Articles

Dr. Slamet Muliono Redjosari

Kekuasaan bila dikelola secara amanah, akan terwujud keadilan, namun bisa berubah menjadi fitnah jika disalahgunakan. Sejarah peradaban manusia menyimpan banyak jejak tentang bagaimana kekuasaan telah menjadi poros dominan dalam pembentukan, kemajuan, sekaligus keruntuhan masyarakat. Dalam peradaban Islam sendiri, kekuasaan tidak pernah berdiri sendiri. Dia memerlukan instrumen duniawi, berupa harta. Dua komponen ini selalu diletakkan dalam kerangka tanggung jawab sosial, etika ketuhanan, dan visi ukhrawi.

Ketika keduanya (kekuasaan dan harta) dijalankan dalam kerangka amanah dan keadilan, peradaban Islam melesat sebagai kekuatan global. Namun, ketika keduanya dikuasai oleh nafsu duniawi dan dijauhkan dari nilai-nilai Ilahiah, keruntuhan menjadi keniscayaan sejarah. Al-Qur’an mengingatkan secara tegas bahwa dunia ini bukanlah tujuan akhir manusia. Hal ini dinarasikan dengan baik sebagaimana firman-Nya :

“كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ”

Artinya :

Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian. Dan sungguh akan disempurnakan pahala kalian pada hari kesenangan yang menipu amat. Maka barang siapa dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah menang. Dan tidaklah kehidupan dunia kecuali kesenangan yang menipu (QS. Ali ‘Imrân : 185)

Dalam perspektif sejarah Islam klasik, kejayaan politik dan kekayaan negara pada masa Khulafā’ Rāsyidīn, Dinasti Umayyah, dan awal Abbasiyah dibangun di atas landasan etika distribusi kekayaan, keadilan sosial, dan kesederhanaan penguasa.[1] Para penguasa hidup didominasi menjalankan amanah dan tak tergoda dengan harta dan mempertahankan kekuasaan.

Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, hidup sederhana di tengah kekayaan negara yang berlimpah, dan mendistribusikan kekayaan dengan prinsip maslahah umum.[2] Seluruh harta kekayaan negara dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan kemakmuran negara. Sementara itu, ketika kemewahan dan kesewenangan elite mulai menguasai kehidupan istana di masa akhir Abbasiyah atau Turki Utsmani, tanda-tanda keretakan mulai tampak, dimana  ketimpangan sosial melebar, legitimasi moral melemah, dan kepercayaan rakyat terhadap pemimpin merosot.

Cermatilah ayat berikut ini :

“وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا”

Artinya :

Dan apabila Kami menginginkan kehancuran suatu negeri Kami akan memerintahkan penduduknya ketaatan akan tetapi mereka berbuat fasiq di dalamnya. Maka benarlah ucapan Kami atas mereka. Dan Kami hancurkan mereka dengan sehancur-hancurnya. (QS. Al-Isrâ’ : 16)

Ayat ini bukan hanya teguran moral, melainkan rumus historis. Ketika kekuasaan jatuh ke tangan elite yang memperturutkan syahwat, ketika kekayaan hanya berputar dalam lingkaran sempit para aghniyâ’, dan ketika suara rakyat yang tertindas tak lagi terdengar, maka kehancuran sosial-politik hanyalah soal waktu. Sejarah Islam mencatat, pada masa akhir Abbasiyah, krisis kepercayaan terhadap penguasa yang mewah dan korup memudahkan kekuatan luar untuk menyerbu Baghdad tanpa perlawanan berarti.[3]

Namun, Islam tidak memusuhi kekuasaan dan harta. Keduanya justru diakui sebagai bagian dari sunnatullah dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, Al-Qur’an menekankan bahwa keduanya adalah fitnah. Hal ini dideskripsikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

“إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ”

Artinya :

Sesungguhnya hartamu, dan anak-anakmu cobaan. Sesungguhnya di sisi Allah pahala yang agung.  (QS. At-Taghâbun : 15)

Dalam konteks sosial kontemporer, kesenjangan ekonomi, korupsi struktural, serta eksploitasi kekuasaan yang menjauh dari nilai-nilai keadilan adalah refleksi nyata dari penyakit yang dahulu meruntuhkan peradaban-peradaban besar. Ketika kekayaan dijadikan simbol status, bukan alat berbagi; dan kekuasaan dijadikan alat membungkam kebenaran, bukan menjamin keadilan, maka masyarakat akan hidup dalam kepalsuan struktural. Perhatikan ayat berikut :

“وَتِلْكَ ٱلْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ ٱلنَّاسِ”

Dan hari-hari itu Kami putar di antara manusia. (QS. Âli ‘Imrân : 140)

Kekuasaan dan harta bisa dijadikan alat untuk membangun kembali kesadaran profetik di tengah umat. Bahwa dunia tidak boleh dikuasai oleh kekuatan tanpa nilai, atau oleh kekayaan tanpa empati. Yang dibutuhkan bukan sekadar pembangunan fisik, tetapi juga rekonstruksi moral dan spiritual yang menjadi fondasi keberlanjutan umat. Hal ini dipaparkan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

“مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَٰلَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ۝ أُو۟لَـٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِى ٱلْـَٔاخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُ”

Barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, Kami cukupkan pahala bagi mereka dan amal-amal mereka, dan mereka sama sekali tidak dirugikan. Mereka lah orang-orang yang tidak mendapatkan di akherat kelak kecuali neraka. (QS. Hûd : 15–16)

Gengsi, kuasa, atau surplus kekayaan harus diletakkan di atas pondasi tauhid, tanggung jawab sosial, keadilan ekonomi, dan etika kepemimpinan. Karena peradaban sejati bukan tentang siapa yang paling kaya atau paling kuat, tetapi siapa yang paling mampu menegakkan kebenaran di tengah ujian dunia yang menggoda.

Surabaya, 11 Juni 2025


[1] Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies, Cambridge University Press, 2014.

[2] Al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hlm. 325–327.

[3] Hodgson, Marshall G. S. The Venture of Islam, Vol. 2: The Expansion of Islam in the Middle Periods, University of Chicago Press, 1974.