MEMANTASKAN DIRI
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Kenapa tidak boleh ada transaksi dagang di dalam masjid? Kenapa tidak boleh membaca kalam suci di dalam toilet? Dua pertanyaan ini dilontarkan oleh Ketua Senat Akademik UINSA Surabaya. Prof. Ali Aziz, namanya. “Itu semua mengajarkan kepada kita bahwa ngomong itu ada tempatnya. Bicara ada tempatnya. Tidak boleh sembarangan. Tidak boleh asal bicara. Begitu pula berperilaku. Ada tempatnya. Tidak boleh di sembarang tempat.” Begitu penjelasan beliau yang kurekam dalam ingatan. Membaca kalam suci saja dilarang jika itu dilakukan di tempat yang tak semestinya untuk perihal yang suci. Jangan atas nama suci, semua yang suci disampaikan tanpa melihat setting tempat atau lokasi. Begitulah pelajaran yang kudapat dari cendekiawan itu.
Kala itu, mentari sedang mengisyaratkan matanya yang redup. Sinar matanya pun tak lagi murup. Pertanda petang segera datang. Menutup sinar siang. Memang, saat itu hari sudah menjelang maghrib. Di kala itu, ku duduk persis bersebelahan dengan cendekiawan itu. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Senat Akademik UINSA. Di acara Rapat Tinjauan Manajamen (RTM) kampus tercinta. Tertanggal 23 Januari 2024 di Hari Selasa. Di Hotel Jambuluwuk, Batu, Jawa Timur, yang indah. RTM itu adalah ritual tahunan untuk melakukan diagnosis “kesehatan” kampus. Plus peneguhan intervensi solusinya. Pesertanya mencapai 287 pejabat kampus. Mulai dari rektor hingga sekeretaris program studi.
Dua pertanyaan di atas disampaikan untuk mengomentari ramainya sebuah pesan di WhatsApp Group (WAG) dengan unggahan berbau politik pada minggu itu. Unggahan itu adalah cuplikan sebuah Hadits Nabi. Isinya menyangkut prinsip memilih dalam sebuah kepemimpinan. Namun, oleh unggahan tersebut dinarasikan dalam derap politik kekuasaan. Momennya minggu itu memang cenderung politis. Minggu yang 23 hari berikutnya adalah hari pelaksanaan Pilpres 2024. Di masa orang sedang berpikir dan menimbang-nimbang untuk menjatuhkan pilihan pada kontestasi Pilpres itu. Ya, hanya beberapa minggu saja sebelum Pilpres itu dihelat.
Dua pertanyaan yang ku kutip di awal tulisan ini adalah cara Prof. Ali Aziz ingin menyampaikan pesan. Memberikan pelajaran. Menanamkan nilai kehidupan. Melalui ilustrasi yang elegan. Dengan mengambil contoh mulia dari ajaran agama yang menjadi keyakinan. Sebagai cendekiawan beken, Prof Ali Aziz sedang mengajarkan kepada kami semua bahwa menjelaskan gagasan penting dilakukan dengan mengambil ilustrasi. Gambaran berbasis kehidupan sehari-hari. Dialami oleh hampir setiap kita tanpa terkecuali. Hasilnya? Pesan pun gampang dicerna. Cenderung sangat efektif dan mengena. Apalagi, ilustrasi yang digunakan itu terambil dari keseharian ajaran agama untuk setiap kita. Hasilnya tentu mengenai sasaran penuh makna.
Dalam kasus unggahan berantai pesan pendek WA berbau politik di atas, memang ku dengar sendiri betapa banyak yang menyayangkan. Walaupun juga ada yang mengamini. Sebagian tampak melakukannya karena cenderung memiliki kepentingan yang beririsan. Sebagian lainnya cenderung membaca isi unggahan murni karena kemuliaan isi Hadits Nabi yang dijadikan sebagai cuplikan. Tapi, tetap saja, bahwa pesan pendek WA berbau politik di atas menimbulkan keresahan. Gerundelan di sana-sini bisa didengarkan. Ketidaksetujuan bisa dirasakan. Walaupun sebagian tak terucapkan. Tentu di sejumlah kalangan.
Tapi Prof Ali Aziz sebagai ketua senat akademik yang Guru Besar bidang ilmu dakwah di atas punya cara sendiri untuk merespon sejumlah keresahan dimaksud. Melalui dua pertanyaan yang kukutip di awal, caranya tampak sangat efektif menanamkan nilai hidup yang baik untuk menjaga ucapan dan tindakan. Tanpa harus menimbulkan kerugian apapun pada batin setiap rekan. Akhirnya, pesannya pun sampai kepada banyak kawan. Penerimanya pun tak merasa ‘tertusuk’ karena muatan yang menjadi isi pesan. Penyampaian pesan seperti ini sangat membantu mempercepat gerak sampainya nilai dengan baik kepada penerima pesan. Apalagi, jika para penerima pesan itu sama-sama dalam status profesor meski dalam bidang yang berbeda-beda kompetensi dan ketekunan.
