Column
Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag.
Guru Besar/Ketrua Senat Akademik UINSA Surabaya

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal dan baik, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu” (QS. Al Baqarah [2]: 168)

Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan usaha setan untuk menyesatkan manusia. Lalu, ketika manusia tersesat, setan lepas tangan begitu saja. Sebagai kelanjutan, ayat ini mengingatkan manusia sekali lagi agar tidak mengikuti apa pun ajakan setan, termasuk godaan mengonsumsi makanan yang haram dan atau merusak kesehatan.

Ayat ini dimulai dengan panggilan “wahai manusia.” Ini menunjukkan, perintah mengonsumsi makanan yang halal (halalan) dan menyehatkan (thayyiba) bersifat universal, tidak khusus bagi muslim. Hasil bumi juga disediakan Allah untuk manusia secara keseluruhan, tanpa melihat suku dan agamanya, asalkan dengan cara-cara yang tidak merugikan orang. Ayat ini juga menunjukkan, tidak semua hasil bumi itu baik untuk dimakan. Sebagian hasil bumi hanya cocok untuk bahan obat, bukan untuk dimakan. Makanan yang halal pun juga tidak selalu baik untuk dikonsumsi. Misalnya, daging kambing, ikan laut, sayuran, buah, dan sebagainya. Semunya halal, tapi tidak baik untuk penderita penyakit tertentu. Inilah contoh makanan yang halal (halalan), tapi tidak baik (thayyiba). Jadi, setiap makanan harus dipilih berdasarkan dua pertimbangan, yaitu dogmatis dan medis.

Ada dua jenis makanan haram. Pertama, haram karena substansinya yang dilarang Allah. Misalnya, babi, darah, dan bangkai. Kedua, makanan yang halal, tapi diperoleh dengan cara yang tidak benar. Misalnya, mencuri, merampok, dan menipu. Makanan yang terburuk adalah makanan yang haram dan diperoleh dengan cara yang haram pula. Misalnya, babi hasil curian, atau sapi yangh dimakan tanpa penyembelihan dan hasil penipuan. Peringatan Allah dalam ayat ini untuk tidak mengikuti macam-macam ajakan setan (khuthuwatis syaithan) menunjukkan, bahwa setan tidak pernah menyerah dalam menjerumuskan manusia. Jika gagal pada langkah pertama, setan telah menyiapkan seribu langkah berikutnya dengan strategi yang berbeda. Al Qur’an juga telah menyajikan kisah, mengapa Adam dan istrinya harus keluar dari surga? Tidak lain karena bujukan setan yang terus menerus. Gagal menggoda Adam, setan ganti menggoda istrinya, dan bujukan itu dilakukan berulang-ulang, sampai Adam dan istrinya memakan buah terlarang (QS. Thaha [20]: 120-121). Dengan demikian, mereka berdua keluar dari surga disebabkan persoalan makanan. Oleh sebab itu, perintah dan larangan Allah tentang makanan dalam ayat ini merupakan salah satu bukti kasih Allah kepada manusia.

           Paling tidak, ada tiga dampak negatif makanan yang haram. Pertama, menjadi penyebab tertolaknya doa.  Nabi SAW bersabda,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ ، تُلِيَتْ هَذِهِ الآيَةُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ( يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا ) فَقَامَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ اُدْعُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم:” يَا سَعْدُ أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إنَّ الْعَبْدَ لَيَقْذِفُ اللُّقْمَةَ الْحَرَامَ فِي جَوْفِهِ مَا يُتَقَبَّلُ مِنْهُ عَمَلٌ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا، وَأَيُّمَا عَبْدٌ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْتِ وَالرِّبَا فَالنَّارُ أْوْلَى بِهِ “رواه الطبراني

Ibnu Abbas berkata, ketika ayat ini (QS. 2: 168) dibaca di dekat Nabi SAW, Sa’ad bin Abi Waqqash, r.a berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah agar Allah mengabulkan doa saya. Nabi SAW menjawab, “Wahai Sa’ad, konsumsilah makanan yang baik, maka doamu akan terkabul. Demi Allah yang menguasai jiwa Muhammad, sesuap nasi yang haram akan menyebabkan ibadah seseorang ditolak Allah selama 40 tahun. Siapa pun hamba Allah yang dagingnya bersumber dari yang haram dan riba, maka neraka adalah tempat paling layak baginya” (HR. At Thabrani).

            Jika doa Anda tidak dikabulkan Allah, jangan tergesa-gesa menyalahkan Allah. Periksalah, jangan-jangan Anda pernah mengonsumsi makanan hasil korupsi, menipu atau kejahatan lainnya.  

Kedua, makanan haram dapat menyebabkan hilangnya ketenangan batin dan rusaknya kesehatan. Seseorang pasti cemas dan takut ditangkap polisi gegara ia menjadi backing perjudian, prostitusi, atau perampokan. Kecemasan inilah yang paling merusak kesehatan. Setiap dosa adalah kegelapan, dan setiap kegelapan adalah kegelisahan, dan setiap kegelisahan adalah perusak kesehatan.

Ketiga, makanan yang haram menjadi penyebab malasnya beribadah, sekaligus magnet perzinaan dan pembunuhan. Allah SWT berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبٰتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًاۗ اِنِّيْ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ ۗ

“Wahai para rasul, makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan kerjakan perbuatan yang baik. Sungguh Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Mukminun [23]: 51).

            Ayat ini secara tidak langsung menegaskan, makan yang halal akan mendorong seseorang melakukan kebaikan. Sebaliknya, makanan yang haram cenderung mendorong orang melakukan dosa, termasuk dosa besar, seperti zina dan pembunuhan. Peristiwa sejenis inilah yang akhir-akhir ini kerap terjadi di Indonesia. Jangan berharap motor yang diisi bahan bakar kotoran anjing bisa dihidupkan, sebab menyalahi petunjuk pabrik.  Brillat mengatakan, “You are what you eat” (kamu adalah apa yang engkau makan). Binatang karnivora, yaitu pemakan daging hewan cenderung berwatak kasar dan ganas. Sedangkan binatang herbivora, yaitu pemakan rumput dan dedaunan cenderung lebih lembut. Kebanyakan hasil perampokan, pencurian dan judi, apalagi sebagai backing judi digunakan untuk bersenang-senang dengan Wanita, atau membunuh orang atau anggota kelompoknya ketika terjadi konflik. Saya kutipkan kembali penutup hadis di atas,    

وَأَيُّمَا عَبْدٌ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْتِ وَالرِّبَا فَالنَّارُ أْوْلَى بِهِ

Siapapun yang dagingnya bersumber dari makanan yang haram dan riba, maka neraka adalah tempat paling layak baginya” (HR. At Thabrani).

            Jika ingin menjadi orang tenang, sehat dan saleh, berhati-hati dan sangat selektif terhadap jenis makanan Anda. Konsumsilah makanan yang jelas-jelas halal (halalan) dan baik atau menyehatkan menurut ilmu kedokteran.