Column
Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag., Guru Besar/Ketua Senat UINSA Surabaya

ٱتْلُ مَآ أُوحِىَ إِلَيْكَ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

”Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad), yaitu Al Kitab, dan laksanakanlah salat. Sungguh salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (pahalanya dari ibadah-ibadah yang lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Ankabut [49]: 45).

Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah SWT menjelaskan pelanggaran agama yang dilakukan oleh orang-orang pada masa Nabi Luth, a.s, Syu’aib, a.s, dan Musa, a.s. Sebagai kelanjutan, ayat ini menjelaskan dua hal, yaitu perintah tilawah dan perintah salat, agar orang-orang yang dipimpin Nabi SAW tidak melakukan pelanggaran yang sama.   

Tilawah, yang artinya membaca kitab suci untuk diri sendiri dan orang lain, merupakan satu dari tiga tugas kenabian, disamping dua tugas lainnya, yaitu tazkiyah (membersihkan hati dari hal-hal yang merusak keimanan), dan ta’lim (mengajarkan keimanan, ibadah dan akhlak secara lebih luas dan mendalam sampai orang dapat menjalankannya dengan senang hati,  mudah, dan benar (QS. Ali Imran [3]: 164). Sebagai penerus Nabi SAW, kita juga diperintahkan untuk menjalankan tiga tugas itu, lebih-lebih sebagai pengajar atau pemimpin.

       Dalam beberapa hadis disebutkan tujuh kemuliaan dan keuntungan bagi pembaca Al Qur’an. Yaitu, (1) dicatat Allah sebagai muslim terbaik, (2) mendapat 10 pahala atau kemuliaan, atau bisa kita sebut 10 energi positif dari setiap huruf yang dibaca, (3) tetap berpahala, meskipun pembaca belum lancar atau melakukan kesalahan membacanya, (4) ditempatkan dalam tingkatan surga sesuai dengan jumlah ayat yang pernah dibaca, (5) menjadikan orang tuanya masuk surga, (6) mendapat syafa’at (pertolongan, perlindungan, dan kebahagiaan) di dalam kubur dan akhirat, (7) memberi berkah dan keselamatan orang-orang yang berada dalam perkumpulan tilawah.

       Salah satu hadis yang terkait dengan tujuh manfaat tilawah adalah sebagai berikut,

يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْاَنَ اِقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا فَاِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ اَخِرِ اَيَةٍ تَقْرَأُبِهَا

”Dikatakan kepada pembaca Al Qur’an (pada hari kiamat), “Bacalah dan naiklah, bacalah dengan terang dan benar seperti yang engkau lakukan di dunia. Sungguh, tempat istirahatmu adalah sesuai dengan posisi terakhir dari ayat Al Qur’an yang engkau baca” (HR. At Turmudzi).

Kata “wa ladzikrullai akbar” (zikir itu lebih penting dari segalanya) dalam ayat ini bisa diartikan: (1) zikir terpenting adalah salat, dan salat adalah ibadah yang teristimewa, (2) ingat Allah dalam salat adalah ibadah yang dahsyat, (3) gaung ingat Allah dalam salat yang masih terasa setelah shalat adalah potensi besar untuk menjaga manusia dari dosa. Resonansi salat seperti itu bagaikan pantulan suara gong yang terus terdengar sampai memasuki waktu salat berikut, (4) bacaan ”subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, dan Allahu akbar dalam salat adalah bacaan termulia dibanding zikir-zikir lainnya.         

Dari ayat ini, timbul pertanyaan, ”Benarkah salat bisa menjauhkan manusia dari maksiat?”  Benar, dengan syarat sebagai berikut. Pertama, salat dikerjakan secara benar sesuai dengan petunjuk Al Qur’an. Dalam ayat ini, perintah salat disebut setelah perintah tilawah Al Qur’an. Kedua, salat itu telah mendorong sikap kedermawanan. Menurut Muhsin Qira’ati (2001), zakat dan sedekah dapat mengikis kecemburuan sosial, sehingga tidak ada lagi pencurian, perampokan, dan pembunuhan. Hampir semua ayat Al Qur’an yang berisi perintah salat disertai pula perintah zakat.

Ketiga, salat dikerjakan dengan sabar dan terus menerus. Sebab,  pengaruh positif salat tidaklah terjadi seketika, melainkan memerlukan waktu yang panjang, bahkan puluhan tahun. Dalam QS. As Sajadah: 4 disebutkan, Allah SWT menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, bukan sekaligus, meskipun Allah bisa melakukannya hanya dengan kun fayakun. Inilah pelajaran yang penting dari Allah untuk sabar menjalani proses dalam segala hal. Ada seorang lelaki menghadap Rasulullah SAW dan berkata, “Sungguh, si fulan mengerjakan shalat di waktu malam, tapi mencuri pada pagi harinya.” Nabi menjawab,  ”Sungguh, dia akan berhenti mengerjakan apa yang kau katakan itu” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah r.a). 

Al Baghawi berkata, Anas r.a bercerita tentang pemuda anshar (penduduk asli Madinah) yang melaksanakan salat lima waktu bersama Nabi SAW, namun ia masih mengerjakan dosa. Ketika cerita itu disampaikan kepada Nabi, beliau menjawab, ”Sungguh shalatnya pada suatu saat nanti akan menghentikannya dari melakukan dosa.”  Tidak lama kemudian, orang itu bertobat dan menjadi orang saleh. Dengan berpegang pada penafsiran Thabathaba’i, Musthafa Khalili (2006) mengatakan, orang yang salat dan masih terus melakukan dosa akan melakukan lebih banyak dosa jika ia meninggalkan salat, sebab salat adalah sarana mengingat Allah.”

Keempat, salat menghadirkan ”polisi gaib” yang mengawal manusia dari perbuatan dosa. Namun polisi gaib itu hanya sebuah potensi, bukan sebab akibat. Artinya, salat bukan satu-satunya faktor pembebas manusia dari perbuatan dosa, melainkan hanya salah satu faktor. Sama dengan pernyataan, ”apel yang dikomsumsi setiap hari akan menjauhkan orang dari semua penyakit.”  Untuk sehat, tidak cukup hanya dengan makan apel, tapi harus juga mengatur pola hidup secara keseluruhan secara benar.

Kelima, salat bisa menambah “mahabbah dan khasy-yah” (senang mendekat Allah, dan takut dosa dan siksa-Nya) sebab ia merasa berdampingan dengan Allah, sebagaimana disebutkan pada ujung ayat ini, “Allah Mengatahui apa pun yang kamu kerjakan.

Sumber: (1) Mustafa Khalili, Naqs-e Namoz dar Syakhsyiat-e Jawonon, terj. Berjumpa Allah dalam Shalat oleh M.J Bafaqih, Zahra Publishing House, Jakarta, 2006, (2) Muhsin Qira’ati, Porto-ye az Asrare Namoz (Pancaran Cahaya Shalat), Pustaka Hidayah, Bandung, 2001, Cet. VII (3) Moh. Ali Aziz, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, UIN Sunan Ampel Press, Surabaya, 2015, cet. X, p. 76, 82-83, (4) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 21, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 2-5 (5) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, Vol. 10, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p. 95-98. (6) Kerajaan Arab Saudi, Tafsirul ’Usyuril Akhir Minal Qur’anil Karim, www.tafseerinfo.