Artikel

Adhelya Puteri Sefika

Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

Jumlah kursi yang diduduki kaum perempuan di parlemen tidak sebanding dengan jumlah yang terdaftar sebagai calon legislatif. Hal tersebut disebabkan ketidakmampuan kaum perempuan bersaing dengan caleg laki – laki pada saat kampanye. Juga tidak adanya dukungan yang memadai dari partai terutama dukungan anggaran dan jaringan. Tidak hanya terjadi di DPRD tingkat kota dan kabupaten tetapi juga di beberapa provinsi di Indonesia.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 pasal 2 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 pasal 173 telah mengatur kuota minimal 30% keterwakilan perempuan dalam partai politik. Regulasi ini mewajibkan setiap partai politik untuk menyertakan minimal 30% perempuan dalam kepengurusan tingkat pusat hingga calon legislatif. Aturan ini yang seharusnya menjadi panduan bagi keterlibatan perempuan dalam dunia politik.

Namun realitanya berbeda. Di beberapa wilayah Indonesia, keterwakilan perempuan di DPRD periode 2024-2029 masih jauh dari target 30%. Kondisi ini terjadi di tingkat provinsi seperti Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, dan Papua Tengah. Fenomena serupa juga ditemui di tingkat kabupaten/kota seperti Surabaya, Metro, Tanjung Pinang, Belu, dan Nagan Raya. Meskipun partai politik telah memenuhi ketentuan kuota 30% dalam pencalonan legislatif perempuan, namun keterwakilan perempuan di parlemen tetap rendah karena menghadapi berbagai dilema yang kompleks.

Banyak aspek yang menyebabkan kaum perempuan tidak bisa bersaing dengan kaum laki – laki terutama pada aspek sosial budaya masyarakat Indonesia. Mereka harus berjuang menghadapi pandangan stereotip masyarakat yang masih menganggap politik sebagai domain laki-laki. Beban ganda sebagai ibu rumah tangga dan politisi juga menjadi tantangan tersendiri bagi kaum perempuan, belum lagi permasalahan pada partai politik masih cenderung menempatkan calon legislatif perempuan di nomor urut bawah, yang memperkecil peluang keterpilihan mereka. Lalu, minimnya kaderisasi dan pembinaan kepemimpinan perempuan di internal partai politik membuat sulitnya menemukan kandidat berkualitas.

Alasan lain dari minimnya partisipasi perempuan dalam politik adalah keterbatasan dalam modal. Sistem Pemilu yang sangat kompetitif dan pragmatis dan membutuhkan modal besar. Banyak caleg perempuan yang kalah bersaing karena keterbatasan akses terhadap sumber daya finansial dan jaringan politik. Politik uang dan sistem patronase yang masih kuat dalam perpolitikan Indonesia, jadi sudah tidak heran lagi mengapa kaum perempuan sulit untuk menembus ruang politik yang keras. Posisi ini cenderung menguntungkan kaum laki-laki yang umumnya memiliki akses lebih baik terhadap sumber daya ekonomi dan jaringan kekuasaan.

Tidak hanya itu adapun faktor internal yang berperan penting dalam rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen. Banyak perempuan yang masih merasa kurang percaya diri untuk berkompetisi dalam arena politik yang keras. Kurangnya role model dan mentor perempuan di bidang politik turut berkontribusi pada rendahnya minat perempuan untuk berkarir di jalur politik. Minimnya pengalaman dalam memimpin organisasi besar dan terbatasnya exposure di forum-forum politik strategis juga menjadi kendala. Hal ini menciptakan siklus yang berulang karena kurang pengalaman.

Menghadapi berbagai dilema tersebut, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Misalnya dengan enguatan regulasi yang tidak sekadar menetapkan kuota, tetapi juga memastikan implementasinya secara efektif. Partai politik perlu didorong untuk lebih serius dalam melakukan kaderisasi perempuan dan memberikan kesempatan kepemimpinan yang setara. Lalu ada, pemberdayaan perempuan melalui program-program peningkatan kapasitas politik, kepemimpinan, dan manajemen organisasi. Program ini harus dirancang secara sistematis dan berkelanjutan, jadi tidak hanya sekadar formalitas pada menjelang Pemilu. Pentingnya membangun jaringan dan mentor politik perempuan juga perlu untuk mendapat perhatian khusus.

Partai politik juga perlu melakukan reformasi internal dengan menerapkan sistem kaderisasi yang terstruktur untuk calon pemimpin perempuan. Pemberian posisi strategis kepada kader perempuan dan sistem mentoring politik yang efektif perlu menjadi prioritas. Forum-forum diskusi politik khusus perempuan perlu dibentuk untuk membangun kepercayaan diri dan jaringan sesama politisi perempuan.

Maka diperlukannya perubahan budaya politik yang lebih ramah gender. Hal ini mencakup perubahan cara pandang masyarakat terhadap peran perempuan dengan  menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan menghargai keragaman. Contohnya bisa menggunakan media sosial, bisa memberikan dampak dan dukungan publik terhadap peran perempuandi dunia politik. Juga dengan dukungan infrastruktur dan kebijakan yang memungkinkan perempuan untuk menyeimbangkan peran politik dan domestik. Hal Ini bisa mencakup penyediaan fasilitas pengasuhan anak, jam kerja yang lebih fleksibel, dan pembagian peran yang lebih setara dalam rumah tangga.

Dilema perempuan di parlemen merupakan cerminan dari kompleksitas tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan kesetaraan gender di dunia politik. Maka dari itu seyogyanya keterwakilan yang seimbang di parlemen bukan sekadar pemenuhan kuota administratif, melainkan prasyarat penting bagi terciptanya demokrasi yang berkualitas dan kebijakan publik yang mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Diperlukan lagi komitmen yang kuat dan kerja sama dari berbagai pihak untuk mengatasi dilema ini. Perubahan tidak bisa terjadi secara instan, tetapi harus diupayakan secara sistematis dan berkelanjutan. Hanya dengan demikian, cita-cita kesetaraan gender dalam politik dapat diwujudkan, dan suara perempuan dapat terdengar lebih nyaring dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional.

Perjuangan mencapai kesetaraan gender dalam politik membutuhkan kerja sama semua pihak. Setiap negara demokrasi harus menyadari bahwa keterwakilan perempuan yang seimbang bukan sekadar formalitas, melainkan kebutuhan mendasar untuk menciptakan demokrasi yang berkualitas dan kebijakan yang lebih inklusif. Dengan komitmen kuat dan langkah nyata, cita-cita parlemen yang setara gender dapat diwujudkan demi masa depan yang lebih baik.