Tulisan sederhana ini berawal dari diskusi kelas yang menarik, terlontar dalam diskusi dengan teman teman kelas di Pemikiran Politik Islam, bagaimana Islam memandang oposisi? Sementara dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu (An-Nisa: 59).” apakah dalam Islam ada oposisi dan Islam punya konsep oposisi? bagaimana kami di Indonesia harus bersikap?
Setelah pemilu 2024 bergulir dan perolehan suara terus berjalan penghitungannya, beberapa kelompok masyarakat dan partai politik sudah mulai mewacanakan pertidaksetujuan pada calon pemangku pemerintahan hasil pemilu, dan menyatakan berdiri di luar pemerintahan, dengan kata lain oposisi. harapan pada oposisi ini beberapa kali diutarakan oleh para pengamat dan pelaku politik untuk menyeimbangkan pemerintahan yang berjalan, beberapa media nasional membuat laporan yang menarik tentang posisi partai politik dan elemen masyarakat tentang potensi oposisi pasca pemilu 2024. (lihat https://www.bbc.com/indonesia/articles/cpvr2pydn6ko dan https://www.kompas.id/baca/riset/2024/02/21/parpol-mana-berani-jadi-oposisi)
Oposisi diserap dari kosakata bahasa Inggris opposition yang berasal dari bahasa Latin oppositus, opponere, yang artinya: membantah, menyanggah, dan menentang. Dalam politik praktis, makna oposisi menyempit menjadi kubu partai yang tidak berkoalisi dengan penguasa, atau yang berbeda haluan dengan pemerintah, mempunyai pendirian berlawanan dengan garis kebijakan partai atau kelompok yang menjalankan pemerintahan.
Banyak pemikir politik yang berpendapat tentang konsep oposisi diantaranya adalah Robert Dahl dengan kalimat nya yang sering dikutip “oposisi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari demokrasi (Dahl, 1971) dan dan Ian Shapiro “Democracy is an ideology of opposition as much as it is one of government.” Ian Shapiro’s democratic justice. Good Society, irish Young, (2002). lalu bagaimana dengan islam?
Lontaran komentar kelas ini membuat teringat sebuah buku Karya Dr Neveen Abdul Khalik Musthafa dengan judul Al mua’radhah fi Fikri al siyasi al Islami (1985). seorang Profesor Perempuan dan pemikir di Mesir yang fokus pada pemikiran politik Islam pada Fakultas Ekonomi dan Politik di Universitas Kairo. beliau menulis sebuah disertasi yang bagus tentang oposisi Islam. mengutip Prof Dr Hamid Rabi’ (1980) komponen pokok yang menjadi pusat konstruksi potensial dan perspektif bagi teori politik Islam dalam lingkup teorisasi politik dalam konteks oposisi adalah melalui tiga level pertama, value. level ini melihat pembentuk esensi wujud politik Islam seperti; keadilan, kebebasan dan persamaan. kedua, evolusi. bagian ini mencakup observasi sejarah untuk melihat signifikansinya dalam berinteraksi dengan konsep oposisi. melalui pandangan masyarakat dan perkembangannya serta dalam periode-periode berikutnya. Ketiga, keputusan. peran oposisi dalam pengonsepan dan pengkristalan keputusan politik. pada level ini muncul bentuk (musyawarah) sebagai dasar filsafat hukum.
Adanya pertentangan dan perselisihan serta tidak adanya satu pendapat yang bisa diterima oleh semua masyarakat adalah alami, perselisihan pendapat sesuatu yang sudah terdeteksi sehingga diperhitungkan oleh Al-Qur’an dan diasumsikan sebagai suatu realita yang sangat mungkin terjadi. Kata oposisi (mua>radhah) tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tapi pengertian kata itu terdapat dalam sejumlah ungkapan-ungkapan dalam Al Quran yang maknanya berkisar pada pertikaian, oposisi, pertengkaran pertentangan. diantara kata-kata tersebut adalah al-tanazu (perselisihan dan tarik menarik) asy-syija>r (pertikaian, pertentangan) dan al-jadal wa mujadalah (debat dan perdebatan).
beberapa perbedaan pemaknaan dalam beberapa konsep berikut juga mewarnai diksi makna oposisi seperti, al-hukm (pemerintahan) dengan al-hakimiyah (otoritas), Al-Qur’an dan prinsip prinsip pemerintahan (keadilan dan persamaan), kewajiban menyampaikan amanat, pemerintahan adalah kontrak, ketaatan dan batasan batasannya, menepati baiat, kewajiban bermasyarakat dan menasehati antar umat islam, syura, amar makruf nahi mungkar.
