LIMA GELOMBANG SHALAT IED DI SKOTLANDIA
TOUR DAKWAH DI LONDON (12)
“Masjid seluas ini ternyata tidak cukup menampung jamaah. Shalat Jumat harus dilakukan sebanyak dua gelombang, dan shalat hari raya sebanyak lima gelombang sampai mendekati waktu zuhur”.
Oleh: Moh. Ali Aziz
SETELAH menempuh perjalanan 6 jam KA dari London, sampailah saya di Skotlandia (4/4/2023) sore hari.
“Lelah, ustad?”
Kata Toriqul Hajjil Akbar, panitia yang menjemput saya di pintu keluar.
Putra Prof. Dr. KH. Imam Ghozali Said, M.A., itu sedang menempuh S2 ekonomi di University of Glasgow.
“Tidak mas,” jawab saya sambil melipat tiket KA pp seharga sekitar Rp. 3.5 juta perorang.
“Mas, besok tolong antar saya ke Universitas Glasgow,” kata saya dengan suara bergetar kedinginan.
Saya penasaran seperti apa universitasnya ilmuwan dunia, Adam Smith dan James Watt itu.
“Siap ustad,” jawab ayah dari dua anak yang masih di bangku SD Skotlandia itu.
Sepekan sebelumnya, panitia telah mengingatkan saya agar memakai jaket paling tebal. Udara jauh lebih dingin dari London.
“Jika minus 14 Co, jaket yang ustad pakai ini belum cukup, meskipun rangkap tiga. Untung, cuaca hari ini amat cerah” tambah Toriq.
Setelah istirahat satu jam, panitia mengajak jalan kaki menuju tempat yang disewa untuk acara.
Aula seluas 10×20 m2 milik MAB (Moslem Association of Britain), sebuah masjid yang dibangun komunitas Arab telah dipenuhi sekitar 200 orang yang kebanyakan pelajar Indonesia.
Ada kira-kira 300 pelajar Indonesia di kota ini.
“Saya Ismail dari Madura pak. Saya mendampingi istri dari YARSI Jakarta yang menempuh S2 Psikologi,” kata pria 30-an tahun dengan baju batik khas Madura.
Sesuai permintaan, saya menyampaikan materi yang sama dengan materi pengajian di London, yaitu bagaimana meraih solusi masalah hidup dan belajar melalui terapi shalat bahagia.
“Silakan angkat tangan, bertakbir seperti ini. Renungkan maknanya dan pompakan optimisme,” komando saya sambil memberi contoh, dan mereka serentak melakukannya dengan antusias.
Ketika maghrib tiba, peserta menyerbu aneka masakan Indonesia.
“Rindu banget tempe mendoan ini,” kata salah satu peserta sambil setengah berjoget.
Menurut mereka, harga 400 gr tempe sama dengan harga seekor ayam.
“Saya ingin beralih profesi, jualan tempe di sini pak,” kata pelajar dari BUMN Jakarta serius.
Yang aneh, pengurus masjid tidak menegur panitia yang melanjutkan acara makan-makan ketika shalat jamaah berlangsung di lantai yang sama.
Justru setelah shalat, saya yang duduk pada barisan shalat paling belakang mendengar pengurus masjid mengumumkan, aula ruangan masjid sedang dipakai ratusan muslim Indonesia untuk iftar.
“Begitu toleran mereka,” kata saya dalam hati.
Padahal sebelumnya saya mengira, pengurus berdiri di depan jamaah untuk mengritik acara itu.
Malam itu, sebetulnya saya diminta berceramah dalam bahasa Inggris di depan komunitas Arab dan Pakistan di masjid itu.
Saya juga sudah menyiapkan dengan sungguh-sungguh sehari sebelumnya.
Saya baru diberitahu di tempat, ceramah disampaikan pukul 11.30 pada saat break tarawih.
Hampir semua imam masjid di Skotlandia membaca satu juz Al Qur’an setiap malam.
Dengan berat hati saya membatalkan permintaan itu, sebab dokter yang memantau kesehatan saya melarang saya tidur larut malam, agar durasi jam tidur minimal terpenuhi.
Esok harinya (5/4/2023), saya diajak Mas Priyo Pamungkas, mahasiswa S2 akuntansi dari Pertamina, dan Mas Toriq mengunjungi Glasgow Central Mosque, masjid terbesar di Skotlandia yang dibangun oleh komunitas Muslim Pakistan.
Amat besar, luas dan luar biasa indah bangunannya.
Masjid seluas ini ternyata tidak cukup menampung jamaah.
Shalat Jumat harus dilakukan sebanyak dua gelombang, dan shalat hari raya sebanyak lima gelombang sampai mendekati waktu zuhur.
“Apalagi pada liburan sekolah, seperti libur paskah dua pekan ini. Shalat Jumat juga amat padat,” kata Mas Priyo dan Mas Toriq dalam perjalanan mengantar saya ke station KA untuk kembali ke London. (Bersambung).