Oleh: Imellya Putri
Indonesia telah lama menghadapi tantangan serius dalam hal kesehatan anak, terutama terkait dengan tingginya angka stunting. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2024, tercatat bahwa prevalensi stunting nasional masih berada di angka sekitar 24%. Salah satu upaya terbaru yang diusung oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, adalah program makan siang dan susu gratis bagi siswa sekolah. Program ini tidak hanya menyasar siswa, tetapi juga memberikan bantuan gizi untuk anak balita serta ibu hamil di pesantren.
Program ini merupakan bagian dari Asta Cita, yaitu delapan misi utama pemerintahan Prabowo-Gibran yang mencakup peningkatan pendidikan, kesehatan, dan pembangunan manusia. Salah satu gagasan kuncinya adalah pendirian sekolah unggulan terpadu di setiap kabupaten, dengan dukungan digitalisasi dan renovasi fasilitas pendidikan sebagai bagian dari investasi jangka panjang untuk mencetak generasi unggul menuju Indonesia Emas 2045.
Namun demikian, program ini memicu perdebatan publik yang cukup luas, terutama dari sisi pembiayaan. Estimasi anggaran awal sebesar Rp71 triliun pada 2025 diproyeksikan meningkat signifikan menjadi sekitar Rp450 triliun pada tahun 2029. Angka ini dianggap sangat besar dan memunculkan kekhawatiran terkait defisit anggaran negara, inflasi, serta potensi peningkatan utang. Jika tidak dibarengi dengan perencanaan yang matang dan strategi realokasi anggaran yang tepat, maka pelaksanaan program ini berisiko memberatkan kondisi fiskal nasional.
Tanggapan terhadap program ini pun beragam. Seorang tenaga pendidik berinisial LNS menyampaikan dukungannya dengan alasan bahwa program makan siang gratis sangat relevan dalam upaya pemenuhan gizi anak-anak, terutama dari kalangan keluarga kurang mampu. LNS menilai bahwa keberhasilan program ini akan berdampak pada pencegahan stunting, peningkatan kualitas kesehatan, dan keseimbangan sosial. Meski demikian, ia juga mengakui bahwa pembiayaan program harus dikaji secara mendalam agar tidak membebani negara secara berlebihan, dan idealnya disesuaikan dengan kemampuan fiskal daerah.
Sebaliknya, seorang wali murid berinisial NEP memberikan pendapat yang lebih kritis. Ia menyatakan bahwa meskipun program ini dapat membantu ekonomi keluarga dari golongan menengah ke bawah, terdapat potensi dampak negatif seperti ketergantungan masyarakat terhadap bantuan pemerintah yang berujung pada menurunnya etos kerja. Ia juga menyoroti aspek kebersihan dan kualitas makanan sebagai isu penting yang perlu mendapatkan perhatian serius. Menurut NEP, program ini sebaiknya diprioritaskan untuk kelompok rentan seperti lansia yang hidup sendiri serta Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), bukan diberikan secara universal kepada seluruh lapisan masyarakat.
Respons publik terhadap program ini juga dapat diamati melalui media sosial. Salah satu unggahan di akun Instagram @prabowo.gibran2 yang mempromosikan program makan siang gratis mendapatkan lebih dari 3.000 likes dan 200 komentar. Meskipun banyak komentar bersifat positif, ada pula suara-suara skeptis. Sebagai contoh, akun @permanailham84 menyatakan keraguan terhadap keberlanjutan program ini, dengan menyebutkan adanya dugaan pemangkasan anggaran dari Rp15.000 menjadi Rp7.500 per anak per hari. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan program bisa saja menghadapi berbagai tantangan teknis dan birokratis yang tidak ringan.
Dari sudut pandang teoritis, program makan siang gratis ini dapat dianalisis melalui konsep tindakan sosial menurut Max Weber. Pertama, terdapat tindakan rasional instrumental (Zweckrational), yaitu tindakan yang dilandasi oleh pertimbangan efisiensi untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini, penyelenggaraan program ditujukan sebagai intervensi kebijakan untuk menurunkan angka stunting dan memperbaiki kualitas pendidikan pasca pandemi COVID-19. Kedua, muncul pula tindakan afektif, yang tercermin dalam ekspresi emosional masyarakat terhadap program tersebut, baik dalam bentuk dukungan penuh maupun penolakan berdasarkan rasa takut terhadap implikasi ekonomi yang muncul. Ungkapan keraguan dari netizen seperti @permanailham84 adalah bentuk nyata dari tindakan afektif dalam konteks kebijakan publik.
Kesimpulannya, program makan siang gratis yang diinisiasi oleh pasangan Prabowo-Gibran membawa misi yang sangat penting dalam rangka pembangunan manusia Indonesia yang sehat dan produktif. Namun, pelaksanaannya harus diiringi dengan tata kelola anggaran yang transparan, pengawasan yang ketat, serta komunikasi publik yang efektif. Jika tidak, program yang berniat mulia ini justru berisiko menjadi beban struktural baru dalam sistem ekonomi nasional. Maka dari itu, penting untuk mengkaji kembali skala prioritas, cakupan sasaran, dan efisiensi implementasinya agar manfaat program dapat dirasakan secara adil dan berkelanjutan oleh seluruh rakyat Indonesia. (ed. FyP)
Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi FISIP UINSA, Semester 2