Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

“Cari makan yuuk!” ajakku ke anak isteriku malam itu. “Biar tidak terlalu larut makan malamnya,” jelasku berusaha meyakinkan. Jam kala itu sudah menunjuk ke angka 19:20 WIB. Dan, kalau makan malamnya nunggu hingga sesampainya di rumah, tentu masih butuh waktu setengah jam lagi. Malam itu aku bersama isteri menjemput anakku yang sedang menjalani pendidikan klinis kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo. “Cari yang deket-dekat sini saja biar cepet, nak!” pintaku ke puteriku itu. “Ada nih Yah, enak,” jawabnya menawarkan pilihan. Namanya, Ayam Kremes Suroboyo. Lokasinya di pinggir jalan sebelah timur kampus B Universitas Airlangga. Tepatnya di Jalan Karang Menjangan.

Setelah puas menyantap semua makanan yang kupesan, kekaguman besar pun segera menyelinap ke dalam diriku. Bukan saja soal makanan dan minuman yang enak rasanya. Tapi juga soal tukang parkir kedai itu yang begitu mulianya perangainya. Alkisah, usai menikmati makan malam itu, bergegaslah kami bertiga menuju kendaraan yang terparkir di depan kedai. Sang tukang parkir lalu berdiri dan memanduku menggerakkan kendaraan agar aman dari sodokan para pengendara mobil dan motor dari arah belakang. Lalu begitu naik mobil, kusodorkan sejumlah uang ke lelaki tua yang bertugas sebagai tukang parkir itu. Tapi, dia menolak. “Tidak usah, Mas. Jangan!” tukasnya.

Foto:  Wajah Dalam Kedai Ayam Kremes Suroboyo di Jl. Karang Menjangan

Penasaran, kusorongkan lagi uang itu lewat jendela saat kendaraanku mulai kugerakkan. Siapa tahu kali kedua ini dia mau. Sebab, kadang ada orang harus dipaksa menerima, baru dia mau. Atau mungkin tadi saat kuberi uang jasa parkir sebelum masuk mobil, dia takut ketahuan manajemen kedai ayam kremes itu. Sebab, aku sudah mulai menyorongkan sejumlah uang itu sejatinya sejak ku meninggalkan kasir untuk mendekat ke kendaraan. Siapa tahu, dia takut ketahuan manajemen kedai kala itu. Lalu dia tak berkenan menerima uang jasa parkir yang kuberikan. Siapa tahu saat posisinya terhalang oleh mobilku dari pandangan manajemen kedai pada giliran berikutnya, dia akhirnya menerima uang jasa parkir yang kuberikan.

Tapi lelaki tua itu memang agak laen. Beda dengan yang lain-lain. Dia tetap menolak. Betul-betul tak mau menerima. Meski kupaksa beberapa kali untuk menerimanya. “Nggak usah Mas! Nggak usah!” sergahnya sambil menggerakkan jemari tangannya. Tanda menolak. Lalu lelaki itu buru-buru menghentikan pergerakan sejumlah kendaraan dari arah belakang. Dan kemudian mempersilakanku untuk jalan. Seiring dengan itu, buru-buru bapak tua sang tukang parkir itu menjauh juga dari posisiku.

Akupun akhirnya harus menjaga kehormatan lelaki tua itu. Aku pun harus menjaga profesionalisme bapak mulia itu. Aku nggak ingin integritas mulia bapak sang tukang parkir itu runtuh gara-gara perilakuku yang terus membujuknya untuk menerima uang parkir. Perangai sang tukang parkir itu luhur sekali. Dilihat atau tidak dilihat manajemen kedai, tetap dia jaga integritasnya. Dia pertahankan keluhuran budinya. Tak luntur oleh godaan apapun. Termasuk sudah barang tentu dalam bentuk uang yang diberikan oleh pengunjung seperti yang kulakukan. Sebagai balasan atas jasa parkir yang telah dia layankan.  

Ahaaa! Klir, lelaki tua itu bisa menjaga diri dari godaan integritas. Tak goyah sedikitpun oleh godaan integritas. Lelaki tua itu, kuyakin, tak pernah kuliah tentang integritas. Kuyakin pula bahwa lelaki itu bukan pejabat. Kalau pejabat, kan nggak mungkin mau jadi tukang parkir. Kuyakin dia juga bukan penyelenggara negara. Kalau penyelenggara negara, nggak mungkin juga dia berkenan jadi tukang parkir. Kuyakin dia juga bukan sarjana. Kalau sarjana, nggak mungkin pula dalam sejarah panjang hidupnya lalu dia memilih profesi sebagai tukang parkir di sebuah kedai. Bukan pada jasa parkir yang dikelola oleh perusahaan jasa layanan parkir profesional. Seperti yang kita semua tahu dan mudah dapati di banyak tempat publik dan atau layanan umum.  

