Column UINSA

MUSLIM DIPERCAYA, LONDON BERCAHAYA

(Tour Dakwah di London. Serial ke-5)

Oleh Moh. Ali Aziz

Figure 1: London bercahaya Ramadan

Inilah dunia dengan teknologi terkini. Pengetahuan melalui kecanggihan teknologi mengalahkan pengetahuan mengandalkan kedekatan geografis. Hari pertama Ramadan, putri saya ketujuh, Nawabika Izzah Zaizafun, S.Psi., di Surabaya mengirim gambar berjudul, “London Bercahaya Ramadan.” Padahal, saya yang saat itu menginap di tempat yang amat dekat dekorasi Ramadan itu belum mengetahui peristiwa langka itu sama sekali.

Saya penasaran. Maka, pada malam ketiga Ramadan (Jum’at, 24-3-2023) saya minta diantar ke lokasi cahaya itu setelah shalat tarawih. Saya sangat suka dengan urutan acara buka puasa di KBRI, yaitu kajian Islam, lalu berbuka hanya dengan sepotong kue dan kolak atau teh hangat, dan dilanjutkan shalat Maghrib. Sebab, jika langsung berbuka dengan makan besar, maka shalat Maghrib bisa terlambat sampai dekat waktu Isyak.

Selama bulan suci Ramadan, London semakin cantik setelah 30.000 lampu dalam bingkai gambar bulan bintang dipasang di sepanjang jalan Coventry Street mulai Piccadily sampai Leicester Square. Teks “Happy Ramadan” dengan huruf yang indah dan bercahaya itu semata-mata dipersembahkan untuk menyambut kedatangan bulan suci Ramadan dan menunjukkan penghormatan pemerintah terhadap 15% penduduk muslim yang tinggal di kota London.

Figure 2: London bercahaya Ramadan

Tidak hanya itu, para turis dari Eropa dan warga London yang berjubel di dekat cahaya itu juga lebih antusias dengan lagu-lagu religi di sepanjang jalan protokol itu. Lagu-lagu Maher Zein, sebuah lagu yang belum familiar di telinga warga Inggris itu membuat saya, istri dan tiga teman dari KBRI terheran-heran dengan gema lagu, “Ramadan” oleh Maher Zein yang diputar di sejumlah toko sepanjang jalan itu. Terdengar lirik, “Ramadan, Ramadan, Ramadan, ya habib. Ramadan, Ramadan, laitaka dawman qarib” (Ramadan, Ramadan, oh Ramadan, bulan tercinta. Aku berharap selalu dekat denganmu sepanjang waktu).

Dalam Kelompok Ibu-ibu Pengajian Raboan yang diselenggarakan sehari sebelum Ramadan di rumah Ibu Elvi Ibrahim, saya sudah mendengar sayup-sayup percakapan ibu-ibu tentang lampu hias menyambut Ramadan, peristiwa yang pertama kali dalam sejarah Inggris itu. Tapi saya tidak seberapa memperhatikan, sebab badan masih lemas, baru saja mendarat di London dari Surabaya. Mereka juga memuji walikota London yang beragama Islam, Shadiq Khan (50 th), sebagai wali kota muslim pertama London, dan wali kota pertama yang terpilih sampai dua kali yang menginisiasi Lights Up Ramadan itu.

Saya yakin, pembaca sama dengan saya, amat mengagumi prestasi walikota yang berlatarbelakang keluarga tak mampu itu. Bagaimana ia, putra seorang bapak asal Pakistan yang berprofesi sopir bus dan ibu sebagai penjahit bisa memenangi pemilu melawan pesaing yang lebih kesohor dan seagama dengan masyarakatnya. Bagaimana ia membangun citra diri dan bagaimana cara ia meraih dukungan politik yang menakjubkan itu.

Bisa saja, pengalamannya sebagai anak yang dibesarkan dalam rumah subsidi pemerintah itu yang justru menjadi berkah baginya. Sebagaimana keberkahan status yatim Nabi SAW dalam perjalanan dakwahnya di tengah masyarakat. “Warga London harus memperoleh fasilitas tinggal di rumah bersubsidi, sebagaimana yang pernah saya rasakan,” janjinya dalam membela wong cilik dalam setiap kampanye yang disambut hangat para pemilih. Sebab, saat itu, bahkan sampai hari ini – termasuk saya ikut merasakannya selama Ramadan ini – warga London merasakan krisis yang luar biasa. Harga kebutuhan pokok meroket. Apalagi kesulitan mendapatkan fasilitas perumahan bagi warga London.

