Oleh: Prof. Dr. H. Moh. Ali Aziz, M.Ag.
Guru Besar UINSA Surabaya
عَفَا ٱللَّهُ عَنكَ لِمَ أَذِنتَ لَهُمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَتَعْلَمَ ٱلْكَٰذِبِينَ
“Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi ijin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (alasan uzurnya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? (QS. At Taubah [9]:43)
Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah menyuruh orang-orang Islam untuk ikut perang Tabuk bersama Nabi SAW. Sebagai kelanjutan, ayat ini menjelaskan adanya beberapa orang yang berpamit, tidak bisa ikut perang dengan berbagai alasan yang disertai sumpah. Nabi SAW mengijinkan mereka absen perang dan memaafkannya, karena ingat perintah Allah (QS. Ali Imran [3]: 159) untuk bersikap lemah lembut, mengasihi dan memaafkan orang.
Ternyata, keputusan Nabi SAW itu mendatangkan teguran Allah, karena ia dia tergesa-gesa mengijinkan mereka, tanpa memeriksa terlebih dahulu siapa saja yang menyampaikan alasan dengan jujur, dan siapa pula yang berbohong. Dari redaksi ayat, inilah teguran Allah paling keras yang pernah diterima Nabi. Dan dari redaksi ini pula, ayat ini menunjukkan tingginya kemuliaan Nabi di depan Allah, sehingga sebelum menegur, Allah menyatakan pemberian maaf kepada-Nya.
Sebenarnya, Nabi tidak bersalah, sebab yang bersumpah bohong bukan Nabi. Ia hanya tertipu. Tapi, bagi Allah, keputusan Nabi itu tidak baik bagi seorang Nabi. Itulah, maka dalam dunia tasawuf dikenal kaidah,
حَسَنَاتُ الْاَبْرَارِسَيِّئَاتُ الْمُقَرَّبِيْنَ
“Apa yang dipandang baik oleh orang saleh (pada umumnya), bisa saja dinilai buruk bagi orang-orang yang sangat dekat kepada Allah).
Ayat ini merupakan salah satu bukti kejujuran Nabi SAW. Meskipun ayat ini berisi teguran keras, yang bisa saja menjatuhkan nama baik Nabi, tapi ia tetap saja memberitakan kepada semua orang. Ia tidak akan melakukan JAIM, yaitu menjaga citra diri dengan segala cara. Dalam bahasa populer, JAIM adalah berkata bohong atau bertindak pura-pura, dengan harapan mendapat penilian, bahwa ia orang suci atau saleh, hartawan, dermawan, cerdas, terhormat, orang bekelas, dan image atau citra baik lainnya. Inilah yang seringkali dilakukan beberapa pebisnis, politikus, dan tokoh-tokoh atau profesi-profesi lainnya.
Ada lagi teguran Allah kepada Nabi, dan teguran itu juga tetap disampaikan kepada semua orang, yaitu firman Allah,
مَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَكُونَ لَهُۥٓ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِى ٱلْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ ٱلدُّنْيَا وَٱللَّهُ يُرِيدُ ٱلْءَاخِرَةَ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Anfal [8]: 67)
Ayat ini turun sebagai teguran Allah kepada Nabi, karena ia memaafkan dan membebaskan tawanan perang Badar dengan sejumlah tebusan. Keputusan ini dilakukan atas saran Abu Bakar, r.a, dan mengabaikan saran Umar bin Khattab, r.a untuk menghukum mati mereka.
Dalam ayat yang lain, Allah juga memberi teguran kepada Nabi, “Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta datang kepadanya. Dan tahukah engkau (Muhammad), barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepada. Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya?.” (QS. ‘Abasa [80]: 1-4).
Teguran itu diberikan Allah, disebabkan Nabi kurang memperhatikan orang buta, Abdullan bin Ummi Maktum, ra. yang bertamu kepadanya. Saat itu, Nabi sedang berbincang serius dengan para elit pemimpin kafir Makkah tentang masalah-masalah yang sangat penting. Ayat teguran ini juga tetap disampaikan ke publik tanpa beban psikologis sedikit pun.
Andaikan Nabi menjaga image agar terkesan suci dan mulia, tak pernah melakukan kesalahan, apa susahnya bagi Nabi untuk menyembunyikan ayat-ayat itu, dan tidak menyampaikannya ke publik agar nama baiknya terjaga?
Ada lagi satu persitiwa yang amat memojokkan Nabi, yaitu ketika istrinya, Aisyah, r.a disebarkan berselingkuh dengan seorang sahabat. Andaikan Nabi mau, tak ada susahnya bagi Nabi untuk membuat ayat palsu yang menyatakan bahwa tuduhan itu tidak benar. Tapi, Nabi membiarkan saja hoaks itu menyebar ke mana-mana, sampai turun QS. An Nur [24]: 11-12, yang menyatakan tuduhan itu kebohongan besar, dan Aisyah, r.a, istri Nabi adalah wanita suci.
Dengan demikian, pujian Allah kepada Nabi sebagai pribadi teragung di dunia sudah melalui ratusan ujian besar. Dengan ujian nama baik tentang diri dan keluarga yang demikian berat, tetap saja ia menunjukkan pribadinya yang shidiq (jujur), dan tabligh (menyampaikan semua wahyu, tanpa ada satu ayat pun yang disembunyikan). Nabi SAW tidak punya beban sedikit pun bercerita, bahwa ia telah melakukan kesalahan dan mendapat teguran Allah. Ia juga tidak peduli bagaimana penilaian atau image orang terhadap dirinya. Ia tidak mau mencari-cari kemuliaan dan citra nama baik, sebab kemuliaan akan datang secara otomatis, jika manusia berakhlak mulia. Kemuliaan itu juga hanya milik Allah semata,
فَإِنَّ الْعِزَّةَ للهِ جَمِيعًا
“Maka, sungguh, semua kemuliaan hanya milik Allah” (Q.S. An-Nisa’: 138-139)
Tirulah Nabi SAW yang mengedepankan kejujuran dalam semua hal. Jauhilah jaga image dengan cara-cara yang tak terpuji. Tampillah apa adanya, sejujur-jujurnya, dan itulah yang justru menghasilkan image sebagai pribadi yang terhormat.