Foto: Prof Ali Aziz Sedang Memberi Pengarahan Pada RTM UINSA 2024
Nasehat Prof Ali Aziz terasa makin penting saat dikaitkan dengan komunikasi di era digital. Karena, jarimu adalah jati dirimu. Jempolmu adalah marwah dirimu. Orang akan mudah mengetahui siapa dirimu dari apa yang kau pencet melalui jemarimu. Oleh jempolmu. Karena, jejak digital tak akan bisa dihapus. Rekam jejak digital akan selalu ada meski tak harus terbungkus. Walaupun sudah di-remove? Ya. Semua masih bisa dikembalikan. Semua masih bisa ditarik kembali ke bentuk asal yang terkirimkan. Karena ada teknologi yang bisa melakukan recovery terhadap semua jejak digital yang ditinggalkan. Apalagi, digital forensics investigation atau uji forensik pelacakan rekam jejak kini makin mudah dilakukan. Bisa diakses oleh siapa saja yang berketerampilan tanpa adanya pembatasan.
Ajaran “tidak ngomong sembarangan” dan “tidak bertingkah sembarangan” di atas menegaskan pentingnya prinsip memantaskan diri. Prinsip ini berlaku baik dalam kerangka substansi maupun lokasi. Semua diukur dengan nilai kepantasan (appropriateness) ini. Nama lainnya, kepatutan (decency). Apalagi bagi insan perguruan tinggi. Sudah menjadi keharusan bagi akademisi untuk memperkuat nilai kepantasan dalam berucap dan melangkahkan kaki. Sudah seharusnya nilai kepatutan selalu menjadi prinsip dalam budi. Apalagi, integritas seseorang bisa diukur dari satunya kata dan perbuatan dalam diri.
Maka, integritas itu juga harus disempurnakan. Dengan prinsip kepantasan. Dengan prinsip kepatutan. Tidak cukup dalam diri akademisi hanya satunya kata dan perbuatan. Melainkan juga kapan kata dikeluarkan dan tindakan dilakukan. Itu semua harus dibungkus dengan nilai kepantasan. Harus diikat dengan nilai kepatutan. Tidak cukup hanya berprinsip baik semata. Karena prinsip baik ini harus dibungkus serta diikat dengan prinsip kepantasan dan kepatutan. Persis seperti tidak diperbolehkannya transaksi dagang di dalam masjid dan membaca kalam suci di dalam toilet, apapun argumentasinya.
Mengapa prinsip memantaskan diri penting jadi ukuran? Lebih-lebih bagi insan perguruan tinggi? Salah satu jawaban mendasarnya, karena kerap naiknya indeks akademik tak diiringi dengan naiknya indeks kematangan diri (self-maturity). Bertambah tingginya gelar akademik tak selalu identik dengan menguatnya indeks kedewasaan diri. Salah satu indikator paling penting adalah soal kematangan emosional (emotional maturity). Cara paling mudah untuk melihat dan mengukur kematangan emosional diri adalah dari kecenderungan “tidak ngomong sembarangan” dan “tidak bertingkah sembarangan”. Prinsip yang serupa lebih-lebih harus terlebih dulu dipraktikan oleh kepemimpinan perguruan tinggi.
Oleh karena itu, sejumlah langkah penting harus diambil di kampus. Agar prinsip memantaskan diri bisa terlembaga. Pertama, memastikan hidup harus diikat oleh kode etik (ethical conduct atau code of ethics). Ini sejatinya berlaku pada seluruh lini dan profesi kehidupan. Kehidupan kampus pun juga tak terkecuali. Bahkan, lebih-lebih. Di sinilah dibutuhkan kode etik pegawai. Diperlukan kode etik dosen. Juga kode etik mahasiswa. Mengapa? Karena kehidupan kampus tidak berurusan secara langsung dengan malaikat. Kampus tidak mengurusi malaikat. Makhluk yang selalu identik dengan sifat taat.
Sebaliknya, kampus berhubungan kuat dengan manusia. Yang diurusi kampus adalah makhluk yang selalu ada dan bergerak bersama nilai kompleksitasnya. Selalu ada ketidakstabilan emosi di antaranya. Selalu terdapat potensi baik dan buruk dalam diri masing-masingnya. Apalagi, di tengah basis kognitif, selalu ada kuasa afektif yang hadir kapan saja. Dan itu semua pasti bersemayam dalam diri manusia. Nah, untuk mengikat semua orang ke dalam prinsip dan panggung kebajikan, maka kode etik adalah sarananya. Instrumennya. Itu dibutuhkan agar kebajikan selalu mengemuka. Dan semua orang berorientasi kepadanya.