Foto:  Petugas Parkir Kedai Ayam Kremes Saat Mengatur Parkir Mobil

Sulit kutemukan perilaku lelaki tua itu di berbagai tempat umum. Padahal, bapak yang bertugas sebagai tukang parkir itu betul-betul bekerja membantuku. Betul-betul kerjo! Awalnya kumuter-muter untuk mencari parkir di dekat kedai ayam kremes itu. Tak kudapati space parkir di situ, kumuter kembali ke jalan sebelah utara kampus B Universitas Airlangga itu. Muter-muterlah ceritanya. Hingga hampir putus asa untuk bisa makan di kedai itu. Penasaran, akhirnya kukembali lagi menyusuri jalanan di depan arah sebaliknya dari lokasi kedai ayam kremes itu.

Lalu dari seberang jalan, kulihat ada ruang kosong untuk parkir mobil. Kutemukan space pendek nan sempit di depan kedai itu. Tak butuh waktu lama, langsung saja kugerakkan kendaraanku menuju ke space parkir yang kosong itu. Lelaki tua itu pun lalu memanduku untuk bisa memarkir kendaraan di depan kedai dalam space yang sempit sekali itu. Akhirnya terparkirlah kendaraanku secara baik. Tentu semua itu karena bantuan bapak tua sang tukang parkir itu.

Artinya, dari awal kudatang, lelaki tua itu sudah bekerja untukku. Membantuku. Pulangnya pun juga begitu. Dia betul-betul bekerja membantuku. Dalam proses datang dan pergi hingga akupun merasa nyaman meninggalkan kendaraan di depan kedai itu. Maka, wajar, sebetulnya, jika bapak tua itu menerima uang parkir dariku. Akupun juga sudah seharusnya memberinya imbalan atas jasa perbantuan dalam memarkir kendaraan itu. Tapi toh, tetap saja dia tak mau menerima uluran sejumlah uang untuk jasa parkir yang telah dia kerjakan untukku.

Memang, di kedai ayam kremes itu, tertulis “Parkir Gratis Khusus Pelanggan Ayam Kremes Karmen 78”. Kata “Karmen 78” ini menunjuk ke nama jalan dan nomor: “Karang Menjangan Nomor 78”. Tulisan itu ditempel di dinding sebelah selatan kedai itu. Dan pesan tulisan itu ternyata betul-betul diberlakukan. Sungguh-sungguh dipraktikkan. Baik oleh manajemen kedai itu. Maupun oleh petugas lapangan yang bernama tukang parkir. Bukan sok-sokan gratis, tapi faktanya tetap berbayar. Bukan hanya nempel pesan gratis, tapi faktanya tetap saja dikutip. Kedai ini benar-benar top. Aturan manajemennya dipraktikkan. Dari hulu hingga hilir. Petugas hilir pun juga menerapkannya dalam tugasnya. Ini keren banget! Manajemen kedai top. Tukang parkir juga top.

Foto:  Tulisan Peringatan Layanan Parkir Kedai Ayam Kremes Suroboyo

Bandingkan situasi di kedai tradisional “sejuta umat” itu dengan penyedia layanan bisnis yang mengklaim diri sebagai pelaku pasar modern. Pergilah ke minimarket-minimarket berjejaring nasional sekalipun. Engkau akan bisa membaca tulisan yang dicatkan ke tembok minimarket itu: “Parkir Gratis”. Itu dicat dengan huruf yang mudah terlihat. Gampang dibaca. Karena ditulis dengan warna kontras dengan warna tembok. Temboknya putih. Tapi  tulisan “Parkir Gratis” itu berwarna biru dan hitam. Hanya kenyataannya, semua pengunjung tetap saja membayar ke tukang parkir yang beroperasi di depan minimarket modern itu. Coba saja Anda tidak memberi uang jasa parkir, umpatan akan didapat. Omelan akan didengar. Kemarahanpun akan diterima. Dari tukang parkir yang beroperasi di sana.

Mungkin akan terdengar pernyataan “Itu tukang parkir liar!” Mungkin akan ada pernyataan seperti ini. Mungkin pula pernyataan itu berasal dari pihak manajemen minimarket itu. Hanya saja, kalau liar, berarti yang salah manajemen minimarket itu juga, bukan? Kok bisa membiarkan yang liar beroperasi di pelataran minimarket itu? Pasti pertanyaan-pertanyaan resiprokal seperti ini akan mudah diucapkan oleh setiap pengunjung. Karena antara yang tertulis dan yang terjadi di lapangan tak sama. Sama sekali. Oleh sebab itu, kalau ada pernyataan “Itu tukang parkir liar!” rasanya hanya untuk membela diri saja.  