Walikota dari Partai Buruh (Labour Party) yang mencatat sejarah emas ini sudah kenyang dengan ancaman pelecehan dan pembunuhan dari beberapa kelompok kecil karena perbedaan etnis dan agama mereka. Ia tak pernah takut, tapi tetap waspada dengan pengawalan ketat 15 polisi. Semula ia menolak pengawalan itu, tapi demi keselamatan, akhirnya menerimanya.

Ia juga merangkul kelompok gay dengan mengijinkan pernikahan antar mereka, menolak penutupan klub malam, walaupun ia sendiri tidak mengkonsumsi alkohol, dan membangun komunikasi yang harmonis antar semua etnis dan kepercayaan, agama ataupun atheis di London demi masa depan terindah bagi warga kota yang terpadat di Inggris ini. Mungkin juga ia belajar bagaimana Nabi SAW membuat keputusan kontroversial yang ditentang Umar bin Khattab R.A. dalam perjanjian Hudaibiyah. Tapi kemudian Umar meminta maaf kepada Nabi setelah mengetahui umat Islam bisa merebut kembali kota Makkah sebagai berkah dari keputusan yang semula juga ditentang oleh Ali bin Abi Thalib, R.A itu.  Bisa juga Shadiq Khan belajar bagaimana nama Nabi berkibar ketika berhasil menyatukan masyarakat imigran Makkah dan pribumi Madinah, antara etnis Aus dan Khazraj, dan antar etnis yang amat heterogen untuk memajukan peradaban di Madinah. 

Figure 3: Shalat di Lapangan Chelsea (Sumber: https://www.chelseafc.com/en/news/article/chelsea-fc-hosts-first-ever-open-iftar-in-a-premier-league-stadium)

Gema keislaman dengan balutan toleransi yang dibangun walikota berdarah Pakistan ini berimbas pada dunia olah raga. Pada tanggal 26-3-2023 atau hari keempat Ramadan 1444 H, sebuah klub sepak bola Liga Inggris, Chelsea FC mengadakan open iftar (berbuka bersama) di lapangan Stanford Bridge dan dilanjutkan berjamaah shalat maghrib di lapangan yang sama bersama ribuan orang. Gagasan Chelsea Foundation bekerjasama dengan Ramadan Tent Project (Proyek Tenda Ramadan) ini mengundang pengurus sejumlah masjid dan supporter muslim dengan satu tujuan, yaitu memuliakan bulan suci dan membangun toleransi.

Figure 4: Buka Bersama Chelsea FC (Sumber: https://www.chelseafc.com/en/news/article/chelsea-fc-hosts-first-ever-open-iftar-in-a-premier-league-stadium)

Sayang sekali, saya tidak bisa menghadiri acara bersejarah itu, karena bersamaan dengan memberi ceramah di depan Muslimat NU London. “Andaikan tidak bersamaan dengan kegiatan itu, mas Ali juga pasti tak bisa hadir, karena gagal mendapatkan tiket,” celetuk istri saya dengan tertawa lebar sambil menambahkan, bahwa Bapak Wakil Dubes RI juga gagal mendapatkan tiket ke acara itu. “Andaikan tidak bisa masuk lapangan untuk open iftar, kan saya bisa mencium bau makanan dari luar, juga mengambil gambar peristiwa langka itu,” kelakar saya menghibur diri.

Selama Ramadan ini, saya masih berharap bisa menghadiri dua peristiwa sejenis selanjutnya. Yaitu, buka bersama yang diadakan Aston Villa FC di Birmingham, dan shalawat dengan iringan rebana muslimat NU London yang menurut informasi, telah diundang oleh walikota muslim terhebat di Eropa itu. Jika tidak berhasil juga tak masalah. Tetap saja pulang ke Surabaya setelah khutbah idul fitri untuk menonton sepakbola anak-anak kampung di lapangan balai RW dengan menikmati ketupat. He he. (London, 29-3-2023) (Bersambung).