“Bagaimana menempatkan agama dan tuntutan profesional terhadap integritas?” Pertanyaan ini keluar dari seorang pejabat di Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia. Di sesi tanya jawab atas presentasiku pada hari pertama acara rapat kerja dan pengembangan sumber daya manusia Ditjen Minerba tersebut. Diselenggarakan di Yogyakarta, Jumat sore (30/08/2024). Kebetulan aku diminta sebagai narasumber untuk materi peneguhan integritas. Materi itu dibutuhkan di tengah tekanan dan tuntutan profesionalisme yang makin tinggi atas mereka.
Pertanyaan di atas sangat mendasar sekali. Tampak menjadi kebutuhan besar untuk memenangkan tanggung jawab profesional. Di tengah besarnya godaan dan peta risiko atas pekerjaan. Saking mendasarnya, pejabat di Ditjen Minerba di atas tak hanya bertanya saja. Dia ikuti pertanyaan itu dengan alasan konkret yang dia temui di lapangan. “Sebab, ada sejumlah orang atas nama agama menolak panggilan profesional tentang integritas,” demikian urainya untuk memperjelas alasan di balik pertanyaan yang dia sampaikan. “Mengapa ada yang menolak panggilan profesional atas integritas dimaksud?” tanyaku. “Mereka beralasan mengikuti alasan agama yang diyakini,” begitu jelasnya lebih lanjut untuk menirukan isi otak pelaku penentang profesionalisme atas integritas tersebut.
Aku pun sore itu merasa senang sekali. Berada di sebuah forum bersama para pelaku lapangan atas pekerjaan yang menjadi hajat hidup orang banyak. Karena menyangkut hajat hidup orang banyak itu, maka pekerjaan pada bidang itu sangat dibutuhkan. Dan karena itu, pekerjaan di bidang itu menjadi atensi besar banyak orang pula. Nah, meskipun didapuk sebagai pemateri, aku di acara itu sekaligus menjadi teman bersama untuk mendiskusikan godaan dan sekaligus peta risiko jabatan yang sedang mereka tunaikan sebagai aparatur negara. Ku tak sanggup menyembunyikan kegembiraan itu. Hingga setiap pertanyaan dari peserta kuingat betul. Termasuk pertanyaan yang diajukan di atas.
Di acara itu, integritas tak hanya didiskusikan. Melainkan, dikontekstualisasikan dengan pekerjaan. Fakta lapangan ini menarik. Karena, kita semua tahu, siapapun bisa membicarakan soal integritas. Hingga titik yang paling seru dan melegakan dahaga. Tapi, saat pembincangan soal integritas dilakukan langsung di tengah para pengemban amanah publik yang strategis, integritas bergerak menjadi kebutuhan riil di lapangan. Ia tak lagi diperbincangkan dari sisi prinsip dan nilai. Menjadi wacana yang mengambang. Bukan. Sekali lagi bukan. Saat dibahas di tengah para pengemban amanah publik yang strategis itu, integritas landing di lapangan konkret. Mendarat dengan baiknya.
Apalagi, kondisi lapangan tidak selalu sama. Ada yang kering. Ada pula yang becek. Kering berarti godaan, tantangan dan risiko tak terlalu besar. Becek justeru sebaliknya. Godaan, tantangan dan risiko justeru dirasakan sangat besar. Hingga integritas tertantang dengan seriusnya. Terasa menjadi barang mahal. Tak semua bisa menjangkau. Karena itu, pembahasan mengenai integritas di tengah lapangan, yang bisa kering dan bisa pula becek, terasa menjadi kebutuhan besar. Bukan saja bagi individu pemangku kepentingan amanah publik. Melainkan lebih-lebih kebutuhan lembaga yang menaungi. Dan ujung semua itu tentu saja adalah kebutuhan publik, bangsa dan negeri.
