Berita

@adminuinsa

Wednesday, 9 March 2022

SARASEHAN NASIONAL PESANTREN: KEMANDIRIAN ADALAH NAFAS DAN KARAKTER PESANTREN

UINSA Newsroom, Rabu (09/04/2022); “Kami sadar bahwa ekosistem kita, UIN Sunan Ampel Surabaya tidak mungkin bisa dilepaskan dari kehidupan pondok pesantren. Oleh karena itu, kami ingin memberikan satu momentum bahwa antara UIN Sunan Ampel Surabaya dengan pondok pesantren, merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama,”

Hal itu disampaikan Rektor UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya dalam sambutan menandai dibukanya ”Sarasehan Nasional Pesantren” pada Rabu, 9 Maret 2022 di Hotel Mercure Grand Mirama Surabaya. Kegiatan ini mengusung tema “Pesantren Pasca Undang-Undang Nomor  18 Tahun 2019: Qua Vadis Kemandirian Pesantren?.” Pada kesempatan ini, UINSA secara khusus juga menandatangani kerjasama dengan Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN).

Hadir selaku narasumber dalam kegiatan Sarasehan ini, KH. Ahmad Badawi Basyir (Pengaruh Pondok Pesantren Darul Falah, Kudus); Dr. (HC) KH. Afifuddin Muhajir, MA. (Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus Sukorejo, Situbondo); dan Dr. KH. Reza Ahmad Zahid, MA. (Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri).

Kegiatan ini diikuti peserta dari unsur RMI, PWM, Mahasiswa Pascasarjana UINSA, serta sejumlah delegasi Pengasuh Pondok Pesanten di wilayah Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Bangkalan.

Dari unsur internal UINSA Surabaya, antara lain hadir Ketua dan Sekretaris Senat Akademik Universitas; Ketua Komisi Senat Akademik Universitas; Wakil Rektor; Kepala Biro; Dekan dan Wakil Dekan Fakultas; Direktur dan Wakil Direktur Pascasarjana; Ketua dan Sekretaris Lembaga; Ketua dan Sekretaris SPI; Kepala UPT; Koordinator Bagian Pada Biro AAKK, AUPK, dan Fakultas pada UIN Sunan Ampel Surabaya.

Rektor UINSA, Prof. H. Masdar Hilmy, S.Ag., M.A., Ph.D., menyampaikan dalam sambutan, bahwa kegiatan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Mengingat dekatnya hubungan antara UINSA dengan pesantren. Salah satunya dengan banyaknya mahasiswa UINSA yang berlatarbelakang pesantren. “Oleh karena itu kami sungguh tidak ingin hidup terlalu jauh dari radar pesantren. Kami ingin mendekatkan diri dengan pesantren. Agar kehidupan dan arah perjalanan kampus itu jangan samapai terpisahkan dari pesantren,” ujar Prof. Masdar.

Rektor juga menegaskan, bahwa sebuah kesalahan jika Perguruan Tinggi Islam seperti halnya, UINSA Surabaya, tidak merajut komunikasi dengan pesantren. Hal ini didukung pula dengan Jawa Timur yang dikenal sebagai salah satu gudang pesantren di Indonesia.

Terkait dengan tema acara, Rektor menjelaskan, bahwa tema yang sengaja diangkat tersebut menjadi pintu masuk bagi pesantren untuk merefleksikan perjalanan dan kiprahnya pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019. “Suka atau tidak suka, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 merupakan satu mekanisme negara dalam memberikan apresiasi terhadap pondok pesantren,” jelas Prof. Masdar.

“Tapi perlu diingat oleh kita semuanya, bahwa tanpa pengakuan negara, tanpa politik akomodasi dari negara, pesantren sudah ada sejak jaman dahulu kala. Sebelum negara ini lahir, pesantren sudah ada. Dan InsyaAllah sampai kapannpun pesantre akan tetap ada. Ini artinya bahwa, regulasi dan peraturan perundangan yang diberikan oleh negara itu semata hanya merupakan bentuk pengakuan negara terhadap eksistensi pondok pesantren,” imbuh Prof. Masdar.

Hal senada juga disampaikan KH. Ahmad Badawi Basyir dalam sesi sarasehan yang dipandu, Prof. Dr. Rubaidi, M.Ag., Guru Besar bidang Ilmu Tasawuf UINSA Surabaya. KH. Ahmad Badawi Basyir menyampaikan, bahwa tema dan isu tentang kemandirian pesantren merupakan hal yang melekat pada eksistensi dunia pesantren sejak dulu hingga sekarang. Keberadaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019, menurut KH. Ahmad Badawi Basyir, sejatinya tidak mempengaruhi kemandirian pesantren. “Karena kemandirian bagi pesantren telah menjadi nafas dan karakter khas pesantren,” ujar KH. Ahmad Badawi Basyir.

Urgensi dan relevansi hadirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 bagi pengembangan pesantren di Tanah Air, menurut KH. Ahmad Badawi Basyir, menghadapi tantangan baik dari sisi pemahaman maupun kesiapan; kehadiran UU Pesantren menjadi momentum dan peluang untuk menghadirkan dunia pesantren ke ruang-ruang publik yang lebih luas.

Kehadiran UU Pesantren juga sebagai bentuk pengakuan formal dari semua stakeholder di negeri ini terhadap kehadiran dan peranan pesantren; UU Pesantren berpeluang menjadi pintu masuk bagi penataan sistem pendidikan dan mensterilkan sistem pendidikan pesantren dari paham-paham yang bertentangan dengan ideologi kebangsaan; serta untuk kemandirian pesantren dan perkembangannnya dalam rangka mensupport pesantren menjalankan fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.

Dalam paparan selanjutnya, KH. Afifuddin yang tersambung secara daring serta KH. Reza Ahmad Zahid yang akrab dianggil Gus Reza sepakat menegaskan, bahwa kehadiran UU Pesantren juga sebagai bentuk pengakuan formal dari semua stakeholder di negeri ini terhadap kehadiran dan peranan pesantren. “Pesantren tidak perlu dianak-emaskan. Tidak dianaktirikan saja sudah cukup,” tegas KH. Afifuddin.

Lebih lanjut Gus Reza menekankan pemikiran Abu Hamid Al-Ghazali atau Imam Ghazali tentang tidak adanya dikotomi keilmuan. Tidak hanya pada ilmu, tapi juga pengaplikasiannya. Karena itu, Gus Reza juga menegaskan, bahwa pemerintah juga jangan  mendikotomikan pendidikan pesantren dengan non pesantren. “Pondok Pesantren dan juga santri-santrinya, menurut kasat mata saya dan pengetahuan saya yang sangat-sangat terbatas ini sudah berhak dan pantas untuk mendapatkan fasilitas Undang-Undang dan juga implementasi daripada Undang-Undang tersebut,” tegas Gus Reza. (All/Humas)