Pilkada Jakarta 2024 telah menjadi panggung politik yang sangat dinamis, penuh manuver dan intrik politik. Di tengah persaingan ketat ini, nama Anies Baswedan mencuat dengan elektabilitas tertinggi, menjadi calon yang diunggulkan oleh publik untuk memimpin kembali Jakarta. Namun, meskipun survei menunjukkan angka elektabilitas yang signifikan, Anies menghadapi tantangan besar: kekuatan politik kartel yang dibangun oleh Koalisi Indonesia Maju. Pada konteks ini, politik kartel difungsikan sebagai strategi dan taktik meredam potensi individu yang kuat seperti Anies, dengan mengendalikan dukungan mayoritas partai-partai politik.
Politik Kartel
Politik kartel merujuk pada fenomena di mana partai-partai politik sebagian besar bergabung untuk mengkonsolidasikan kekuasaan mereka, baik untuk memenangkan pemilihan maupun untuk mengendalikan distribusi sumber daya politik dan ekonomi. Partai-partai ini bekerja sama bukan hanya untuk mengamankan kemenangan bagi kandidat mereka, tetapi juga untuk menjaga stabilitas kekuasaan yang telah mereka bangun. Menurut Richard S. Katz dan Peter Mair (2018), konsep politik kartel menekankan pada kolusi antar partai untuk menghindari kompetisi yang terbuka, yang pada akhirnya melemahkan dinamika demokrasi .
Di Indonesia, politik kartel telah menjadi fenomena yang semakin kuat dan merajalela pasca-Reformasi. Partai-partai politik papan atas dan papan tengah seperti Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN membentuk Koalisi Indonesia Maju, sebuah aliansi yang didesain untuk mendominasi panggung politik nasional dan daerah. Koalisi ini kemudian memperkuat dirinya dengan membangun Koalisi Plus yang melibatkan Nasdem, PKS, dan PKB. Koalisi Plus ini dirancang untuk menciptakan satu kekuatan politik yang hampir tak terkalahkan, yang mampu menentukan arah kontestasi politik di tingkat nasional dan daerah.
Anies Baswedan dan Politik Kartel
Anies Baswedan adalah salah satu tokoh politik yang secara konsisten menunjukkan elektabilitas tertinggi dalam survei-survei politik. Indikator Politik Indonesia dalam survey yang direlease Juli 2024 menempatkan Anies dengan elektabilitas tertinggi 43,8 %, Ahok 32,1 %, dan Ridwan Kamil 18,9 % (simulasi tiga nama). SMRC dalam survey Agustus 2024 juga menenmpatkan Anies dengan elektabiloitas tertinggi 50,1 %, Ridwan Kamil 38,8 %, tidak tahu 11.1% (simulasi dua nama).
Sebagai mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies dikenal dengan berbagai kebijakan populernya seperti penataan kawasan Tanah Abang, program rumah DP 0%, pembangunan mega proyek –Jakarta International Studium (JIIS), Jakarta International E-Pric Circuit (JIPC), kampung susun Aquarium-, integrasi transportasi publik di Jakarta melalui Jaklinko, gratiskan PBB dibawah 2 milyar, keberhasilan menyelenggarakan Asian Games 2018. Keberhasilannya ini membuat Anies tetap populer di kalangan masyarakat Jakarta, bahkan setelah tidak lagi menjabat sebagai gubernur.
Namun, elektabilitas yang tinggi ternyata tidak menjamin dukungan politik yang kuat. Dalam kasus Anies, meskipun ia berada di puncak survei, Koalisi Indonesia Maju berhasil memanfaatkan struktur politik kartel untuk menghalangi jalannya menuju pencalonan dalam Pilkada Jakarta 2024. Koalisi ini dengan cerdik membangun dukungan mayoritas partai-partai politik, yang pada akhirnya menyebabkan Anies kehilangan basis dukungan dari partai politik yang dibutuhkan untuk maju.
Menurut Vedi R. Hadiz (2017), dalam konteks politik Indonesia, politik kartel sering kali menjadi alat bagi elit politik untuk mengendalikan kontestasi dan memastikan bahwa kepentingan mereka tetap terjaga, terlepas dari preferensi elektoral publik . Dalam kasus Anies, Koalisi Plus yang dibangun oleh Koalisi Indonesia Maju berhasil mengkooptasi partai-partai seperti Nasdem, PKS, dan PKB, yang sebelumnya dianggap sebagai pendukung potensial bagi Anies. Melalui tekanan politik yang intimidatif, tawaran politik yang menggiurkan dan janji posisi strategis di pemerintahan, koalisi ini berhasil menarik partai-partai tersebut ke dalam orbit mereka.
