Column

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Pembicaraan di tengah keramaian antara dua perempuan yang kudengar siang itu (Ahad, 08 Juni 2025) sungguh menarik. Bincang itu secara tak sengaja kudengar saat berada di Pasar Oro-Oro Dowo, Malang. Kala itu, aku sedang jalan-jalan santai untuk menikmati jajanan pasar. Isu dari bincang santai itu tentang julidnya sejumlah netizen pada proyek body goals yang dilakukan oleh artis Aurel Hermansyah. Dibincangkan, usai melahirkan, tubuh istri YouTuber ternama Atta Halilintar itu memang melar. Dia lalu menjadi sasaran kejulidan netizen karena kondisi perubahan fisik tubuh yang makin large itu. Setelah itu, dia melakukan diet secara konsisten. Diiringi dengan olahraga padel. Yakni, olahraga raket yang memadukan unsur tenis dan squash.

Hasilnya? Aurel Hermansyah pun makin terlihat segar nan bugar. Tubuhnya diberitakan susut hingga 18 kg. Dan itu semua berarti dia telah sukses menjalankan proyek body goals-nya. Tentu banyak perempuan menginginkan kondisi seperti yang sedang sukses dia raih itu. Sebab, body goals semakin dipandang penting. Hingga seakan menjadi madzhab baru dalam perawatan fisik tubuh di sejumlah kalangan perempuan. Tapi toh begitu, masih saja Aurel Hermansyah tak bisa lepas dari kejulidan para netizen. Sukses proyek body goals yang telah dia dulang itu tak kunjung meredakan kejulidan mereka.

“Dulu saat tubuhnya melar, dia diolok habis. Kini, saat tubuhnya kembali ideal, tetap saja digunjing. Memang, julid bener tuh netizen!” Demikian kira-kira komentar yang sampai ke telingaku dari ucapan seorang di antara dua perempuan di dalam Pasar oro-Oro Ombo yang sedang berbincang santai di Ahad (08 Juni 2025) itu. Kutipan kalimat ini keluar dari perempuan dimaksud untuk mengungkapkan responnya atas sikap aneh dan berlebihannya para netizen terhadap pilihan hidup yang dilakukan oleh pesohor semisal artis Aurel Hermansyah di atas. Apapun yang dilakukan oleh artis itu atas kondisi tubuhnya dianggap salah terus.

Tentu, sikap aneh dan berlebihan yang menandai kejulidan di atas bisa berasal dari beragam sifat. Sesuai dengan akar sosiologisnya, kata “julid” itu berasal dari Bahasa Sunda. Dengan pelafalan yang sama, kata itu berarti iri atau dengki yang berlebihan. Orang pertama kali yang konon dianggap mempopulerkan kata tersebut adalah artis terkenal berdarah Sunda Syahrini. Penyebutan kata itu lalu diatribusikan kepada makna iri hati dan dengki yang berlebihan. Karena itu, kini setiap disebut kata itu secara popular di tengah-tengah Masyarakat, telunjuk biasanya diarahkan untuk menunjuk adanya sifat, sikap, dan perilaku iri hati serta dengki dimaksud.

Julid, Dengki Berlebihan

Bisa dipastikan, iri hati dan dengki yang demikian ini menjadi sebuah keanehan sikap dan perilaku dalam hidup. Diungkapkannya kerap juga secara berlebihan. Karena itu, seseorang yang terjangkiti sikap dan perilaku hidup yang seperti ini akan terjerumus ke dalam sikap negativisme. Tak ada benarnya apa yang dilakukan oleh orang lain di luar dirinya. Begini salah, begitu salah. Bahkan, jangankan salah, benar pun dimaki. Jangankan terselip, tertata lurus dalam lintasan pun juga masih dicaci. Begitu yang bisa ditangkap dari sikap dan perilaku julid itu. Maka, keanehan pun identik dengan sikap dan perilaku julid dimaksud. Semua itu akibat penyembahan diri yang berlebihan kepada negativisme dalam hidup terhadap orang selainnya.

Pada kasus Aurel Hermansyah di atas, pintu masuk negativisme itu adalah soal body shaming. Menjadikan bentuk dan atau kondisi tubuh artis tersebut sebagai bahan olokan. Saat melar akibat melahirkan dan menyusui bayi, dia pun diolok. Tak pernah ada kata pemakluman apapun atas situasi dan kondisi apapun yang dihadapi oleh orang selain dirinya, termasuk oleh artis dimaksud. Sebaliknya, saat fisik tubuh dikondisikan dalam skema diet secara ketat hingga kembali ke kondisi semula yang dianggap ideal, tetap saja diolok. Tetap saja praktik artis itu dicemooh. Tetap saja upayanya itu dicela. Tentu, semua itu adalah bagian dari penghinaan kepada personal orang yang dalam posisi sedang berkewenangan atau berketersohoran.

