Oleh: Dr. Muhammad Khodafi, M.Si.
Masjid adalah pusat peradaban Islam. Meskipun terlihat terlalu “memaksakan” jika dilihat dari realitas keadaan masjid saat ini, pernyataan ini bukan tanpa dasar dan tidak sepenuhnya salah. Sebab bagaimanapun juga posisi dan peran masjid sampai sekarang tetap berada pada pusat pembentukan kesadaran peradaban ummat Islam. Walaupun sebagai sarana ibadah, masjid telah banyak mengalami proses perubahan dan pergeseran fungsi serta makna, jika dicermati sejak era awal kenabian Adam. Dalam kacamata sejarah masjid adalah bangunan pertama yang diperuntukkan untuk ummat manusia sebagai sarana beribadah. Mengacu pada berita dalam Al-Qur’an, Ka’bah adalah masjid pertama yang kemudian secara kultural dikenal sebagai pusat ritual ummat manusia (Bani Adam) dalam menyembah Allah. Bahkan hingga saat ini bangunan suci tersebut telah menjadi pusat dari dinamika ekonomi, sosial dan spiritual ummat Islam di seluruh dunia.
Konsep “masjid” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (KBBI Online), mengandung arti sebagai rumah atau bangunan yang tempat bersembahyang umat Muslim. Kata masjid berasal dalam pandangan Sidi Gazalba berasal dari bahasa Arab sujudan, sajada yang berarti ia sudah sujud. Kata sajada diberi awalan ma sehingga berubah menjadi kata masjidu, masjid, yang artinya tempat bersujud. Proses tekstualisasi inilah yang kemudian mendorong terjadinya penyederhaan makna masjid menjadi sekedar tempat sholat. Padahal fakta historis hingga era kenabian Muhammad sebagai rasul terakhir, konsep masjid memiliki makna yang lebih luas dari sekedar tempat sholat atau sujud.
Keluasan konsep masjid sebagai rumah Allah Al Qur’an juga mengindikasikan masjid sebagai pusat berkebudayaan. Sejak semula masjid dikenalkan sebagai rumah Allah yang tidak semata difungsikan sebagai temapat sembahyang saja. Akan tetapi masjid juga dijadikan sebagai pusat kegiatan sosial dan budaya untuk mendorong proses berkemajuan dalam bingkai kebudayaan dan peradaban ummat manusia. Hal ini bisa dibaca dalam dalam QS surat al Baqarah ayat 125 yang berbunyi :
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan ingatlah ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) sebagai tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah maqam Ibrahim itu tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang iktikaf, orang yang rukuk dan orang yang sujud.”
Ayat ini menegaskan bahwa masjid adalah tempat bersosialisasi yang (seharusnya) memiliki kekuatan untuk menjamin “keamanan” manusia. Dalam konteks ini kata “keamaan” bisa dimaknai bahwa manusia yang sudah masuk ke dalam masjid harus dijamin keamananya secara material, sosial dan spiritual. Karena itu pula masjid harus selalu bersih agar bisa dijadikan tempat melaksanakan ritual manusia untuk refleksi spiritualitasnya. Kalimat perintah “Bersihkanlah rumah-Ku .…dst”, bisa dimaknai bahwa Masjid harus suci dan bersih secara fisik dan juga bersih dari unsur kepentingan selain sebagai tempat beribadah, bersujud dan berdzikir dalam rangka memikirkan kebesaran Allah. Dalam konteks inilah makna masjid dimaknai sebagai tempat pendidikan atau pengembangan ilmu (berdzikir).
Fungsi masjid lainnya yang juga sangat penting dalam membangun peradaban ummat adalah fungsi yang mengarah pada peran penguatan kesejahteraan kehidupan ekonomi disinggung dalam QS al A’raf 31 yang berbunyi :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap kali memasuki masjid. Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.
Pesan tersurat dan tersirat ayat ini begitu jelas Allah memerintahkan manusia ( ummat Islam) yang mau masuk ke masjid setidaknya harus sudah tercukupi kebutuhan dasarnya, mulai dari pakaian, makanan dan minuman. Dalam posisi inilah peran masjid sebagai pusat kegiatan ummat, harus juga mampu diberdayakan potensinya untuk menjaga dan meningkatkan kesejahteraan jama’ahnya dan masyarakat sekitar masjid pada umumnya. Menariknya secara tegas Allah juga membatasi agar peran itu dilakukan dengan tidak melampaui kepatutan. Karena peradaban Islam sejak awal dibangun dalam pondasi kesadaran wasathiyah (mengedepankan prinsip keseimbangan). Dengan demikian masjid harus bisa menjadi kekuatan penyeimbang yang mendamaikan beragam potensi konflik, terutama dalam kontek masyarakat yang sangat heterogen seperti masyarakat di Indonesia.
