Berseliweran pendapat tentang politik di indonesia dari berbagai individu yang ditokohkan oleh publik, bahwa ada yang berpendapat, politik mesti terpisah dari kepentingan golongan dan kelompok; ada juga yang mengutarakan dengan keras dan tegas bahwa politik tidak boleh bercampur dengan agama; ada lagi yang berpandangan bahwa politik adalah soal kekuasaan, saling sikut dan saling menjatuhkan, karena dalam politik tidak ada teman abadi dan musuh abadi, yang ada hanya kepentingan. Tidak ada yang salah, karena setiap pendapat memuat epistemologinya sendiri-sendiri. Namun, perlu untuk dijernihkan dengan cara melihat ulang apa sebenarnya politik itu? Salah satu caranya adalah dengan upaya membedah teks politik yang ada, sehingga menemukan sketsa teks politik sebagai diskursus, yang ternyata memuat berbagai unsur kepentingan kelompok, keyakinan dan bahkan soal ambisi meraih kekuasaan.
Jorge Gracia menjelaskan bahwa terdapat lima unsur dalam sebuah teks, lima unsur inilah kemudian disebut oleh Gracia sebagai Sketsa yang terdapat dalam sebuah teks. Lima unsur tersebut terdiri dari; teks aktual, teks perantara, teks kontemporer, teks sesungguhnya dan teks ideal. Gracia menegaskan bahwa sebelum membaca sebuah teks, seseorang harus terlebih dahulu memahami sketsanya, agar pemahaman terhadap teks menjadi lebih kompleks. Hal ini juga sebagai kritik terhadap pendahulu Gracia seperti Gadamer yang hanya melihat teks sebagai perantara dalam teorinya “peleburan horizon”. Pertanyaan akademiknya adalah, bagaimana sketsa teks politik di Indonesia jika dilihat dari perspektif Jorge Gracia?
Sebagai catatan kecil yang harus disadari adalah dalam upaya membaca sketsa teks politik itu berarti berbicara pra politik, atau perbincangan sebelum politik itu dimaknai oleh tokoh mana pun. Baiklah mari lihat bagaimana politik sebagai sebuah diskursus dibaca dalam konsep sketsa teks Gracia. Pertama, Teks aktual. Politik sebagai diskursus yang aktual tidak terlepas dari sejarah yang menyertainya. Menurut Gracia sejarah adalah bagian yang menyatu dan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisah dari sebuah diskursus. Oleh karena segala yang aktual tentang politik hari ini di indonesia merupakan hasil dari sejarah panjang sebelumnya. Jika politik hari ini dilihat sebagai suatu jalan untuk menghalalkan segala cara demi mendapatkan tujuan, maka hal ini tidak terlepas dari pengalaman masa lalu yang ternyata para tokoh atau para politisi hari ini masih belum mengalami transformasi menjadi lebih baik. Lalu, jangan pernah salahkan seorang netizen misalnya, jika dia berpendapat bahwa semua kampanye politik hanya puisi yang indah, namun bukan realitas yang harus ditunggu datangnya.
Kedua, Teks Perantara. Pada unsur teks perantara ini, Gracia memberi penjelasan bahwa ada suatu kondisi dimana seseorang akan berhadapan dengan teks, yang keadaan itu membentuk sebuah jarak keduanya. Hal ini tidak bisa dihindarkan karena begitulah kondisi sebenarnya dalam realita kehidupan, bahwa setiap orang ketika berhadapan dengan sesuatu pasti di antara keduanya terdapat jarak. Jarak yang dimaksud disini adalah bahwa setiap orang memiliki pemahaman bawaan, sebelum memahami segala sesuatu yang ditemukannya. Dalam suasana politik menjelang 2024 ini, kita selalu berhadapan dengan teks-teks politik, yang mana pada setiap teks yang kita temui itu ada yang disetujui dan ada yang ditolak, hal ini terjadi sesuai kecenderungan setiap orang dalam pemahaman sebelumnya. Menyadari keberadaan ruang perantara antara teks dan pembaca, merupakan sebuah kesadaran bahwa setiap pendapat yang beredar di media sosial hanyalah sebatas pandangan pada konteks tertentu dari si penutur.