Tentu, siapa saja bisa menjadi sasaran kejulidan. Buktinya, orang yang tidak terkenal pun bisa menjadi sasaran. Ketidaklaziman atau kondisi di luar ekspektasi kerap menjadi awal bagi munculnya kejulidan. Namun, sejatinya, kejulidan berawal dari pikiran. Saat pikirannya julid, maka julid pulalah sikapnya. Saat pikirannya julid, julid pulalah perilakunya. Karena itu, siapapun orang selain dirinya akan pasti menjadi sasaran kejulidannya. Tinggal menunggu giliran dan momentumnya saja. Kenapa bisa begitu? Karena memang pikirannya sudah julid dari awal. Padahal pikiran itu yang menjadi hulu dari semua sikap dan perilaku.

Maka, tidak heran jika julid sangat dekat dengan kehidupan kita. Memang harus diakui, kejulidan tak akan membesar kecuali saat dilakukan kepada mereka yang masuk kategori figur publik. Sebab, muncul prinsip seperti berikut ini: julid kepada orang yang bukan pesohor tak akan berdampak apa-apa buat diri pelakunya. Minimal untuk memuaskan nafsu julid dirinya itu. Tapi, saat kejulidan itu dilakukan kepada pesohor, ada kepuasan psikososial yang akan dirasakan pelakunya. Minimal, akan muncul perasaan hebat bahwa dia telah mampu mengolok, memaki, dan mencela figur pesohor yang dikenal luas oleh publik.

Muncullah di tengah para netizen prinsip julid seperti ini: Kalau mau julid, jangan tanggung-tanggung. Julidlah kepada orang yang sudah punya nama besar. Kepada pesohor. Apakah tersohor karena jabatannya. Ataukah tersohor karena selebritasnya. Ataukah karena faktor apa saja yang menjadikan orang lain itu pesohor. Sebab, kalau berhasil membuat orang-orang yang punya nama besar atau pesohor itu terpapar dengan kejulidanmu, maka rasa puasnya itu mendalam. Tapi, kalau kejulidanmu tak berpengaruh apa-apa pada sasaran, maka minimal engkau bisa berkata: “Wajar saja nggak ngefek, karena dia pesohor.” Dan engkau pun tetap puas, minimal bisa mengekspresikan rasa tak sukamu atau kebencianmu kepadanya.

Julid, Penyakit Jiwa

Sudah barang tentu, julid adalah penyakit diri. Apapun alasannya. Juga terlepas siapapun yang menjadi sasaran kejulidan seperti diuraikan di atas. Bahkan bila dirunut lebih mendasar, julid ini termasuk penyakit hati. Pelakunya tak akan bisa merasa tenang hati hingga sasarannya berhasil dia cemooh. Dia tak akan sampai pada teduh jiwa hingga orang yang menjadi sasarannya berhasil dia olok. Padahal itu justru penyakit yang mendera diri. Saat hati sudah sakit, maka pikirannya pun juga akan sakit. Saat pikiran sakit, maka sikap dan tindakannya pun juga akan sakit serupa. Jika seseorang sudah terjangkiti penyakit hati yang berimplikasi panjang, mulai sakit pikiran hingga tindakan, tak akan ada rasa tenang jiwa dalam dirinya.

Benar pula mutiara hikmah yang diajarkan para ahli hikmah selama ini: الحَسُوْدُ لَا يَسُوْدُ  (al-hasud la yasud). Julid itu tak akan bikin bahagia. Mengapa begitu? Karena pelakunya tak akan dihinggapi rasa tenang dan damai jiwa. Hatinya akan selalu gundah jika ada selain dirinya yang berkelebihan sesuatu dibanding dirinya. Pikirannya pun juga akan selalu gelisah saat ada selain dirinya yang memiliki kelebihan sesuatu dibanding dirinya. Sikapnya juga akan selalu negatif saat mendapati orang selain dirinya melebihi yang dia punya. Bahkan juga, perilakunya akan dihantui keresahan saat mendapati orang selain dirinya memperoleh suatu kenikmatan di hadapannya.