Koalisi Indonesia Maju: Operasi Politik
Koalisi Indonesia Maju (KIM) terdiri dari sejumlah partai politik: Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PSI, dll. Partai-partai politik ini memiliki pengaruh besar di tingkat nasional dan daerah. KIM memperluas cakupan kekuasaan mereka dengan melibatkan Nasdem, PKS, dan PKB. Popular dengan sebutam KIM Plus. Aliansi ini tidak hanya strategis, tetapi juga pragmatis, dirancang untuk mengonsolidasikan kekuatan politik dan memastikan bahwa kepentingan bersama mereka tetap terjaga.
Koalisi Indonesia Maju menjalankan operasi politik yang cerdik dan licik, dengan memanfaatkan berbagai strategi dan taktik untuk melemahkan calon-calon potensial yang tidak berada di bawah kendali mereka. Dalam kasus Anies Baswedan, koalisi ini menggunakan berbagai manuver politik untuk memastikan bahwa Anies tidak mendapatkan dukungan partai politik yang cukup untuk maju dalam Pilkada Jakarta 2024.
Sejumlah operasi politik dijalankan untuk mengganjal dan menjegal Anies Baswedan maju dalam Pilkada Jakarta. Mulai melakukan lobi-lobi politik yang intensif dengan menawarkan insentif politik, baik mengakomodir kandidat dalam pilkada maupun jabatan Menteri dalam pemerintahan dan melakukan tekanan politik yang intimidatif terhadap partai-partai yang sebelumnya mendukung Anies, hingga membangun narasi negatif terhadap Anies di media massa dan media sosial, yang bertujuan untuk merusak citra positifnya di mata publik. Operasi politik semacam ini mencerminkan apa yang disebut oleh Jeffrey A. Winters (2011) sebagai “oligarki politik”, di mana kekuatan elit menggunakan sumber daya yang mereka miliki untuk mengontrol hasil politik dan mempertahankan kekuasaan .
Terganjal dan terjegalnya Anies Baswedan dengan elektabilitas tertinggi, memastikan kandidat yang diusung oleh KIM Plus yakni Ridwan Kamil melenggang ke kursi Jakarta 1 tanpa banyak berpeluh-keringat dalam kampanye pilkada, lantaran seolah-olah bersaing (pseudo-competition) dengan pasangan calon dari jalur independen yang “diduga” sebagai paslon boneka, mengadopsi model pilkada Solo tahun 2020 (Gibran vs Bagyo).
Implikasi Bagi Demokrasi
Operasi politik yang dilakukan oleh Koalisi Indonesia Maju Plus memiliki implikasi besar bagi demokrasi di Indonesia, terutama dalam konteks Pilkada Jakarta 2024. Politik kartel, dengan segala taktik dan manuvernya, pada dasarnya mereduksi pilihan demokratis masyarakat dengan mengontrol siapa yang dapat maju sebagai calon dalam pemilihan. Meskipun Anies Baswedan memiliki elektabilitas tertinggi, realitas politik menunjukkan bahwa tanpa dukungan partai politik yang kuat, peluangnya untuk maju dalam Pilkada kandas.
Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis tentang masa depan demokrasi di Indonesia. Jika politik kartel terus mendominasi, maka demokrasi Indonesia berisiko menjadi sekadar prosedur formal tanpa substansi yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat. Seperti yang dikemukakan oleh Slater dan Simmons (2019), politik kartel berpotensi menciptakan “demokrasi elektoral” yang kosong, di mana pilihan-pilihan politik yang sebenarnya dikendalikan oleh elit partai, bukan oleh pemilih.
Kesimpulan
Pilkada Jakarta 2024 menunjukkan betapa kuatnya pengaruh politik kartel dalam mengendalikan kontestasi politik di Indonesia. Meskipun Anies Baswedan memiliki elektabilitas yang tinggi, Koalisi Indonesia Maju berhasil menghalangi langkahnya melalui serangkaian operasi politik yang cermat. Ini adalah pengingat bahwa dalam politik Indonesia, kekuatan elit dan struktur kartel lebih sering menentukan hasil politik daripada preferensi publik. Dalam konteks ini, tantangan bagi demokrasi Indonesia adalah bagaimana mengatasi dominasi politik kartel untuk memastikan bahwa proses politik tetap inklusif dan mencerminkan kehendak rakyat.
[Andi Suwarko; Dosen Prodi Pemikiran Politik Islam-FUF & Prodi Ilmu Politik-FISIP]