Ketiga, teks kontemporer. Kontemporer berarti adalah makna sezaman atau situasi dimana teks itu ada. Dalam hal ini, teks terlepas dari si penutur karena setiap teks yang terlepas dari mulut si penutur merupakan konsumsi publik. Di saat seseorang menyadari satu kondisi ini, maka dia akan mengerti mengapa dalam setiap pertarungan politik diperlukan Tim sukses, hal itu diperlukan tidak lain hanyalah sebagai perpanjangan lidah dari orang yang didukung, agar semua orang mendapat informasi yang positif dari tokoh yang didukungnya. Carut marut dalam kondisi ini juga merupakan perhitungan tertentu oleh Gracia agar seorang pembaca menyadari bahwa ada satu kondisi dimana setingan politik itu memang nyata.
Keempat, Teks sebenarnya. Sebuah kesadaran yang lebih mendalam dari Gracia ialah soal teks sebenarnya atau bentuk teks yang sebenarnya itu, seperti apa? Kata Gracia, teks sebenarnya tidaklah memiliki makna. Dalam kasus konteks politik Indonesia, seorang “calon” sebelum terpilih menjadi seorang pejabat Negara, dia mesti melakukan kampanye politik, dalam rangka menyampaikan visi dan misi dan atau agenda kerjanya ke depan. Keadaan ini merupakan kebiasaan lama yang sebelumnya pernah ditemui, maka sebenarnya kondisi ini tidak ada bedanya dengan masa lalu. Jika kampanye masa lalu adalah soal pemberantasan korupsi dan itu tidak terlaksana dengan baik, maka yang terjadi dengan kondisi aktual sekarang tidak akan jauh dari hal tersebut. Itulah teks yang sebenarnya, yaitu suatu keadaan yang berulang.
Terkahir, ideal teks atau teks yang ideal. Ternyata dalam setiap teks dalam pengertin segala sesuatu yang memiliki makna atau memungkinkan melahirkan pengaruh sejarah, di dalamnya terdaat teks yang ideal, yaitu sebuah teks yang absolut atau sempurna. Teks ideal ini ialah sebuah teks yang ada sebelum teks tersebut di tuturkan oleh si penuturnya. Dimana keberadaannya? Dia berada dalam dunia ide. Unsur ini sangat penting agar seorang pembaca tetap memiliki optimisme bahwa ada sesuatu yang sempurna pada setiap teks, oleh karena itu jika dalam dunia realita seseorang justru menemukan teks yang penuh kekurangan, itu artinya teks tersebut belum keluar secara utuh dari teks yang ideal yang berada dalam dunia ide atau sebelum teks itu dituturkan. Kalau bagian terakhir dari unsur Gracia ini digunakan untuk membaca politik hari ini, maka kita harus kembali pada ide yang ideal sebelumnya, bahwa teks politik bangsa ini adalah menginginkan kesejahteraan, kemakmuran dan kemerdekaan yang sebesar-besarnya bagi bangsa.
Sebagai penutup, lima unsur Jorge Gracia sebenarnya adalah sebuah metode membangun kesadaran kritis dalam membaca Sketsa sebuah Teks. Politik sebagai sebuah teks mesti dibongkar persembunyiannya, yang kini sudah terlalu jauh dari pengertian sebagai jalan bernegara. Melencengnya nilai politik terlihat bagaimana tokoh-tokoh publik kita sering sekali mengkampanyekan, bahwa politik tidak boleh dicampur adukkan dengan agama, narasi yang serupa bahwa pemuka agama tidak boleh bicara politik dan sebagainya. Padahal bangsa ini, tumbuh berdasarkan nilai luhur keyakinan akan Tuhan yang maha Esa sebagai ruh dan spirit jihad kemerdekaan.
[Firmansyah; Editor Jurnal Review Politik; Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]