Dr. Slamet Muliono Redjosari
Kekayaan yang melimpah dan kekuasaan yang kokoh hanya mendatangkan kegembiraan sementara bagi kelompok elite tertentu. Rakyatnya tak bahagia, dan bahkan sengsara. Tetapi semuanya berakhir sengsara dan binasa. Kalau kebinasaan kaum terdahulu disebabkan oleh silau terhadap kekayaan yang melimpah. Kesilauan itu berakar dari salah memanfaatkan kekayaan, berkembangnya perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang dalam memanfaatkan harta, serta salah dalam penyembahan. Salah dalam penyembahan, karena mereka menyembah kepada sesuatu yang tak layak disembah. Puncak kejahatan itulah yang mengundang adzab hingga membinasakan seluruh kekayaannya. Allah pantas membinasakan karena tak memanfaatkan limpahan rizki secara benar. Serta tak berterima kasih pada Dzat yang telah menganugerahkan kekayaan. Saat ini, bukan hanya salah memanfaatkan limpahan harta, tetapi justru lalai terhadap tanggung jawab sosial pada rakyatnya. Apabila ini dibiarkan, bisa jadi akan mengarah pada kebinasaan kolektif.
Surga Dunia
Kebinasaan suatu peradaban seringkali diawali oleh kelalaian atas limpahan kekayaan hingga salah arah dalam memanfaatkannya. Berbagai kenikmatan yang mereka rasakan justru menjerumuskan diri dalam kemaksiatan. Kemaksiatan tertinggi ketika melupakan Sang pemberi nikmat. Di samping menindas rakyatnya, mereka melampiaskan kegembiraan dengan hidup foya-foya.
Tragisnya, mereka memberhalakan kekuasaan serta mengagungkan berhala, dan pada yang sama menyisihkan peran Allah sebagai pemberi nikmat. Kesalahan dalam pengagungan itulah yang mendorong mereka melakukan dosa terbesar, berupa penyembahan kepada selain Allah. Berbagai perbuatan dosa besar telah melalaikan tanggung jawab sosialnya terhadap rakyatnya. Hidupnya penuh kedzaliman, hukum dipermainkan, rakyatnya dibiarkan hidup susah dan sengsara.
Ada pula kejahatan terbesar yang mereka lakukan, yakni mensejajarkan Allah dengan berhala. Mereka mengagungkan dunia klenik, serta mempercayai pada pedukunan. Seolah-olah Allah sebagai pemberi nikmat tidak ada di benaknya. Mereka pun bebas melakukan apa saja tanpa memiliki rasa takut kepada Dzat yang bisa menghempaskan mereka dengan mudah. Mereka terlibat dalam kemaksiatan, seperti judi online, praktek korupsi, membuat UU yang ujungnya memperkaya diri, dan politisasi hukum.
Seolah hidup selama-lamanya tanpa memiliki tanggung jawab sosial. Bahkan mereka menolak adanya kehidupan setelah kematian. Perbuatan inilah yang menjadi pintu masuk datangnya adzab yang menghinakan. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
أَوَلَمۡ يَهۡدِ لِلَّذِينَ يَرِثُونَ ٱلۡأَرۡضَ مِنۢ بَعۡدِ أَهۡلِهَآ أَن لَّوۡ نَشَآءُ أَصَبۡنَٰهُم بِذُنُوبِهِمۡ ۚ وَنَطۡبَعُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ فَهُمۡ لَا يَسۡمَعُونَ
Artinya:
Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya bahwa kalau Kami menghendaki, tentu Kami azab mereka karena dosa-dosanya; dan Kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)? (QS. Al-‘A`rāf : 100)
Penyimpangan pola perilaku disebabkan oleh kesilauan atas limpahan kekayaan mendorong hidup foya-foya hingga membiarkan kekejian. Praktek perzinaan, perjudian, mabuk-mabukan diback up sedemikian rupa. Sementara para pejuang yang meneriakkan tegaknya keadilan justru diancam akan dipenjarakan.