Bahkan, di sejumlah perguruan tinggi hebat di Barat, manajemen kampus tidak mencukupkan diri dengan kode etik. Mereka bahkan merasa penting untuk menurunkan lagi kode etik itu ke dalam rangkaian teknis penguat kebajikan perilaku. Caranya dengan merujuk nilai kebajikan yang tumbuh dan dikembangkan oleh para pendiri kampus. Mereka menyebutnya dengan istilah kode kehormatan (code of honor). Mereka menurunkan sejumlah prinsip dan nilai kebajikan dari tokoh pendiri kampus melalui sejumlah kutipan penting (quotes) dari ajaran hidupnya. Lalu, sejumlah quotes yang diperlakukan sebagai code of honor itu disebar ke semua sudut penting kampus yang ada. Sebagai pengingat hidup mulia.
Kedua, memperkuat keberadaan teladan baik (role model) di kampus. Indikator teladan baik ini sederhana. Teladan baik akan lahir saat orang lain melihatnya sebagai contoh baik yang patut untuk ditiru. Mulai dari pola pikir, cara bicara, hingga pola tindakan. Semakin banyak teladan baik, akan semakin mudah tercipta ekosistem kebajikan di kampus. Semakin besar jumlah teladan baik, semakin kuat kemuliaan untuk bisa menjadi basis mental kehidupan di kampus. Itu semua karena kebajikan butuh sistem pengaman. Kemuliaan perlu jangkar pengaman. Di sinilah ekosistem kebajikan dan atau kemuliaan harus diciptakan. Agar nilai kebajikan dan kemuliaan itu menjadi nafas hidup bersama.
Memang kearifan lokal kita mengajarkan bahwa usia penting menjadi medan kewajiban bagi lahirnya teladan. Semakin tua usia, makin besar kewajiban untuk bisa menjadi teladan baik. Tua di sini dalam pengertian usia kronologis. Ukurannya adalah tahun lahir. Atau lama menikmati nafas hidup. Semakin tua usia kronologis, semakin besar kewajibannya untuk bisa menjadi teladan baik. Meskipun masih ada kearifan lokal sisanya yang membuka ruang munculnya fenomena balikan: kebo nyusu gudel, dan bukan lagi gudel nyusu kebo. Kerbau menyusu ke anaknya, dan bukan anaknya yang menyusu ke induknya. Namun, tetap saja mereka yang memiliki usia kronologis lebih tinggi atau banyak berkewajiban lebih besar untuk menjadi teladan baik bagi selainnya.
Beragam prinsip di atas memang bisa berlaku dalam kehidupan kapan dan di mana saja. Kampus salah satunya. Tapi, ada sebuah kewajiban besar nan spesifik yang harus ditunaikan di kampus itu. Apa itu? Mereka yang sudah mencapai jabatan akademik sebagai profesor atau guru besar sudah sepantasnya menjadi teladan baik bagi para dosen dengan jabatan akademik di bawahnya. Mulai dari lektor kepala, lektor hingga asisten ahli. Mengapa? Karena profesor atau guru besar adalah pemilik “usia akademik” paling tinggi berupa jabatan akademik tertinggi dimaksud. Jangan sampai justru cara pikir, ujar dan tindak para pemilik jabatan akademik yang tinggi akan menjadi “tontonan” yang tidak perlu bagi yang di bawahnya.
Begitu pula bagi pimpinan atau tim manajemen perguruan tinggi. Pimpinan harus bisa menjadi teladan baik bagi seluruh pegawai di bawah kepemimpinannya. Rektor termasuk di dalamnya. Dan begitu pula pimpinan lainnya ke struktur pegawai di bawahnya. Mengapa? Karena mereka memiliki “usia jabatan” yang lebih tinggi dalam bentuk jabatan atau posisi kepemimpinan birokrasi kampus daripada selainnya. Para tenaga kependidikan yang memiliki jabatan struktural dan atau jabatan fungsional tertentu yang lebih tinggi juga harus bisa menjadi teladan baik bagi mereka yang berada di bawahnya.
Setiap kita penting untuk menjamin tingginya indeks akademik agar selalu selaras dengan indeks kematangan diri. Memantaskan diri, karena itu, menjadi prinsip utama yang harus melekat dalam penunaian tugas dan jabatan. Baik pada pola pikir, tutur kata hingga tindakan. Bisa jadi sebuah pernyataan atau tindakan tidak bermasalah dikeluarkan atau dilakukan oleh seseorang. Namun bisa jadi tidak pantas dipraktikkan oleh selainnya. Utamanya karena faktor superioritas. Hanya, jangan sampai superioritas itu berhenti di titik usia kronologis semata. Jangan sampai superioritas akademik dan jabatan organisasi tidak berdampak apapun pada kebajikan pikir, tutur, dan tindakan. Maka, memantaskan diri adalah prinsip hidup yang berlaku lintas zaman, lintas generasi, dan lintas jabatan.