Berita

Tiga mahasiswa dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya kini menjadi sorotan di Museum Kambang Putih, Tuban. Mereka adalah Wulan, Ani, dan Afi, yang tengah menjalani program magang MBKM selama empat bulan untuk mendalami dunia museum dan sejarah lokal.

 Sejarah bukan sekadar kisah masa lalu, tetapi juga jembatan untuk memahami identitas budaya. Inilah yang dirasakan oleh ketiganya. Selama magang, mereka tidak hanya akan belajar terkait pemeliharaan benda-benda bersejarah tetapi juga berkontribusi dalam memperkenalkan museum kepada masyarakat dengan cara yang lebih modern dan menarik.

Ketika pertama kali melangkah ke museum, Wulan, Ani, dan Afi merasa terkesima dengan berbagai koleksi yang tersimpan rapi di sana. Museum Kambang Putih memiliki berbagai artefak dari zaman Kerajaan Majapahit, peninggalan kolonial Belanda, hingga benda-benda bersejarah dari era kerajaan Islam di pesisir utara Jawa.

Awal e tak kiro museum ki gor tempat gawe nyimpen barang-barang tuo, eh, sakbare dijelasne kurator e, adewe sadar lek kabeh barang ki enek cerito menarik e,” ujar Wulan yang paling tertarik dengan sejarah Kerajaan Majapahit di Tuban.

(Awalnya kami kira museum itu hanya tempat menyimpan benda tua, tapi setelah dijelaskan oleh kurator, kami sadar kalau setiap benda punya cerita menarik).

Salah satu benda yang menarik perhatian mereka adalah prasasti dan arca peninggalan Hindu-Buddha, yang menunjukkan bahwa Tuban pernah menjadi kota penting di jalur perdagangan Nusantara. Ani, yang memiliki minat pada sejarah Islam, sangat antusias saat melihat koleksi peninggalan Sunan Bonang, salah satu Wali Songo yang menyebarkan Islam di Jawa.

Setelah beberapa minggu belajar tentang koleksi museum, mereka diberi tantangan untuk menjadi pemandu wisata bagi para pengunjung . Awalnya, mereka merasa gugup, tetapi lama kelamaan mereka mulai menikmati pengalaman ini.

Piye yo carane njelasne sejarah seng menarik gawe pengunjung, terutama gawe cah cah cilik,” kata Afi.

(Bagaimana menjelaskan sejarah dengan cara yang menarik bagi pengunjung, terutama anak-anak sekolah)

Mereka belajar bahwa menjadi pemandu wisata tidak hanya tentang menghafal informasi, tetapi juga cara menyampaikan cerita agar pengunjung tertarik dan memahami sejarah secara lebih mendalam.

Ani berbagi pengalamannya saat membimbing sekelompok siswa SD yang datang untuk wisata belajar. Alih-alih hanya membaca keterangan yang tertulis di museum, ia menceritakan kisah Watu Tiban seperti dongeng yang menarik.

“Pas aku nyeritakne enek watu ceblok teko langit, anak-anak langsung pengen ruh yo pengen delok,” ujarnya sambil tersenyum.

(Ketika saya menceritakan bahwa ada batu yang jatuh dari langit, anak-anak langsung penasaran dan ingin melihat sendiri).

Ketiganya aktif dalam berbagai kegiatan, mulai dari mendokumentasikan koleksi museum hingga mendampingi pengunjung dalam tur edukasi. Salah satu tugas mereka yang paling menarik adalah meneliti asal-usul kota Tuban, yang erat kaitannya dengan situs Watu Tiban. Sebuah batu misterius yang menyimpan legenda turun-temurun. 

Menurut Wulan, pengalaman magang ini membuka wawasan mereka tentang kekayaan sejarah Tuban. “Aku lagek ruh lek tuban ki dudu mek tentang sunan bonang utowo pesisir seng apik, ternyata yo akeh cerito mistis seng menarik,” ujarnya. 

(Aku baru tahu bahwa Tuban bukan hanya tentang Sunan Bonang atau pesisir utara yang indah, tetapi juga punya banyak cerita mistis yang menarik)

Ani menambahkan, “Aku yo lagi belajar piye carane ngrawat barang-barang bersejarah. Ternyata ngelolah museum iku gak sekedar nyimpen barang-barang kuno, tapi yo piye carane nyampekno sejarah gawe coro seng menarik gawe pengunjung.”

(Kami juga belajar bagaimana menjaga dan merawat benda-benda bersejarah. Ternyata, mengelola museum itu tidak sekadar menyimpan benda kuno, tetapi juga bagaimana menyampaikan sejarah dengan cara yang menarik bagi pengunjung)

Sementara itu, Afi tertarik pada teknologi digital yang mulai diterapkan di museum. “Adewe ki nyobak gawe konsep digital, yoiku barcode seng isine penjelasan barang-barang kabeh seng enek nang museum, ben wong ki luweh ruh,” katanya.

(Kami mencoba membuat konsep digital, seperti barcode yang berisi tentang penjelasan semua barang-barang yang ada di museum,  agar pengunjung lebih tau luas) 

Dengan semangat mereka, Museum Kambang Putih berharap dapat menarik lebih banyak anak muda untuk mengenal sejarah dan budaya lokal.