Articles

Pemilihan Umum (pemilu) merupakan sarana mewujudkan kedaulatan rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilu yang diselenggarakan secara berkeadilan (electoral justice) dan berintegritas (electoral integrity) akan bermuara pada proses pemilihan yang tertib, damai, edukatif, dan menghasilkan pemerintahan baru yang legitimate. Namun praktek penyelenggaraan pemilu di Indonesia, dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, kerap diwarnai praktek manipulasi pemilu (electoral manipulation) dan praktek kecurangan pemilu (electoral fraud). Apakah praktek manipulasi dan kecurangan pemilu 2024 semakin menurun, menipis ataukah semakin meningkat dan menebal.  Lalu bagaimana membongkar praktek pemilu buruk tersebut.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Bawaslu RI hingga 8 Januari 2024, Bawaslu RI telah menangani pelanggaran Pemilu sebanyak 1.032 kasus yang terdiri dari 329 temuan dan 703 laporan. Sebanyak 585 kasus telah diregistrasi dengan rincian 297 laporan dan 288 temuan. Pelanggaran administrasi Pemilu yang terjadi, yakni: KPU melakukan rekrutmen penyelenggara tidak sesuai dengan prosedur sebanyak 6 kasus. KPU Provinsi melakukan penerimaan penyerahan dukungan pemilih DPD tidak sesuai ketentuan sebanyak 6 kasus. KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota melakukan pergantian calon sementara anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada masa pencermatan rancangan DCT tidak sesuai tata cara, prosedur dan mekanisme sebanyak 6 kasus. KPU melakukan verifikasi faktual keanggotaan partai politik tidak sesuai ketentuan sebanyak 5 kasus. KPU melakukan verifikasi administrasi perbaikan teknis tidak sesuai ketentuan sebanyak 4 kasus.

Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang terjadi antara lain: Panwascam melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara Pemilu sebanyak 63 kasus. Panwascam tidak profesional dalam seleksi Pengawas Kelurahan/Desa (PKD) sebanyak 24 kasus. KPU tidak profesional dalam perekrutan PPK/PPS/KPPS sebanyak 18 kasus. KPU Kabupaten/Kota tidak profesional dalam seleksi PPK sebanyak 15 kasus. PPS tidak netral atau menunjukkan keberpihakan kepada Peserta Pemilu sebanyak 13 kasus.

Pelanggaran Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terjadi antara lain: ASN memberikan dukungan melalui media sosial/masa kepada Peserta Pemilu sebanyak 19 kasus. ASN mengajak atau mengintimidasi untuk mendukung salah satu Peserta Pemilu sebanyak 6 kasus. ASN melakukan pendekatan/mendaftarkan diri pada salah satu Partai Politik sebanyak 5 kasus. Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri sebanyak 4 kasus. ASN menggunakan atribut Peserta Pemilu sebanyak 3 kasus.

Berbagai jenis pelanggaran pemilu yang direlease Bawaslu satu bulan sebelum pemungutan suara, tidak begitu mengagetkan public, karena kerap terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya. Namun public begitu terperanjat, ketika berbagai komponen pro demokrasi -seperti Koalisi Masyarakat Sipil, Guru Besar di berbagai Perguruan Tinggi, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Organisasi Mahasiswa Exstra Kampus (Ormek), Organisasi sosial kemasyarakatan (Ormas), Tim Kampanye Paslon 01 dan 03, Analis Politik, Media Massa (Pers)- menyuarakan berbagai manipulasi dan kecurangan pemilu yang lebih fundamental dan fantastik ke ruang public (public sphere). Hal ini selaras dengan persepsi public yang dipublikasikan dari hasil survey Lembaga Survey Indonesia (LSI), beberapa hari pasca pemungutan suara terkait aspek kecurangan pemilu. 31,4 persen pemilih menyatakan terjadi kecurangan pemilu. 31,4 persen dari 204.807.222 pemilih sekitar 64.309.467 merupakan jumlah yang sangat besar dan fantastik.

Praktek manipulasi dan kecurangan pemilu yang disampaikan oleh berbagai komponen pro demokrasi ke ruang public, dapat diklasifikasi menjadi beberapa kategori. Pertama, politisasi hukum. Ada dugaan kuat menyasar orang-orang yang menduduki jabatan politik dan pemerintahan mulai di level Pusat, Provinsi, Kabupaten, Kota, hingga Kepala Desa yang memiliki kasus atau celah hukum melakukan tindak pidana korupsi dan yang bersangkutan mendukung Paslon 01 dan 03. Ada upaya yang dilakukan “Aparatur Penegak Hukum” untuk mengintimidasi supaya merubah dukungan politik ke paslon lain, atau dikriminalisasi. Kedua, politisasi “aparatur sipil negara”, “aparatur penegak hukum”, “aparatur militer”, hingga pejabat kepala daerah baik di Provinsi maupun Kabupaten dan Kota. Ada dugaan memobilisasi mereka untuk memenangkan paslon tertentu. Menarik aparatur sipil negara, aparatur penegak hukum maupun aparatur militer dalam kancak politik praktis tentu pelanggaran hukum yang nyata, dan menggangu pelaksanaan tugas dan fungsi yang semestinya menjunjung tinggi netralitas dan profesionalitas. Ketiga, politisasi anggaran negara. Ada dugaan kuat penggelontoran berbagai anggaran negara dalam jumlah besar kurang lebih 496 trilium pada momentum berlangsungnya proses pemilu. Mulai bantuan beras 10 kg, bantuan langsung tunai (BLT), kenaikan tunjangan kinerja (tukin) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pencairan kenaikan gaji PNS, dan sebagainya. Penggelontoran anggaran negara kerap dipersonifikasikan ke paslon tertentu. Keempat, manipulasi dalam proses penghitungan dan rekapitulasi suara berjenjang di TPS, PPK, KPU -Kabupaten, Kota, Provinsi dan Pusat (RI) maupun yang dilakukan melalui Sistem Informasi Rekapitulasi (Si Rekap). Kelima, berbagai praktek kecurangan lain di luar empat kategori tersebut, mulai DPT siluman, pelanggaran konten media berupa ujaran kebencian dan hoak, perusakan alat peraga kampanye, money politics, dan sebagainya.