Apa yang dilukiskan dalam serangkaian uraian di atas adalah ilustrasi atas kejadian yang berlangsung di dunia maya. Melalui beragam platform perbincangan digital. Namun, penting dicatat, apa yang terjadi di dunia maya sejatinya juga menjadi dan merefleksikan kasus yang sama di dunia fisikal-nyata. Netizen hanya mewakili saja dari individu-individu warga masyarakat pada umumnya. Mereka hanya berpindah sarana saja. Dari sarana regular-manual ke sarana digital. Tapi, substansinya sejatinya sama. Yakni, sama-sama menunjukkan sikap yang aneh. Bentuknya adalah iri atau dengki yang berlebihan kepada selain dirinya. Frase “selain dirinya” ini bisa saja orang. Bisa juga perilaku. Atau bisa pula apa saja yang melekat pada orang dan atau perilaku orang lain itu.

Yang jelas, sikap yang ditunjukkan oleh pelaku kejulidan di atas menunjukkan hal yang aneh dan berlebihan. Melebihi standar kewajaran. Bahkan kepantasan. Atau yang lebih parah lagi, melampaui logika atau kewarasan berpikir. Kenapa bisa begitu? Itu semua muncul karena rasa iri atau dengki yang berlebihan. Hingga standar kewajaran pun ditabrak. Nilai kepantasan pun dirontokkan. Logika dan atau kewarasan berpikir pun tak lagi pernah menjadi pertimbangan. Semua didorong dan dikendalikan oleh rasa iri dan dengki yang berlebihan. Hingga julid pun lahir dalam pikiran, sikap, dan tindakan. 

Hanya bedanya, di dunia maya, kejulidan itu memiliki rekam jejak digital yang tak bisa dihilangkan. Rekam jejak itu bisa dilacak atau di-tracking hingga ke awal kemunculannya. Bahkan hingga ke lesatan perkembangannya. Ke depan atau ke samping dari isu yang dibumbungkan. Ke depan berarti ke pengembangan isu itu ke ranah lebih lanjut. Ke samping berarti menyasar perihal lain namun masih memiliki kaitan dengan obyek kejulidan. Semua itu menjadi karakteristik dari julid di dunia maya. Dan, semua itu bisa dilacak hingga ke belakang. History-nya selalu terekam baik.

Sebaliknya, julid di dunia fisikal-nyata tak memiliki rekam jejak yang kuat seperti rekam jejak digital. Karena salurannya lisan atau oral. Pelacakan terhadap history-nya hanya mengandalkan ingatan. Kala ingatan kuat, history atau rekam jejak itu masih bisa dilacak dengan tingkat akurasi yang memadai. Sebaliknya, saat ingatan itu lemah, history atau rekam jejak itu juga tak lagi memadai untuk dilacak. Hanya meskipun begitu, daya rusak dari julid di dunia fisikal-nyata juga cukup dahsyat. Bisa depan atau ke samping dari isu yang dikembangkan seperti pada rekam jejak digital yang dijelaskan di atas.  

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan julid di dunia fisikal-nyata tak lagi berhenti di ranah ini, melainkan bisa terfasilitasi secara cepat untuk bergerak ke arah digital. Karena itu, aku sering berseloroh: malaikat yang tugasnya makin ringan dalam perkembangan terkini adalah Malaikat Raqib dan Atid. Karena tugasnya untuk mencatat amal perbuatan manusia sudah tergantikan oleh kemajuan teknologi informasi dalam bentuk platform digital. Dan pencatatan oleh platform digital ini juga bisa verbatim. Bisa persis seperti aslinya. Bahkan juga bisa diubah sesuai keinginan. Karena di dalamnya ada fitur edit dan pengubahan. Maka, jangan sembrono dengan julid, baik di dunia fisikal-nyata maupun digital. Karena history-nya terekam dengan baik. Uji forensik digital selalu bisa membuktikan keberadaannya.

Lalu, Apa Pelajarannya?

 Merujuk kepada uraian di atas, maka ada dua pelajaran penting yang bisa dipetik untuk kemaslahatan bersama. Pertama, julid itu tanda engkau sakit. Tentu sakit di sini bukan dalam pengertian fisik walaupun itu mungkin saja terjadi. Bisa jadi fisik tampak segar bugar. Bisa saja tongkrongan terlihat keren meronta-ronta. Tapi, di balik tongkrongan fisik yang mentereng itu ada hati yang beleng-beleng. Itu istilah yang umum digunakan di masyarakat Makassar. Gelisah, artinya. Iri dan dengki berlebihan, bentuknya. Tak pernah bahagia melihat orang lain dalam ketenangan. Justru sedih dan galau saat orang lain bahagia walaupun rasa bahagia yang dirasakan orang itu ukurannya sangat kecil.

