Artikel

Abdul Chalik

Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

Munculnya demokrasi “abal-abal” menghantui pemilih pada Pilkada serentak yang akan dilakukan besok, 27 Nopember 2024. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah calon tunggal yang mencapai rekor dibandingkan dengan Pilkada sebelumnya. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.

Sebanyak 37 daerah dengan pasangan tunggal akan menghadapi kotak kosong. Jumlah ini merupakan yang tertinggi selama gelaran pemilihan kepala daerah di Indonesia. Pada Pilkada 2020, jumlah daerah dengan kotak kosong ada di angka 25. Sementara pada Pilkada 2018, jumlah kotak kosong mencapai 16. Adapun pada Pilkada 2018, jumlah kotak kosong mencapai 9. Terakhir pada Pilkada 2015 atau di pilkada serentak pertama di Indonesia, jumlah kotak kosong cuma ada di angka 3.

Jumlah kotak kosong menyebar di seluruh wilayah, namun terbesar di Jatim dan Sumatera Utara. Di Sumut, 5 daerah yang melawan kotak kosong adalah Kabupaten Asahan, Pakpak Bharat, Serdang Bedagai, Labuhanbatu Utara, dan Nias Utara. Sementara di Jatim, 5 daerah yang melawan kotak kosong adalah Kabupaten Trenggalek, Ngawi, Gresik, Kota Pasuruan dan Surabaya.

Demokrasi abal-abal merupakan istilah untuk menggambarkan praktik demokrasi elektoral yang hanya menggugurkan kewajiban melalui prosedur yang sudah ditetapkan. Praktik demokrasi abal-abal dialamatkan pada model pemilihan yang diwarnai dengan pembelian suara (vote buying), manipulasi proses dan hasil perhitungan, masyarakat merasa terintimidasi, dan penyelenggara yang tidak netral. Istilah lain demokrasi abal-abal adalah demokrasi palsu (fake democracy) dan cacat (flawed democracy) yang banyak dikenal dalam dunia akademik.

Berdasarkan indeks demokrasi dunia, Indonesia masuk dalam katagori demokrasi yang cacat (flawed democracy). Satu sisi Indonesia sudah menyelenggarakan Pemilu secara langsung untuk memilih pemimpin nasional hingga lokal namun pada sisi lain masih banyak ditemukan praktik yang justru melawan cita-cita demokrasi. Munculnya bagi-bagi uang dan sembako, ketidaknetralan aparatur pemerintah dan penyelenggara, serta masih ditemukan adanya intimidasi untuk mendukung calon tertentu adalah sekian variabel yang ditemukan dalam berbagai kasus di Indonesia.

Adanya kekhawatiran atas demokrasi abal-abal salah satunya karena banyaknya calon tunggal yang dapat dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk melakukan kecurangan. Pada saat pra pencoblosan masyarakat disuguhkan dengan informasi yang tidak berimbang tentang kemungkinan dampak negatif apabila calon tunggal kalah. Pada saat pencoblosan, ketiadaan atau ketidakpastian model kepengawasan ‘kotak kosong’ saat penghitungan suara berpeluang dimanfaatkan untuk keuntungan calon tunggal. Begitu pula adanya pandangan bahwa kehadiran pemilih hanya bersifat formalitas untuk menggugurkan kewajiban sebagai warga negara karena sudah terbangun ‘mitos’ calon tunggal sebagai pemenang.

Kehadiran calon tunggal merupakan hal yang lumrah dalam praktik demokrasi elektoral. Undang-undang juga memberikan ruang bagi daerah yang hanya memiliki calon tunggal. Tidak ada larangan atau pembatasan jumlah calon sepanjang memenuhi syarat dan ketentuan.

Keberadaan calon tunggal dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, sebagian tak terpisahkan dari kegagalan partai politik untuk melakukan kaderisasi kepemimpinan daerah. Tugas utama partai adalah menyiapkan calon pemimpin melalui beragam aktifitas yang dibenarkan menurut undang-undang.  Kedua, menggambarkan adanya salah satu kelompok atau perorangan yang cukup dominan dalam akses maupun modal sehingga menutup peluang yang lain untuk berkontestasi secara fair. Ketiga, kekurangpedulian masyarakat terhadap masa depan daerah dengan menyodorkan nama yang berasal dari tokoh-tokoh lokal untuk ambil bagian dari Pilkada. Masyarakat cenderung pasif atas dinamika politik di daerah dan menyerahkan tanggung jawab tersebut pada partai politik.

Karenanya, ketika calon tunggal hadir dengan jumlah besar dalam Pilkada 2024 merupakan sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Paslon tidak mungkin hadir di KPU tanpa adanya dukungan dari partai politik. Dukungan partai tidak terjadi secara tiba-tiba tanpa melalui proses dan mekanisme yang sudah ditetapkan mulai tingkat bawah, provinsi hingga pusat.

Meskipun demikin bukan berarti calon tunggal dapat bertindak sesuai dengan kehendak Paslon dan pendukung. Karena dalam kertas suara tetap ada pilihan yakni nama dan foto Paslon serta “kota kosong”. Masyarakat yang tidak memilih Paslon, maka diberi alternatif untuk mencoblos kotak kosong yang berada di sebelahnya. Pilihan tersebut cukup fair untuk tetap memberikan ruang politik bagi warga yang tidak adanya pilihan dari pada memilih tidak hadir alias Golput.

Maka mitos calon tunggal ‘pasti menang’ harus diabaikan. Ruang demokrasi masih terbuka lebar untuk memilih berdasarkan nurani. Begitu pula mitos demokrasi abal-abal yang dibuang jauh-jauh dengan memperlihatkan diri sebagai warga negara yang hebat dan berkualitas. Cara yang paling mungkin adalah dengan ikut ambil bagian dalam kepengawasan mandiri, melaporkan tindak kecurangan dan politik uang, dari melawan atas segala bentuk intimidasi dari siapapun dan bentuk apapun.

Tidak ada cara lain bagi warga negara yang baik kecuali menyisihkan waktu beberapa menit untuk hadir di TPS (Tempat Pemungutan Suara) dengan memilih satu di antara sekian pilihan. Kehadiran di TPS merupakan bagian dari tanggung jawab sebagai warga negara dengan menghadirkan pilihan politik untuk menentukan keberlangsungan pemerintahan. Kehadiran kita di bilik suara akan memperkuat legitimasi pemerintahan yang akan datang.