Berbagai jenis manipulasi dan kecurangan pemilu tersebut, tidak boleh dibiarkan dan diabaikan. Justru harus dibongkar, agar bisa diperbaiki dan tidak terulang kembali pada pada momentum pilkada maupun pemilu yang akan datang. Lalu, saluran dan mekanisme apa saja yang bisa dipakai untuk membongkar praktek pemilu manipulative dan curang tersebut, masih efektifkah saluran tersebut. Hal itu, kerap menjadi pertanyaan dari berbagai pihak yang menyuarakan bongkar pemilu curang.

Pertama melalui saluran Bawaslu, pelanggaran proses penyelenggaraan pemilu baik pelanggaran administrative maupun pidana  dapat dilaporkan dan diselesaikan melalui Bawaslu. Namun proses penengakan hukum dilakukan secara terpadu (Gakumdu) tidak hanya dilakukan oleh Bawaslu, tapi juga melibatkan pihak kepolisian dan kejaksaan. Persepsi public terhadap Bawaslu saja sudah miring terkait netralitas dan profesionalitasnya, apalagi melibatkan pihak kepolisian dan kejaksaan. Belum lagi proses persidangan harus menghadirkan bukti, saksi, pelaku yang membutuhkan waktu tidak singkat. Langkah ini harus dilakukan, meskipun tidak boleh terlalu banyak berharap.

Kedua, melalui saluran Mahkamah Konstitusi (MK). Para penggugat bisa mengajukan sengketa hasil rekapitulasi suara dalam pemilu. Tampaknya, selisih suara hasil pemilu yang begitu jauh, proses pembuktian dalam persidangan yang tidak mudah dalam waktu yang relative terbatas, sampai cara pandang (perspektif) sebagian Hakim Agung yang menempatkan MK sebagai Mahkamah Kalkulator menyulitkan para penggugat memenangkan perkara.

Ketiga, melalui saluran parlemen dengan pengajuan hak angket (penyelidikan). Jika penggunaan hak angket mendapatkan persetujuan mayoritas anggota parlemen, para pihak yang diduga melakukan praktek manipulasi dan kecurangan pemilu dapat dipanggil dan dimintai keterangan oleh panitia khusus (pansus) angket. Pelaku praktek kecurangan pemilu bisa dipanggil dan hadir secara sukarela maupun hadir dengan bantuan aparat penegak hukum. Melalui saluran dan mekanisme ini, praktek manipulasi dan kecurangan pemilu lebih memungkinkan dibongkar, siapa saja pelakunya, seperti apa praktek manipulasi dan kecurangan pemilu dilakukan, bagaimana implikasi kecurangan terhadap proses penyelenggaraan maupun hasil pemilu dan sebagainya.

Rekomendasi akhir dari pansus angket dapat dijadikan pijakan dan konsideran untuk memperbaiki berbagai regulasi pelaksanaan pemilu, supaya lebih kompatibel terhadap terwujudnya pemilu berkeadilan dan berintegritas. Selain itu dapat dijadikan pijakan dalam memperbaiki praktek penyelenggaraan pemilu yang syarat dengan manipulasi dan kecurangan, pada setiap tahapan pemilu, mulai pra-pemilu, penyelenggaraan pemilu sampai pasca-pemilu. Perbaikan tersebut harus menyentuh dua aspek sekaligus yakni pada  aspek pencegahan (preventif) maupun aspek penindakan/penanganan.

Penggunaan hak angket bergantung pada sejumlah fraksi partai politik yang ada di parlemen. Fraksi partai politik pengusung paslon 01 (Nasdem, PKB, PKS) dan 03 (PDI-Perjuangan, PPP) yang menguasai suara mayoritas di parlemen (314 kursi) tampaknya menginisiasi penggunaan hak angkat untuk membongkar manipulasi dan kecurangan pemilu. Kita tunggu saja kesungguhan fraksi-fraksi tersebut, dalam membongkar kecurangan pemilu, ataukah sekedar gimmick politik untuk menaikan posisi tawar masuk ke kabinet pemerintahan hasil pemilu.

Ketiga upaya tersebut harus dilakukan secara beriringan dan simultan, dengan harapan akan mendapatkan simpati dan dukungan public. Public turut bergerak secara serentak dan massif membangun atmosfir baru yang memungkinkan Bawaslu, Mahkamah Konstutusi dan Parlemen memiliki komitmen dan keberanian membongkar praktek manipulasi dan kecurangan pemilu, merekomendasikan berbagai perbaikan, baik pada aspek regulasi maupun praktek penyelenggaraan pemilu.

*Dr. Andi Suwarko, M.Si, Dosen Prodi Pemikiran Politik Islam, Prodi Ilmu Politik, Direktur Eksekutif Lentera Politik.