Penegasan konsep masjid sebagai pusat peradaban juga bisa dikontruksikan dari sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Tirmizi dari Abi Sa’id Al-Khudri, dimana nabi pernah bersabda ; “ Bahwa setiap potongan tanah itu adalah masjid”. Dalam riwayat yang lain Nabi Muhammad juga menerangkan, “Telah dijadikan tanah itu masjid bagiku, (sebagai tempat “sujud”). Hadist ini memiliki makna bahwa sujud pada prinsipnya merupakan sikap tunduk pada aturan Allah, agar manusia tidak melakukan kedholiman di atas bumi. Sebab ebagai tempat sujud (masjid) bumi hakekatnya merupakan tempat yang suci. Dalam Bahasa lainnya Masjid yang berasal dari kata dasar sajada/sujud, juga bermakna bahwa manusia harus mengikuti ketetapan Allah SWT yang terkait dengan keseluruhan proses di alam semesta ini. Dengan mengikuti sunnahtullah atau hukum Allah. Dalam hal ini manusia diharapkan memiliki kesadaran sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang akan menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi ummat manusia. Sehingga dalam konsep dasar nilai keislaman, masjid adalah sarana dimana ummat Islam harus mengekspresikan agama Islam sebagai agama yang merahmati seluruh alam. Dalam perkembangannya konsep masjid ternyata mengalami pergeseran. Fakta sejarah juga membuktikan adanya proses reduksi terhadap makna masjid. Dimana konsep masjid mulai mengarah pada pengertian khusus yang mengacu pada segi tata bahasanya. Masjid kemudian diartikan menjadi suatu bangunan yang berfungsi sebagai tempat shalat, baik shalat lima waktu, shalat jumat maupun shalat hari raya.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, dimana penganut agama Islamnya menjadi yang terbesar di dunia. Posisi masjid juga sangat strategis. Jumlah masjid yang sangat besar dan mungkin terbanyak di dunia, karena berdasarkan data dari kementrian agama pada bulan Mei 2022 jumlah masjid di Indonesia adalah 290.161, yang tersebar di 34 provensi. Jumlah yang fantastis ini tidak memasukkan mushola atau surau yang tidak difungsikan sebagai tempat pelaksanaan sholat jum’at. Hal ini dikarenakan konsep masjid yang awalnya sangat luas sebagai tempat sujud, telah mengalami penyempitan menjadi sebatas tempat sholat lima waktu dan terutama sholat jum’at. Sedangkan konsep mushola, langar ataupun surau tidak memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai masjid. Jumlah masjid yang sangat banyak di Indonesia ini menyimpan potensi besar untuk dikembangkan sebagai pusat peradaban Islam. Terutama jika fungsi masjid yang sangat membumi seperti di era kenabian bisa dihidupkan dan diberdayakan kembali. Di samping itu data Kementrian Agama Republik Indonesia, juga memberikan gambaran tentang kategori masjid dimana dari jumlah 290.161 tersebut 30 % merupakan masjid besar yang relatif megah, 50 % cukup bagus dan 20 % tergolong sederhana. Konon besarnya jumlah masjid di Indoensia ini jika dibandingkan dengan masjid yang ada di negara-negara berpenduduk mayoritas Is;am bisa disetarakan dengan jumlah masjid yang tersebar dari kawasan Maghribi sampai Banglades.
Dalam pandangan Van Dijk, kemunculan Masjid dipengaruhi oleh banyak factor, di antaranya adalah terkait dengan jumlah pemeluk Islam, teknologi, ekonomi masyarakat, arsitektur bangunan, ciri khas masjid, orientasi religiusnya, petimbangan politis, serta kebijakan pemerintah. Ia menekankan bahwa diperiode kejayaan Islam perubahan fungsi masjid mulai terjadi dan hendaknya mendapatkan lebih banyak perhatian. Karena sejak awal perkembangan Islam, masjid telah menjadi pusat peradaban baik dari fungsi spritual maupun fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan yang ditunjukkan untuk kepentingan ummat dan dakwah. Saat ini fungsi masjid pada bidang sosial dan kebudayaan seperti masjid sebagai madrasah, tempat musyawarah, sebagai tempat pengumpulan baitul maal, tempat melaksanakan pesta pernikahan, dan fungsi lain sebagai tempat singgah bagi seorang musafir yang tengah dalam perjalanan, sudah semakin berkurang. Alih-alih semakin berkembang fungsi-fungsi sosial masjid semakin dibatasi sekedar berfungsi sebagai tempat ibadah ritual normatif.
Di bulan suci Ramadhan inilah kita harus mulai menegaskan kembali makna masjid sebagai tempat sujud. Dimana masjid harus bisa menjadi sarana menebarkan fungsi kehambaan manusia sebagai khalifah di dunia yang harus mengedepankan watak, sifat dan sikap rahmatan lil alamin. Masjin harus dihidupkan kembali sebagai pusat peradaban manusia, dimana fungsi masjid menjadi sarana dan wasilah dari ummat manusia untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman secara fisik, sosial dan spiritual. Siapapun dan apapun idnetitas politik dan aliran agamanya, harus bisa merasakan kehadiran masjid sebagai “pengayom” ummat manusia. Karena hakekatnya masjid adalah tempat sujud bagi semua manusia untuk mempertahankan dan menguatkan kesadaran eksistensi kemanusiannya. Sehingga manusia selalu bisa dan mampu menjaga keseimbangan relasinya bukan semata hanya dengan Sang Khaliq atau Pencipatanya, tetapi juga dengan manusia lain, dengan mahluk lain, dan juga lingkungan alam dimana dia hidup, serta semesta raya ciptaan Allah S.W.T.