Tentu, karena itu, sifat-sifat seperti beleng-beleng, gelisah, iri, dan dengki yang berlebihan di atas adalah penyakit kronis hati. Penyakit itu menggerogoti ketenangan dan kedamaian hati yang menjadi bahan baku rasa bahagia. Maka, julid tak akan bisa membuat diri bahagia. Alih-alih, julid jika dilakukan secara berketerusan, maka hati akan semakin jauh dari rasa bahagia yang semestinya bisa diraih. Yang mengemuka justru adalah pikiran, sikap dan tindakan yang ingin merampas kebahagiaan orang lain. Tentu caranya di luar batas kebajikan. Bahkan di luar batas kewarasan pikir. Akibatnya, mengolok dan mencaci itu dianggap biasa. Memfitnah, bahkan, tak lagi dianggap sebagai pelanggaran etika. Semua itu dilakukan untuk memenuhi rasa puas yang sesaat.  

Kedua, julid itu bukti engkau tak bisa mengejar si dia. Jika engkau mampu, engkau tak akan melakukan tindakan julid kepada seseorang itu. Engkau tak akan gelisah saat engkau merasa memiliki kelebihan tersendiri. Karena, dengan keyakinan yang mapan atas kelebihan tersendiri yang ada pada diri sendiri, engkau tak akan gelisah atas apa yang dirasakan orang lain sebagai kenikmatan. Tak perlu ada rasa gelisah. Tak perlu ada rasa gundah. Dengan begitu, engkau akan merespon biasa-biasa saja dan datar-datar saja atas apapun yang dirasakan dan dicapai orang lain.  

Di sinilah, ajaran tentang positive thinking memegang peran penting untuk mengarahkan kita keluar dari jebakan dan jeratan julid. Maka, lawanlah julid dengan berpikir positif. Kedepankanlah khusnudzdzon. Dulukanlah prasangka baik kepada siapapun di luar diri kita. Berpikir positif ini penting untuk mendasari cara berpikir, bersikap dan bertindak kita dalam hubungannya dengan sesama. Inilah konteks mengapa kusebut dalam uraian sebelumnya bahwa julid itu bermula dari pikiran, dan hanya menunggu momentum saja untuk bergerak menjadi perilaku atau tindakan.   

Menunjuk pada dua pelajaran di atas, ada nasehat yang penting untuk dikutip. Bunyinya begini: “Mulutmu harimaumu.” Nasehat ini muncul saat perkembangan hidup masih dalam era manual. Pesananya agar setiap diri hati-hati dengan mulutnya. Dampak mulut yang tak terkontrol bisa membahayakan. Lalu, kalimat nasehat itu berubah menjadi begini: “Jarimu harimaumu.” Jemari yang tak terkontrol dalam bersosmed ria bisa membahayakan diri dan sesamanya. Kalimat-kalimat nasehat ini sejatinya mengajarkan agar kita tidak julid. Sebab, julid segera akan menandakan jati diri kita sesungguhnya. Segera akan menunjukkan siapa kita sebenarnya.

Pelaku julid mungkin puas saat dia melakukan praktik julid itu. Dia juga mungkin bisa lega melakukan aksi julid itu. Tapi, sejatinya, julidnya akan mematikan dirinya. Julidnya akan menjauhkannya dari lingkungan sosialnya. Julidnya akan menyulitkannya untuk bersosialisasi secara baik dengan sesamanya. Karena julidnya akan berdampak buruk bukan saja ke orang lain, melainkan ujungnya juga kembali kepada dirinya sendiri. Julidmu membuat puasmu tercapai. Tapi, kepuasan itu hanya sesaat saja. Karena lingkunganmu akan mencatatmu sebagai pribadi yang tidak baik-baik saja.

Lalu, apakah ada orang yang akan bergaul dengan orang yang tidak baik-baik saja? Hanya orang yang tidak baik akan berkumpul dengan sesama yang tidak baik. Prinsip yang demikian ini berlaku di semua ruang publik. Termasuk di tempat kerja. Maka, pola pikir, sikap dan tindakan di tempat kerja sebagai bagian dari ruang publik perlu dijaga sedemikian rupa. Dikelola dan diatur sebegitu rupa. Agar diri terjauh dari praktik julid yang tak berkesudahan. Agar kepribadian pun tak jatuh ke titik nadir keburukan dan kebatilan. Juga agar ruang publik pun tak tampil acak-acakan akibat keburukan yang ditimbulkan oleh pribadi yang julid. Karena itu, menjauhi julid bukan saja dalam kepentingan untuk meraih kebahagiaan diri. Melainkan juga untuk menciptakan ruang publik yang tertata bersih nan rapi.