Column UINSA

UIN Sunan Ampel Surabaya

Monday, 26 September 2022

INTERNALISASI BUDAYA LOKAL*

Oleh: Prof. Dr. Wiwik Setiyani, M.Ag., dan Dr. Warsito, M.Si.

Syukur alhamdulillah, penelitian yang berjudul: keragaman masyarakat antar daerah: internalisasi budaya lokal pada tradisi perjanjian air di Kediri dan pernikahan wetu telu di Lombok Mataram sudah dapat tersusun dengan rapi. Penelitian ini menguras pikiran dan tenaga untuk mendapatkan data di dua tempat yang berbeda. Tantangan menggali data dan mencari informan sangat melelahkan sekaligus kebanggaan karena, dapat berkomunikasi secara langsung dengan para tokoh adat dan tokoh pemerintah serta generasi pewaris utama wetu telu di Mataram dan masyarakat Siman Kediri.

Masyarakat Siman Kediri merupakan masyarakat inklusif yang mampu beradaptasi dengan kaum urban. Perbedaan antar agama dan tradisi yang melekat masyarakat Jawa menjadi perekat untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi lokal. Tradisi Jawa seperti; suroan, larung sesaji, bersih desa, ziarah makam leluhur hingga upacara melasti. Sementara tradisi pernikahan masyarakat Wetu Telu Lombok Mataram terdiri dari berbagai macam jenis pernikahan seperti; merariq (kawin lari), Perkawinan Nyerah Hukum, Mepadiq lamar (Melakoq atau Ngenden), Perkawinan Dengan Cara Menculik, Kawin Ngiwet, dan Kawin Tadong (kawin gantong). Kedua model masyarakat tersebut mewakili daerah dan suku masing-masing yang mana masyarakat Siman Kediri menggambarkan tradisi masyarakat Jawa dan Islam wetu telu mencirikan masyarakat Suku Sasak Lombok. 

Masyarakat Siman dan Islam wetu telu memiliki perbedaan baik secara kultur, budaya, tradisi hingga adat istiadat. Namun, masyarakat Islam wetu telu mengalami proses panjang dalam mempertahankan eksistensinya. Dimulai dari masa kolonialisme, Islamisasi, hingga Jawanisasi sehingga terjadi akulturasi budaya (Lombok, Bali dan Jawa) dan agama (Islam waktu Lima, Islam wetu telu dan Hindu). Sejarah panjang tersebut menyebabkan tradisi pernikahan masyarakat wetu telu mengalami konstruksi. Kendati demikian baik masyarakat Wetu telu maupun masyarakat Siman mengalami dinamika masing-masing dalam mempertahankan keragaman tradisi lokalnya. 

Dua daerah yang berbeda provinsi Mataram dan Jawa Timur memiliki kekhasan masing-masing. Masyarakat Siman dan Islam wetu telu memiliki persamaan yakni; kemampuan bertahan untuk menghadapi keberlangsungan dan eksistensi tradisi lokal di tengah persaingan dunia global. Modernisasi dan perkembangan media sosial sedikit-banyak mempengaruhi konstruksi pemikiran masyarakat terhadap tradisi perjanjian air dan pernikahan wetu telu. 

Di kalangan masyarakat wetu telu yang tinggal area urban misalnya, melakukan evolusi terhadap praktik tradisi pernikahan dengan menyesuaikan perkembangan zaman, dengan tujuan membuat proses pernikahan lebih praktis dan sesuai trend. untuk itu otentisitas tradisi pernikahan wetu telu sesuai hukum adat Sasak perlu dipertanyakan kembali. Apakah orisinalitas tradisi lokal tersebut akan terus bertahan pada masyarakat Islam wetu telu yang berada di area perdesaan atau juga akan mengalami pergeseran? Tentu ini, perlu melakukan pendalaman dan juga proses-proses perubahan yang terjadi di masyarakat.

Saat ini, peran pemangku adat dan tokoh agama pada masyarakat Islam wetu telu lebih dominan dibandingkan dengan masyarakat Siman. Kontribusi pemerintah dalam mendukung dan melindungi keberadaan masyarakat wetu telu secara hokum masih perlu ditingkatkan. Lemahnya dukungan pemerintah lokal tidak terlepas dari sejarah dan identitas masyarakat wetu telu yang dianggap sebagai kelompok minoritas.

