Column UINSA

Oleh: Dr. Moh. Hatta, S.Ag., M.H.I

Pendahuluan

Dalam beberapa dekade terakhir, istilah “jihad” sering disalahpahami dan disalahgunakan oleh berbagai kelompok dan individu. Mereka menggunakan istilah ini untuk membenarkan tindakan kekerasan yang dilakukan atas dasar kepentingan pribadi atau ideologi tertentu yang menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji makna jihad dalam konteks Islam dan membedakannya dengan konsep fi sabilil hawa, yaitu tindakan yang dilakukan untuk memenuhi hawa nafsu atau kepentingan duniawi semata.

Pengertian Jihad Fi Sabilillah

Dalam terminologi Islam, jihad secara harfiah berarti “berjuang” atau “berusaha keras.” Namun, makna jihad yang sebenarnya lebih luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan. Jihad fi sabilillah berarti berjuang di jalan Allah, yang mencakup:

  1. Jihad melawan diri sendiri (jihad an-nafs) yakni usaha seorang Muslim untuk mengendalikan hawa nafsu, menghindari dosa, dan memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik sesuai dengan tuntunan agama.
  2. Jihad melalui pendidikan dan dakwah merupakan menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang damai dan bijaksana, serta mendidik umat agar memahami Islam secara benar.
  3. Jihad dengan harta dan tenaga yaitu membantu sesama dan berkontribusi dalam kegiatan kemanusiaan dan pembangunan masyarakat, seperti membantu korban bencana, membangun sekolah, dan fasilitas kesehatan.
  4. Jihad dalam membela diri adalah jika umat Islam atau wilayah Muslim diserang, maka diperbolehkan untuk membela diri dan kehormatan mereka dengan cara yang proporsional dan dalam batas-batas yang ditentukan oleh syariah.

Fi Sabilil Hawa: Jihad yang Menyimpang

Sebaliknya, fi sabilil hawa berarti melakukan tindakan yang didorong oleh keinginan hawa nafsu, ambisi pribadi, atau motif yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Tindakan semacam ini sering kali berakhir dengan kekerasan dan kerusakan, serta mencoreng nama baik Islam. Beberapa contoh fi sabilil hawa adalah:

  1. Kekerasan atas nama agama seperti menggunakan dalih agama untuk melakukan tindakan kekerasan dan terorisme, yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang mengutamakan kedamaian dan kehormatan manusia.
  2. Kepentingan politik dan ekonomi seperti menyalahgunakan jihad untuk mencapai tujuan politik atau ekonomi pribadi atau kelompok tertentu, tanpa memperhatikan kerugian dan penderitaan yang ditimbulkan bagi orang lain.
  3. Ekstremisme dan fanatisme seperti menolak perbedaan pendapat, memaksakan pandangan pribadi, dan menolak toleransi, yang tidak mencerminkan semangat Islam yang mengajarkan kasih sayang dan penghormatan terhadap sesama.

Dalam konteks ini  ada sebuah kisah pada zaman Rasulullah di sela-sela perang Khandaq. Saat itu umat Islam pernah ditantang duel Amr bin Abd Wad al-Amiri, dedengkot musyrikin Quraisy yang sangat ditakuti. Nabi pun bertanya kepada para sahabat tentang siapa yang akan memenuhi tantangan ini.

Para sahabat terlihat gentar. Nyali mereka surut. Dalam situasi ini Sayyidina Ali bin Abi Thalib (karramaLlâhu wajhah) maju, menyanggupi ajakan duel Amr bin Abd Wad. Melihat Ali yang masih terlalu muda, Nabi lantas mengulangi tawarannya kepada para sahabat. Hingga tiga kali, memang hanya Ali yang menyatakan berani melawan jawara Quraisy itu.

Menyaksikan yang menghadapinya Ali yang ia anggap hanya seorang “bocah”, Amr bin Abd Wad menanggapinya dengan tertawa mengejek. Sayyidina Ali tak perengaruh dengan dengan ledekan tersebut. Perkelahian berlangsung sengit, dan nasib mujur pun ternyata ada di tangan Sayyidina Ali.

Amr bin Abd Wad tumbang ke tanah setelah mendapat sabetan pedang Sayyidina Ali. Kemenagan Ali sudah di depan mata. Hanya dengan sedikit gerakan saja, nyawa musuh dipastikan melayang.

Dalam situasi terpojok Amr bin Abd Wad masih menyempatkan diri membrontak. Tiba-tiba ia meludahi wajah sepupu Rasulullah itu. Menaggapi hinaan ini, Ali justru semakin pasif. Ali menyingkir dan mengurungkan niat membunuh, hingga beberapa saat. Sikapnya yang tak mau melakukan penyerangan terhadap Amr yang meludahi wajahnya menimbulkan tanda tanya. Para sahabat yang menyaksikan penasaran: apa alasan Sayyidina Ali bersikap demikian? Beliau menjawab, ”Saat dia meludahi wajahku, aku marah. Aku tidak ingin membunuhnya lantaran amarahku. Aku tunggu sampai lenyap kemarahanku dan membunuhnya semata karena Allah subhânahû wata‘âlâ.”

Penggalan kisah ini mengandung pelajaran mendalam tentang hakikat jihad, yang oleh sementara kelompok kadang dimaknai secara serampangan. Meskipun Amr bin Abd Wad akhirnya gugur di tangan Ali tapi proses peperangan ini memberi pesan bahwa perjuangan dan pembelaan Islam mesti dibangun dalam landasan dan etika yang melebihi sekadar luapan kebencian dan kemarahan.

Sayyidina Ali menjadikan Allah sebagai satu-satunya dasar. Komitmen ini mudah terucap tapi sangat sukar dalam praktiknya. Teriakan takbir atau pengakuan diri sebagai pemegang tauhid belum sepenuhnya menjamin seseorang bertindak tanpa terpengaruh oleh ego atau nafsu pribadinya: nafsu merasa benar sendiri, nafsu tak ingin tersaingi, serta nafsu membenci dan memusuhi. Karena itu memang menjadi pekerjaan hati, lebih dari aktivitas fisik dan emosi.

Kesimpulan

Jihad fi sabilillah dan fi sabilil hawa merupakan dua konsep yang sangat berbeda dan perlu dipahami dengan baik oleh setiap Muslim. Jihad yang sejati adalah perjuangan yang dilakukan untuk kebaikan, kedamaian, dan keadilan, sesuai dengan tuntunan Allah. Sementara itu, jihad yang dipengaruhi oleh hawa nafsu tidak hanya merusak diri sendiri tetapi juga orang lain, serta mencoreng citra Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Oleh karena itu, setiap Muslim harus senantiasa berusaha memahami dan mengamalkan jihad yang benar, demi terciptanya dunia yang lebih baik dan damai