Karena itu, saat ada pertanyaan yang mengaitkan antara agama dan integritas seperti disitir di awal tulisan ini, maka otak kita harus segera mengirimkan sinyal kuat bahwa persoalan itu betul-betul dihadapi di lapangan. Dan karena itu, persoalan tersebut menjadi kebutuhan riil di lapangan untuk mendapatkan solusi penyelesaian. Itu berarti pula bahwa integritas bukan konsep pepesan kosong. Bukan abal-abal. Bukan bikinan untuk kepuasan keyakinan. Tapi sebaliknya, integritas betul-betul kebutuhan riil di lapangan. Karena isunya berat. Mudah memang diucapkan. Tapi dalam pelaksanaannya, praktik integritas jauh tak semudah pengucapannya.
Secara substansial, baik integritas maupun agama sama-sama merupakan entitas besar yang dalam implementasinya bisa mewujud dengan sangat variatif. Keduanya memang bisa dipertemukan dalam tataran nilai. Integritas adalah nilai hidup, dan agama adalah salah satu sumbernya. Namun, bagaimana nilai itu dieksprementaiskan dalam hidup, pengalaman memunculkan banyak keragaman. Variasi itu lebih-lebih karena godaan, tantangan dan risiko yang dihadapi terutama oleh integritas juga beragam. Baik jenis maupun derajatnya. Pada titik inilah, pertanyaan ulang atas relasi antara agama dan integritas terjadi, seperti dikemukakan oleh seorang pejabat yang diuraikan di atas.
Atas pertanyaan yang mengaitkan antara agama dan integritas di atas, aku pun harus meyakinkan penanya dan semua peserta rapat kerja di atas tentang dekat dan kuatnya hubungan antara keduanya. Apa dan bagaimana caraku meyakinkan yang bersangkutan? Kuhadirkan dua alat bukti konkret. Kedua alat bukti dimaksud penting kukutip dalam menjawab pertanyaan itu untuk memberikan kepercayaan kuat dalam internal diri bahwa agama dan integritas bukan untuk ditabrakkan. Melainkan dipertemukan melalui mekanisme hulu dan hilir. Seperti dijelaslan di atas, agama bertindak dalam kapasitasnya sebagai sumber atau hulu yang melahirkan nilai integritas.
Lalu, apa dan bagaimana dua alat bukti itu? Pertama, kuatnya petunjuk nubuat atas integritas dan sekaligus ketentuan mengenai indikator untuk mengukurnya. Agama melalui diktum nubuat dalam bentuk Hadits Nabi Muhammad SAW bukan saja mengajarkan tentang integritas sebagai sebuah nilai, melainkan juga memberi resep jitu untuk dapat mengukur efektifnya integritas itu dalam hidup. Bentuknya adalah penurunan indikator atas nilai integritas dimaksud. Dan ini yang menjadi kontribusi besar agama atas integritas. Sebab, kalau hanya dibicarakan pada tataran nilai, integritas akan sulit diukur dalam pelaksanaannya. Namun saat juga sudah diberikan indikator untuk mengukurnya, maka derajat efektivitasnya jelas bisa diukur pula.
Integritas itu soal prinsip. Mengandung sejumlah nilai. Karena itu, membincangkan integritas hanya pada level prinsip dan nilai, pasti akan sulit untuk diketahui dampak implementatifnya. Karena itu, indikator sangat dibutuhkan untuk mengukur integritas, baik sebagai prinsip maupun nilai. Nah, agama melalui diktum nubuat telah hadir dengan pemaknaan atas integritas itu beserta indikator untuk mengukurnya. Nabi Muhammad SAW dalam Haditsnya mengatakan begini: al-birru husnul khuluq, wa al-itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yaththali’a ‘alaihi al-nas. Kebajikan adalah membaiknya akhlaq, dan dosa adalah apa yang menggelisahkan dalam dirimu dan engkau tak suka orang lain tahu.
Tersurat dalam Hadits di atas dua indikator integritas. Bagaimana tahunya? kita gunakan kerangka berpikir Analisis Kontrastif (contrastive analysis) Plus. Sebuah kerangka analisis yang lazim digunakan dalam kajian bahasa. Nalar logiknya yang kita pinjam. Lalu kita tambahkan ke dalamnya kerangka analisis Pemahaman Terbalik (mafhum mukhalafah) yang jamak diberlakukan dalam tradisi keilmuan hukum Islam. Analisis Kontrastif akan menunjukkan proses dan hasil pembandingan yang membuka selubung perbedaan (differences) dan persamaan (similarities) dua unit bahasa, termasuk kata.