Berbanding dengan mazhab lainnya seperti Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah, kelompok Aswaja tampaknya lebih moderat dalam melakukan teorisasi oposisi berhadapan dengan kekuasaan. Misalnya jika Syiah tidak membuka ruang pada oposisi karena kedudukan seorang imam yang terjaga (Ma’sum), maka Aswaja yang dasar teori oposisinya berujung pada syariat (prinsip Syura dan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar) memberi landasan bagi oposisi sebagai sebuah tugas dalam kehidupan politik baik dalam proses kontrol kekuasaan maupun pergantian kekuasaan.
Dalam sejarah Islam konflik internal sesama kaum Muslimin tercatat awal ketika terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan pada 18 Dzulhijjah 35 H (30 Mei 656 M) di tangan oposisi, yang selanjutnya diikuti perang Jamal (36H/656 M), perang Shiffin (37 H/657 M), dan perang Nahrawan (38H/658M). dalam beberapa dekade selanjutnya konflik antara dinasti dan daulah terjadi berjilid jilid juga.
Di Indonesia pada masa Orde Lama proses kebuntuan penyelesaian konflik politik secara damai juga pernah terjadi. Selain pertentangan partai antara PNI, Masyumi, PKI dan NU, diantaranya ialah timbulnya peristiwa pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera pada 1956-1961. Menurut penelitian Eny May (Jurusan sejarah Univ Andalas) mengenai PRRI dan kegagalan penerapan sistem otonomi daerah, pada era Orde Lama pemerintah Soekarno dinilai tidak serius melaksanakan Undang-Undang nomor 22 tahun 1948 tentang desentralisasi, terutama di kawasan luar Jawa. Akhirnya Pemerintah menjawab tuntutan mereka dengan operasi militer. Bung Hatta berbeda dengan menyarankan penyelesaian secara dialogis dan damai, namun tetap menganggap proklamasi PRRI inkonstitusional dan sekaligus tidak menyetujui serangan militer. Perang antar sesama rakyat Indonesia ini berkobar pada Maret 1958 dan berakhir setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden RI tentang pemberian amnesti dan abolisi tanggal 17 Agustus 1961.
Dalam beberapa kajian sejarah dari perspektif yang berbeda menyatakan ada upaya ketidaksetujuan dengan pemerintah pusat tentang pembagian kewenangan dan kebijakan yang merugikan daerah. sehingga para mantan pejuang kemerdekaan dianggap membangkang pemerintah pusat, nama Letnan Kolonel Ahmad Husein, Daud Beureu’eh, Kartosuwiryo, Syafruddin Prawiranegara, Kahar Muzakar, dapat dijadikan contoh kajian pembelajaran.
Pada masa Orde Baru relatif lebih halus, dengan tidak adanya perang terbuka namun banyak oposisi yang dibungkam dengan dalih ketertiban dan keamanan dan stabilitas. klaim anti Pancasila dan anti pembangunan cukup kuat mengakar menyebabkan oposisi tidak bisa berkembang dengan semestinya sebagai kekuatan penyeimbang.
Setelah Orde Baru, yang disebut reformasi, oposisi pada cenderung bubar dan tampak kehilangan kekuatan. Selain karena kesalahpahaman mengenai oposisi, serta belum mendapat dukungan kuat dari publik dan kelompok masyarakat secara luas. Jika dahulu hal ini sangat dipengaruhi oleh tekanan dari pihak rezim, maka saat ini justru tindakan para elite partai yang berperan melemahkan posisi oposisi, dan mereka selalu berada di lingkaran dalam kekuasaan atau berani di luar pemerintahan adalah hasil dari keputusan pragmatis.
Oposisi (yang bermakna), sebagaimana yang dimaksudkan pada judul tulisan, bukanlah sekadar sikap asal beda atau berani melawan kebijakan pemerintah, melainkan kelompok –kelompok di luar pemerintahan yang mampu melakukan kontrol dengan baik dan tegas serta memberikan alternatif kebijakan yang bernas. Partai partai politik dan berbagai kelompok masyarakat harus lebih bersungguh-sungguh membangun ideologi dan menempatkannya sebagai basis atau matra bagi tawaran-tawaran kebijakan ideal bagi kebaikan bersama.
Penegakan komitmen ideologis semacam ini baik untuk partai politik atau beberapa kalangan, seperti media massa, cerdik cendekiawan, aktivis NGO, dapat dimulai pada kesadaran untuk menemukan dan memantapkan kembali arah ideologi dan menyosialisasinya secara sistematis kepada seluruh kader melalui jenjang kepengurusan kelembagaan, jejaring, dan kursus-kursus ideologi. Jenjang karier para anggota atau para kader pun sedikit-banyak harus ditentukan oleh pemahaman dan komitmen mereka terhadap ideologi. Sehingga pada akhirnya partisipasi politik (termasuk melakukan kritik terhadap penguasa dengan dasar landasan oposisi islam) akan hak dan kewajiban negara melalui berbagai jaringan dan institusi diharapkan dapat menumbuhkan demokrasi secara lebih baik dan genuine. Semoga. [M. Anas Fakhruddin – Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]