Articles

Eksistensi agama dipandang meresahkan dan mengkhawatirkan. Oleh karena itu, muncul gugatan yang menginginkan kebebasan tanpa menganut agama. Hal ini bukan hanya menjadi tantangan bagi agama itu sendiri, tetapi menjadi pekerjaan bebas dari pimpinan agama itu. Dengan adanya keinginan untuk tidak beragama, bisa jadi menunjukkan kegagalan para dai dalam meyakinkan kepada pengikutnya tentang hakekat beragama, atau kegagalan penganut agama itu dalam menginterpretasi dan mempraktekkan agama sebagai nilai yang mendatangkan optimisne dalam beragama. Yang lebih memprihatinkan, munculnya pemurtadan yang dilakukan oleh pihak-pihak eksternal terhadap generasi Islam, baik secara terbuka maupun sistematis.   

Menggugat Agama

Beragama dipandang sebagai hal yang menggelisahkan, sehingga ada keinginan untuk bebas tak beragama. Kegelisahan inilah yang mendasari Raymond dan Indra Syahputra menggugat Undang-Undang yang meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperbolehkan warga tidak menganut agama.[1]

Surat permohonan bernomor 146/PUU-XXII/2024 itu merupakan fakta yang menggelisahkan sebagian warga negara yang menganggap beragama justru membuat dirinya tidak tenang atau jauh dari kebahagiaan. Bagi mereka, tidak beragama merupakan bagian integral dari hak asasi manusia. Beragama dipandang penuh dengan norma-norma yang menekan sehingga tidak membuat dirinya bebas.

Terlebih lagi dalam masyarakat yang pluralistik, kebebasan untuk tidak beragama dipandang sebagai sebuah keniscayaan dan harus diberi ruang seluas-luasnya. Dalam konteks ini, mewajibkan memeluk agama bertentangan dengan kehidupan modern yang memberikan kepada setiap individu untuk tidak beragama. Apalagi melihat realitas, mereka yang beragama tidak tercermin dalam kehidupan sosialnya, seperti beragama tetapi korupsi, menipu, atau bertindak dzalim. Dalam pandangan mereka ini, beragama tidak membuat pribadi lebih religious, tetapi justru menjadi pribadi yang menjadikan agama sebagai alat untuk memperkaya diri.

Tuntutan untuk tidak beragama sekamin santer seiring dengan membanjirnya pandangan sekularisme yang mana urusan beragama atau tidak merupakan hak individu. Oleh karena itu, tidak beragama pun harus dihormati dan dihargai. Terlebih lagi, ketika arus sekularisme menguat, memaksa negara agar bersikap netral, dan tidak ikut campur tangan terhadap warga negaranya yang tidak beragama.

Apalagi ada pandangan yang menguat bahwa urusan agama merupakan urusan privat yang tisak selayaknya negara mengatur-atur. Dalam negara yang modern, negara tidak memiliki hak untuk memaksakan individu memeluk agama.

Tuntutan untuk menolak beragama, bisa jadi karena ketidakpercayaan terhadap institusi agama yang seringkali dipergunakan untuk kekuasaan politik. Institusi agama dengan alasan ideologis, historis, dan etis, seringkali dimanfaatkan untuk memperjuangkan kepentingan diri atau kelompoknya untuk meraih tujuan tertentu yang sifatnya terselubung. Misalnya beragama, untuk popularitas, atau mendapatkan pujian atau jabatan serta melanggengkan kekuasaan.

Masyarakat Nir-Etika

Ketika tuntutan tidak beragama dikabulkan akan berimplikasi besar dan luas. Di antaranya, berkembangnya paham ateisme, agnostisisme, atau sekularisme. Paham ini jelas kontra produktif dengan sila pertama Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama mengakui eksistensi Tuhan dan memberi ruh bagi sila-sila di bawahnya.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi kepada sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ruh ketuhanan. Menusia yang adil dan memiliki adab yang baik tidak mungkin tercapai kalau tidak mendasarkan dirinya pada nilai-nilai ketuhanan. Manusia yang melekat sifat adil menjadikan dirinya berperilaku jauh dari sikap semena-mena atau menyusahkan orang lain. Nilai-nilai keadilan dan keadaban hanya bisa dicapai dengan merujuk sumber pembuat keadilan, yakni Tuhan Yang Maha Esa.

Juga,  sila Persatuan Indonesia, yang menginginkan persatuan bagi masyarakat tidak mungkin tercapai apabila manusia yang memimpin itu tidak memiliki jiwa yang adil dan beradab. Ketika yang memimpin dari mereka yang melekat sifat culas, dzalim, atau biadab tidak mungkin akan mampu mempersatukan warga masyarakat. Ketika pemimpin tidak adil karena memiliki kekayaan yang tidak wajar sulit untuk Bersatu dengan masyarakat miskin yang tidak memiliki akses terhadap kekayaan.

Demikian pula, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan tidak akan tercapai kalau masyarakatnya tidak adil, tak beradab, berpecah belah- bermusuhan, saling hujat dan memaki karena berebut sumber daya alam, dan mengkaplingkekuasaan. Tidak mungkin terjadi kebijaksanaan ketika pemimpinnya masih mengutakan keluarga dan sanak saudaranya.

Keadilan sosial tidak akan tercapai apabila masih terjadi jurang yang tajam antara yang miskin dan kaya, bodoh dan pintar. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah tidak akan terbagi sesuai dengan porsi dan posisinya ketika para warga masyarakat, khususnya elite, masih berambisi untuk mengeksploitasi dan memperkaya diri.

Dengan kata lain, ketika nilai-nilai agung dalam agama, yang tereksplisit dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dihilangkan, maka yang terjadi adalah kekisruhan dalam menemukan nilai baru seperti apa yang menjadi rujukan. Dengan demikian, implikasi kebebasan untuk tidak beragama jelas akan merembes pada hukum perkawinan yang selama ini diatur institusi agama, termasuk mengatur kematian, waris, perceraian, dan hal-hal lain yang telah berjalan dengan normal. MK sebagai  The Gurdian of State Ideology (Penjaga Ideologi Bangsa) bisa menjadi garda terdepan untuk menjelaskan bahwa beragama tidak dalam pengertian yang negatif. Tidak beragama justru lebih banyak mendatangkan pekerjaan yang lebih pelik. Karena apa yang sudah ditata dengan baik oleh pada founding parents kita harus dibongkar ulang dengan adanya tuntutan bebas tidak beragama.

Dr. Slamet Muliono Redjosari; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat


[1] https://news.detik.com/berita/d-7602362/indra-raymond-minta-warga-dibolehkan-tak-beragama-mk-ingatkan-sila-pertama/2