Analisis Kontrastif ini akan makin penting untuk digunakan saat dua unit bahasa, termasuk kata di dalamnya sebagaimana disebut di atas, terambil dari dua khazanah kebahasaan yang berbeda. Hasil yang akan didapatkan dari proses analisis kontrastif tersebut akan menjadi semakin kaya dan mendalam saat disempurnakan dengan analisis Pemahaman Terbalik. Sebab, makna yang akan timbul makin konkret dan terukur sebagai hasil dari proses gabungan antara kontras dan pemahaman terbalik. Jadi, penggunaan analisis Pemahaman Terbalik menambahkan nilai plus kepada kerangka Analisis Kontrastif. Sehingga pemaknaan hasil yang ditimbulkannya pun semakin mudah dipahami. Karena itulah, proses kerja teoretik ini kusebut dnegan istilah Analisis Kontrastis Plus.
Untuk mudah dan konkretnya, Analisis Kontrastif Plus bisa dioperasionalkan seperti ini: kita telaah cakupan dari dua kata yang berbeda dalam dua khazanah kebahasaan yang berbeda pula. Kata “integritas” yang merupakan hasil serapan dari kata dalam Bahasa Inggris integrity, dan kata al-itsmu yang terambil dari Bahasa Arab. Analisis Kontrastif akan menunjukkan bagaimana perbedaan dan kesamaan di balik dua kata tersebut. Lalu, dengan menunjuk kepada teori Pemahaman Terbalik, cakupan makna al-itsmu itu dibalik untuk membangun cakupan makna integritas. Dari situlah, indikator integritas bisa disusun dan diturunkan.
Kata al-itsmu yang disebut dalam Hadits tersebut mengandung substansi “dosa” dalam diri. Kata ini bisa diposisikan sebagai lawan dari kata “integritas” atau integrity dalam kata aslinya dalam Bahasa Inggris. Dalam makna dasarnya, integritas mengandung substansi kejujuran (honesty), konsistensi dan keteguhan diri. Sebab, dalam perspektif leksikal, integritas merupakan kualitas kejujuran dan kepatuhan diri yang konsisten dan tanpa kompromi terhadap prinsip dan nilai moral dan etika yang kuat (lihat URL: https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/integrity).
Karena itu, indikator integritas sebagaimana dimaksud di atas dapat ditarik secara inferensial dari dua indkator al-itsmu yang disebut dalam Hadits di atas. Artinya, indikator integritas bisa disusun dari makna balikan yang dikandung oleh konsep al-itsmu. Pertama, jika al-itsmu ditandai dengan “apa yang menggelisahkan dalam dirimu”, maka keberadaan integritas akan mulai terancam dalam dirimu jika sudah mulai muncul “apa yang menggelisahkan dalam dirimu”. Maka, jika ada sebuah sikap atau perilaku yang mulai menggelisahkan dalam dirimu atau, dengan ungkapan lain, membuat dirimu gelisah, hati-hatilah itu pertanda ada ancaman pada integritas dirimu.
Kedua, jika al-itsmu ditandai dengan “apa yang engkau tak suka orang lain tahu”, maka keberadaan integritas akan mulai terancam dalam dirimu jika engkau sudah mulai merasa tak suka jika ada orang lain tahu atas apa yang menjadi sikap dan perbuatanmu. Karena itu, jika sudah muncul sikap atau perbuatan [buruk utamanya] pada dirimu yang engkau merasa tak suka jika ada orang lain tahu, maka yakinlah bahwa integritas dalam dirimu sudah mulai terancam untuk tergerus. Jika sikap dan perbuatan seperti yang demikian mulai muncul, maka hati-hatilah dalam hidup. Itu semua pertanda bahwa integritas dirimu berada dalam bahaya. Minimal sedang tidak baik-baik saja.
