyarakat karena fikih dipahami sebagai doktrin yang kaku, seperti hukum perang, hubungan antar agama, dan status minoritas.  Perlu dilakukan reinterpretasi dan rekontekstualisasi agar fikih selaras dengan perubahan yang mendukung masyarakat damai dan toleran.

“Islam for humanity (islam untuk kemanusiaan),” ujar Gus Yahya.

“Fikih harus tetap ada dan biarkan didalam diri tiap individu. Hal itu bisa menjadi rasa respect apabila ada perbedaan yang ada di masyarakat,”ungkap Prof. Siti Ruhaini.

Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam aliran agama, misalnya Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dalam islam. Perbedaan itu menjadi landasan rekontekstualisasi Fikih yang lebih luas.

“Seperti yang ada kita lihat sekarang, Prof. Siti merupakan orang Muhammadiyah sementara disamping saya juga ada Ketua PBNU, Gus Yahya. Hal itu menjadi pandangan kita bahwa apapun alirannya kita tetap bisa berdiskusi dan memunculkan ide dari setiap masalah atau fenomena yang terjadi di masyarakat,” tegas Prof. Muzakki. (AOW)