Otoritas pemangku adat dan tokoh agama berperan penting dalam setiap lapisan kehidupan masyarakat Islam wetu telu Lombok. Dalam pelaksanaan tradisi pernikahan, harus berdasarkan petunjuk dan arahan dari kiai dan pemangku adat. Upacara pernikahan tidak bisa berlangsung tanpa persetujuan dari kiai dan tokoh adat. 

Sebaliknya, pada masyarakat Siman Kediri peran pemerintah dalam mendukung tradisi lokal cukup besar. Hal ini ditandai dengan kontribusi pemerintah lokal memfasilitasi sarana dan prasarana dalam kegiatan pentas budaya, dan pelaksanaan berbagai upacara sosial keagamaan di area waduk Siman. Dalam beberapa aspek, pemerintah Siman belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat secara utuh seperti legalitas kepemilikan waduk Siman sebagai hak milik desa Siman. 

Keberadaan tradisi perjanjian air pada masyarakat Siman Kediri dan Islam wetu telu Lombok mampu bertahan sampai hari ini tidak terlepas dari sosialisasi dan internalisasi masyarakat terhadap kearifan lokalnya. Internalisasi masyarakat Siman terhadap perjanjian air terjadi di kalangan para generasi tua, pemerintah, para pendatang dan peziarah dan mereka yang berbeda keyakinan seperti Umat Hindu, Kristiani, kelompok LDII, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Berbagai bentuk ritual yang dilakukan masyarakat Siman, adalah cara agar mereka tetap dekat dan intim dengan leluhurnya. Kendati berbeda dimensi namun, masyarakat Siman percaya bahwa, terdapat relasi dan koneksi mistis antara manusia dengan para leluhur Siman (Mbah ponco Toyo, Mbah Poncoati, Mbah Ponco Ludro dan Mbah Sarinjing). Kepercayaan masyarakat terhadap para leluhur melahirkan sinergi baru yakni, berkumpulnya berbagai kegiatan yang dipusatkan di lokasi waduk Siman.

Masyarakat Siman percaya bahwa, semakin mereka menjaga tradisinya (perjanjian air) maka semakin melimpah pula ketersedian air di desa Siman. Dan melalui sistem pemboran air tanah dalam yang dilarang untuk setiap warga, menuntun masyarakat Siman secara alamiah dan secara tidak langsung merawat lingkungan dan menjaga keseimbangan alam dan kosmos. 

Internalisasi tradisi pernikahan oleh masyarakat wetu dilakukan oleh para pemuka agama; kiai, tetua adat, orang tua dan keluarga serta lingkungan pergaulan, dimana anak-anak muda lebih mudah menerapkan praktik tradisi pernikahan secara langsung. Secara garis besar baik masyarakat Siman Kediri dan Islam wetu telu Lombok, memiliki pola yang sama dalam menginternalisasi tradisi lokal. Namun tidak dapat dipungkiri kedua masyarakat tersebut memiliki corak budaya yang berbeda dan kekhasan masing-masing sesuai dengan lingkungan sosio-kultural dimana mereka berasal.  Internalisasi yang dilakukan oleh masyarakat dari generasi ke generasi adalah faktor utama masih kokohnya tradisi lokal masyarakat Siman dan Islam wetu telu.

Akhirnya, satu hal penting pelajaran yang dapat diambil dari penelitian ini, bahwa masyarakat Indonesia memiliki kepatuhan terhadap tradisi leluhurnya. Sikap menghormati dan melestarikan budaya bangsa menjadi satu kelebihan yang bernilai inklusif untuk perkembangan budaya. Disisi lain bersikap eksklusif untuk membentengi tradisi lokal agar, tidak mudah tergerus oleh perubahan zaman.

*Merupakan judul buku dari Penelitian Antar Pendidikan Tinggi yang ditulis Prof. Dr. Wiwik Setiyani, M.Ag., dan Dr. Warsito, M.Si., yang mengusung tema, “KERAGAMAN MASYARAKAT ANTAR DAERAH: Internalisasi Budaya Lokal Pada Tradisi Perjanjian Air Di Kediri Jawa Timur Dan Pernikahan Watu Telu Di Lombok Mataram.”