Kedua indikator integritas di atas menyiratkan pelajaran penting: Janganlah dibiasakan sikap atau perbuatan yang menyelisihi nurani diri. Sebab, akan muncul pertanyaan dalam diri seperti ini: Bagaimana jika ada perilaku buruk tapi hati tidak gelisah? Apalagi, terkadang palekunya malah bangga untuk menceritakannya kepada orang lain? Jika semua itu terjadi, maka sejatinya keburukan itu sudah menjadi karakter diri. Nah dalam proses perilaku seperti ini, integritas sejatinya sudah terancam. Karena, sudah tak ada lagi rasa gelisah dan malu atas sikap dan perilaku buruk itu akibat proses pembiasaan yang menyatu dalam diri.
Itu soal indikator integritas. Selesai pada titik ini. Lalu, sekarang, apa yang menjadi alat bukti bahwa agama dan integritas bukan untuk ditabrakkan? Alih, alih agama bisa bertindak dalam kapasitasnya sebagai sumber atau hulu yang melahirkan nilai integritas. Nah, alat bukti kedua ini adalah kuatnya para ulama menerjemahkan integritas dengan cara menyertakannya ke dalam indikator keimanan. Fakta ini pemnting disampaikan untuk menjelaskan bahwa agama sudah hadir dalam peneguhan integritas. Bahkan, dalam derajat tertentu, agama lebih maju lagi dari piranti akademik yang diproduksi selama ini tentang bagaimana memaknai dan mengukur integritas. Karena agama hadir dengan mengidentikkan integritas dengan keimanan. Sebagaimana detailnya bisa dijumpai di bagian bawah, jika tak ada integritas, tak sempurnalah keimanan. Itu karena keimaman menuntut adanya integritas yang terjaga.
Hampir semua literatur menyepakati bahwa integritas itu mengidealisasikan satunya kata dan perbuatan dalam kebajikan. Frase “dalam Kebajikan” tak boleh dilupakan. Tak boleh dilepaskan sebagai kerangka. Untuk memberi titik batasan. Dan itu artinya, di luar titik batasan tak ada lagi cakupan. Atas makna integritas. Sederhana sekali alasan penjelasnya. Sebab, bisa saja terjadi satunya kata dan perbuatan, namun hal itu justeru terjadi dalam perihal keburukan. Maka, memaknai integritas tak boleh hanya dikerangkai dalam satunya kata dan perbuatan, melainkan harus disempurnakan dengan frase “dalam kebajikan” dimaksud. Frase “dalam kebajikan” ini menjadi pembatas antara yang dicakup oleh nilai integritas dan yang tidak.
Para ulama mendefinisikan iman dengan cara yang sangat operasional, integratif dan terukur. Redaksi yang digunakan memang bisa beragam, tetapi substansi dasarnya satu, seperti ini: al-iman huwa tashdiqun bil qalbi wa iqrarun bi al-lisani wa ‘amalun bi al-arkani. Iman itu sebuah pengakuan dalam hati, pernyataan dalam ucapan, dan pelaksanaan dalam perbuatan. Jadi, ada tiga komponen dasar dari keimanan. Yakni, pertama, pengakuan dalam hati; kedua, pernyataan dalam ucapan; dan ketiga, pelaksanaan dalam perbuatan. Ketiga komponen pembentuk keimanan ini harus hadir secara bersamaan dalam diri seseorang. Hilang satu, keimanan tak sempurna. Enyah dua, apalagi. Karena itu, ketiga-tiganya harus hadir dan mewujud dalam diri. Baru keimanan akan sempurna.
Nah, menyatunya kata dan perbuatan dalam kebajikan sebagai substansi integritas memiliki kesamaan semangat dan perwujudan dengan menyatunya tiga komponen pembentuk substanstif dari konsep keimanan di atas. Maka, sebetulnya, integritas, dalam bahasa teologis, bukan saja urusan kinerja diri. Menunjuk pemaknaan keimanan oleh para ulama di atas, integritas juga urusan teologis keagamaan. Karena itu, sejatinya, orang yang beriman seharusnya juga orang yang berintegritas. Jika seseorang mengalami defisit integritas, berarti dia juga sedang mengalami defisit keimanan. Saat integritas menyatu secara kuat dalam dirinya, maka sejatinya dia juga sedang mengamalkan keimanan dalam hidupnya.