Tutup Telinga
Kalau kaum terdahulu, Allah mengirim rasul di tengah masyarakat yang melakukan kejahatan. Rasul datang untuk memperingatkan kaum yang memperturutkan hawa nafsu dan mempertuhankan syahwat. Rasul itu menjelaskan pentingnya mengingat tanggung jawab sosial dan menghentikan praktek ketidakadilan. Hari kebangkitan diingatkan sebagai momentum mempertanggungjawabkan semua perbuatan manusia. Bukannya menyadarkan, peringatan itu justru melahirkan kesombongan dan membunuh siapapun yang menghalangi kepentingannya.
Kesombongan itulah yang membuat Allah membiarkan mereka dalam kesesatan dan bangga dengan perbuatannya. Ketika di puncak kemaksiatan, Allah mendatangkan azab yang membinasakan semuanya. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan diri atas berbagai kenikmatan yang mereka rasakan, dan tak melakukan perbuatan yang pantas pada pada sesama, dan pada penciptanya. Al-Qur’an memaparkan hal itu sebagaimana firman-Nya :
أَلَمۡ يَرَوۡاْ كَمۡ أَهۡلَكۡنَا مِن قَبۡلِهِم مِّن قَرۡنٖ مَّكَّنَّٰهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَا لَمۡ نُمَكِّن لَّكُمۡ وَأَرۡسَلۡنَا ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡهِم مِّدۡرَارٗا وَجَعَلۡنَا ٱلۡأَنۡهَٰرَ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهِمۡ فَأَهۡلَكۡنَٰهُم بِذُنُوبِهِمۡ وَأَنشَأۡنَا مِنۢ بَعۡدِهِمۡ قَرۡنًا ءَاخَرِينَ
Artinya:
Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya generasi-generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu), telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain. (QS. Al-‘An`ām : 6)
Realitas sebagaimana yang digambarkan dalam ayat di atas bisa menjadi renungan Bersama. Negeri kita memiliki kekayaan alam yang melimpah. Hujan lebat telah melahirkan hidup berkecukupan. Sungai-sungai dan sumber mata air semakin membuat hidup semakin sempurna. Dengan Sungai dan sumber mata air, mereka bisa menikmati hasil dari pohon, berupa buah-buahan. Dari sumber air itu, mereka bisa terhibur dengan tanaman yang indah.
Rahmat yang begitu besar sangat kontras dengan realitas di tengah masyarakat. 60,3 (170 juaan) warga miskin tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Fakta banyaknya angka kemiskinan benar-benar mematikan hati pada elite. Hilangnya tanggung jawab sosial itulah yang membuat Allah murka. Terlebih lagi, ancaman pemenjaraan terhadap mereka yang menyuarakan kebenaran, semakin membuat kehidupan semakin mencekam. Dikatakan mencekam, karena ketika yang menyuarakan kebenaran justru terancam.
Allah tidak akan membiarkan praktek kejahatan ini terus berlangsung. Kedzaliman ada batas waktunya. Kalau dahulu pendustaan kebenaran dilakukan terhadap rasul, maka saat ini pendustaan dilakukan terhadap mereka yang menyuarakan kebenaran. Para penyeru kebenaran mengingatkan elite penguasa untuk menyadari tanggung jawab sosialnya.
Ketika suara kritis sudah ingin dibungkam, maka ini merupakan sinyal kuat bagi Allah untuk menghentikan kejahatan itu. Betapa tidak, limpahan nikmat seharus menjadi ladang amal sosial dan menebar kebaikan bersama. Tetapi yang terjadi justru menjadi pagelaran kesengsaraan dan kemiskinan kolektif. Apakah situasi ini merupakan puncak kedzaliman dan undangan Allah untuk menegakkan keadilan ?
Surabaya, 21 Mei 2025