Oleh: Eyyah Eylma Ma’arisa El Aqiiby
Di era modern yang ditandai oleh akselerasi pesat teknologi, kehadiran Artificial Intelligence (AI) telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia kontemporer. Perkembangan AI tidak hanya membawa kemudahan dalam mengakses informasi dan mempercepat pemrosesan data, tetapi juga melahirkan tantangan baru dalam ranah kognitif dan sosial. Salah satu gejala kontemporer yang menjadi sorotan adalah fenomena brain rot, sebuah istilah yang tahun 2024 ini dinobatkan oleh Oxford University Press sebagai Word of the Year. Istilah ini mengindikasikan meningkatnya kekhawatiran publik terhadap dampak negatif konsumsi konten digital instan terhadap fungsi otak manusia.
Brain rot merujuk pada penurunan kemampuan berpikir kritis, fokus, dan kreativitas akibat paparan berlebih terhadap teknologi digital. Gejala ini terutama mengemuka di kalangan Generasi Alpha—anak-anak dan remaja yang lahir sejak 2010 dan tumbuh dalam ekosistem digital yang sepenuhnya terintegrasi. Mereka sangat akrab dengan konten digital instan seperti video pendek di TikTok dan YouTube Shorts, yang kerap menampilkan konten-konten absurd dan repetitif berbasis AI, seperti “Tung Tung Tung Sahur”, “Bombardiro Crocodilo”, dan “Ballerina Cappuccina”. Konten-konten ini, meskipun tampak menghibur, secara tidak langsung mempercepat proses degradasi kognitif dengan memanjakan otak pada stimulasi visual dangkal dan menghambat proses berpikir mendalam.
Dalam ranah akademik, fenomena ini dapat dianalisis menggunakan pendekatan fenomenologi sebagaimana dikembangkan oleh Edmund Husserl dan Alfred Schutz. Fenomenologi berusaha memahami pengalaman subjektif individu dari sudut pandang pelakunya sendiri. Oleh karena itu, alih-alih sekadar mengukur durasi penggunaan AI atau media sosial, yang lebih penting adalah memahami bagaimana Generasi Alpha memaknai pengalaman digital mereka—baik secara sadar maupun tidak sadar.
Pendekatan ini menjadi sangat relevan mengingat Gen Alpha hidup dalam realitas digital yang amat berbeda dari generasi sebelumnya. AI bagi mereka bukan lagi sekadar alat, melainkan telah menjadi entitas yang “menemani” keseharian mereka. Dampak dari relasi ini tampak dalam kebiasaan seperti doomscrolling—menjelajah konten tanpa henti—yang mengakibatkan banjir informasi dangkal dan mengurangi ruang mental untuk keterlibatan kognitif yang dalam dan reflektif.
Fenomena ini tidak hanya berdampak pada anak-anak, tetapi juga menyentuh kelompok usia dewasa, meskipun dengan bentuk dan pemicu yang berbeda. Dr. Susan Greenfield, seorang ahli neurologi dari Oxford University, menyatakan bahwa paparan konten instan secara berlebihan dapat mengganggu konektivitas sinaptik otak, sehingga menghambat kemampuan berpikir kritis dan pembelajaran jangka panjang. Sementara itu, Dr. Maryanne Wolf, pakar dalam bidang literasi dan otak, menyoroti bahaya kebiasaan membaca cepat (skimming) yang kini mendominasi cara membaca digital, yang berkontribusi pada menurunnya kemampuan analisis dan interpretasi mendalam atas teks.
Temuan-temuan ini menggarisbawahi bahwa brain rot bukan sekadar persoalan teknologis atau kebiasaan digital, tetapi mencerminkan pengalaman eksistensial manusia yang bersinggungan dengan kenyamanan, kemalasan, serta kekosongan makna dalam proses belajar. Oleh karena itu, penting bagi orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan untuk mendampingi generasi muda dalam penggunaan teknologi secara bijak. Pengaturan waktu layar (screen time) perlu dikombinasikan dengan upaya membangun kesadaran tentang pentingnya berpikir sebagai proses yang menyenangkan, menantang, dan bernilai, bukan sekadar mengejar jawaban cepat dari mesin algoritma.
Dengan demikian, tantangan utama bukan terletak pada eksistensi teknologi itu sendiri, melainkan pada kesadaran manusia dalam membangun relasi bermakna dengan teknologi—yakni bagaimana berpikir, belajar, dan memaknai diri dalam dunia digital yang terus berubah. (ed. FyP)
Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi FISIP UINSA, semester 2