Merujuk kepada dua alat bukti di atas, maka integritas dan agama sama sekali tidak dalam posisi berhadapan. Karena itu, tidak tepat jika ada yang ingin menempatkan agama dan integritas dalam posisi bertabrakan. Yang satu meniadakan yang lain. Agama dan integritas justeru sama-sama menjamin satunya kata dan perbuatan dalam kebajikan dan kemuliaan. Maka, melakukan keburukan yang bisa mengancam integritas diri atas nama agama, susah untuk bisa dinalar. Apalagi, menolak integritas atas nama agama, sungguh tak bisa dibenarkan.
Karena itu, pertanyaan berbasis pengalaman lapangan yang diutarakan oleh seorang pejabat di acara rapat kerja dan pengembangan sumber daya manusia Ditjen Minerba seperti diilustrasikan di awal tulisan ini tak sepatutnya muncul. Hanya, pertanyaan itu menunjukkan besarnya perhatian pejabat itu terhadap pentingnya integritas dalam lapangan pekerjaan. Integritas yang begitu esensial bagi kinerja profesional dihadapkan secara langsung di lapangan dengan praktik kepentingan individu yang justeru mengancam kinerja profesional itu sendiri. Hingga sang pejabat itu pun harus menyampaikan isu itu ke acara rapat kerja kantornya.
Kita pun bisa belajar banyak dari diskursus agama dan integritas seperti yang diusung pejabat dalam pertanyaannya kepadaku di acara rapat kerja dan pengembangan sumber daya manusia Ditjen Minerba di atas. Ada practical-cum-experiential knowledge dari pejabat di Ditjen Minerba itu. Tentang integritas. Tentang godaan dan tantangan integritas. Termasuk dari relasinya dengan agama. Akupun lalu teringat prinsip al-ajru ‘ala qadr al-masyaqqah. Atau, al-ajru ‘ala qadr al-ta’ab. Kira-kira begini dalam Bahasa Inggrisnya: Reward relies upon difficulty level. Pahala bergantung pada tingkat kesulitan. Atau, reward relies upon temptation. Pahala bergantung pada tingkat godaan. Atau, reward relies upon effort. Pahala bergantung pada usaha.
Mambawa agama masuk untuk ditabrakkan dengan substansi integritas, seperti yang dikhawatirkan oleh pejabat yang menceritakan ulang pertanyaan soal agama dan integritas di atas, hanya akan mengerdilkan arti dan posisi agama itu sendiri di hadapan kebajikan publik. Tapi, siapapun yang mengamalkan integritas di lapangan pekerjaan masing-masing tak boleh surut oleh kesulitan, godaan, dan tantangan yang muncul. Apapun jenis, bentuk, dan ukurannya. Sebab, integritas itu kebutuhan mendasar hidup. Siapapun membutuhkannya untuk terciptanya kualitas hidup yang baik. Karena itulah, tak hanya profesionalisme yang mempersyaratkan integritas. Tapi, juga agama.
Kala integritas jadi prioritas, bukan hanya profesionalisme yang memberikan tuntutan. Agama pun juga memberikan panggilan. Untuk tertunaikannya pekerjaan. Dengan penuh kinerja dan keberkahan. Karena profesionalisme berujung pada kinerja. Dan agama mendorongnya melalui nilai keberkahan. Profesionalisme dan agama memang sejatinya sama-sama menjadi spirit kinerja. Hanya, agama melampaui batasan kinerja dengan menyematkan keberkahan ke dalamnya. Salah satunya melalui konsep integritas, yang menjadi perhatian besar secara sama oleh keduanya.
Saat profesionalisme dan agama bersinergi dengan kuatnya, integritas akan tumbuh pada diri yang melaksanakan. Akibatnya, tak ada lagi yang emoh untuk menunaikan semua tanggung jawab yang diberikan. Alih-alih, semua amanah dibayar lunas dengan kinerja yang membanggakan. Di situlah kesejatian diri ditambatkan. Menuju derajat kesempurnaan kemanusiaan yang didambakan. Karena itulah, saat integritas jadi prioritas, ia tak lagi menjadi penting tapi juga genting. Penting menjadi perhatian. Namun genting untuk dilaksanakan. Untuk terciptanya kesempurnaan kemanusiaan. Melalui amanah yang diterimakan.