Maka, wajar saja jika pengunjung pasar modern yang bernama minimarket punya kesimpulan begini: Jangan-jangan itu sudah kerjasama antara minimarket modern itu dengan sejumlah orang eksternal. Kepentingannya sederhana tapi konkret. Yakni, untuk menjalankan bisnis parkir berbayar di pelataran yang dikampanyekan sebagai area “parkir gratis” itu.  Artinya, tak ada komitmen yang kuat pada manajamen pasar modern itu dalam mengelola integritas layanan bisnisnya. Yang tertulis dan yang terjadi tak singkron. Peraturan disusun, dan bahkan dicatkan pada tembok. Tentu agar mudah dibaca dan diperhatikan. Tapi, realitasnya berbicara sebaliknya. Tak ada parkir gratis seperti yang dikampanyekan di tembok pelataran minimarket itu.

Lalu, apa pembelajaran yang bisa ditarik dari kisah mulia sang tukang parkir di atas? Pertama, bekerja dengan aturan memang penting. Tapi jangan biarkan aturan hanya sebatas susunan kata tanpa makna. Rangkaian kalimat tanpa dampak yang terlihat. Apakah susunan kata atau rangkaian kalimat itu ditempel di dinding. Ataukah disebar dalam bentuk flyer. Ataukah lainnya. Sama saja prinsipnya. Juga, apakah bentuknya SOP (standard operational procedure)ataukah lainnya. Tentu semua sama. Memang semua regulasi itu bagus. Termasuk yang dituliskan di dinding. Tapi semua itu akan sempurna jika dipraktikkan.

Kedai Ayam Kremes Suroboyo di Jalan Karang Menjangan di atas memberi pelajaran bahwa regulasi itu dilaksanakan, bukan sekadar ditulis. Kedai tersebut mengajarkan, regulasi itu memang harus ditulis. Tapi, regulasi itu ditulis untuk dilaksanakan. Dengan kata lain, peraturan itu dibuat, dikawal, dan dikerjakan. Tak boleh berhenti hanya disusun semata. Dengan begitu, hulunya dikuatin. Hilirnya dikencengin. Jangan hanya bermain di wilayah hulu lewat penyusunan regulasi semata. Itu harus disempurnakan dengan pergerakan di wilayah hilir melalui penegakan di lapangan.

Lihatlah kasus “parkir gratis”. Manajemen kedai ayam kremes itu tak hanya menuliskan aturan “Parkir Gratis Khusus Untuk Pengunjung” pada tembok kedai. Tulisan itu memang untuk mengingatkan semua bahwa ada ketentuan parkir gratis di kedai tersebut. Publik dipandang perlu tahu bahwa ada kebijakan parkir gratis di pelataran depan. Hanya saja, manajemen kedai ayam kremes itu juga menjamin bahwa ketentuan “parkir gratis” diberlakukan sepenuhnya. Kebijakan itu operasional di lapangan. Efektif dilaksanakan. Bukan hanya ada di bunyi-bunyian di tembok kedai.  

Kedua, manajemen pada instansi apapun sudah seharusnya mengedukasi pegawai. Tentang materi kebijakan dan sekaligus teknis pelaksanaannya di lapangan secara bermartabat. Kata “bermartabat” di sini penting kusebut, karena tak semua pelaksanaan aturan itu dilakukan dengan pemenuhan ketaatan pada standar nilai. Kerap ditemukan di sejumlah tempat, aturan ditegakkan namun penegakannya meninggalkan prinsip kemuliaan dan marwah kebajikan. Kerap terjadi begini: yang penting dilaksanakan meskipun harus menabrak sistem nilai kebajikan diri dan kemuliaan bersama. Lebih ironis lagi jika petugas di garda paling depan layanan tak pernah tahu dan paham atas materi kebijakan. Hasilnya bisa ditebak: akan selalu ada celah antara aturan yang dibuat dan pengetahuan pegawai atasnya.

Saat edukasi dilakukan secara baik kepada pegawai, baik menyangkut materi maupun teknis pelaksanaan, dampaknya pun segera bisa diketahui pada efektivitas penyelenggaraan aturan. Ini yang menjamin bahwa regulasi tentang parkir gratis, sebagai contoh kecil, efektif di lapangan. Mengapa? Karena seluruh pegawai dididik untuk mengawal dan melaksanakan ketentuan itu. Bahkan, petugas yang berada di garda paling depan dalam urusan parkir sekalipun mampu melaksanakan peraturan “parkir gratis” itu dengan konsisten. Lihatlah bapak tukang parkir yang bertugas di depan kedai ayam kremes, seperti yang kuceritakan di atas itu. Bagaimanapun caraku memberikan uang jasa layanan parkir selalu ditolak dengan caranya. Begitu kuatnya dia melaksanakan peraturan itu. Tanpa sedikitpun terhuyung karena alasan apapun. Termasuk tergoda oleh uang.

Integritas itu bukan yang tertulis. Tapi lebih-lebih yang dipraktikkan. Tukang parkir kedai Ayam Kremes Suroboyo di atas telah mempertontonkan integritas yang sungguh aduhai. Aturan ditegakkan dengan penuh komitmen dan konsistensi. Godaan dalam bentuk material pun tak akan meruntuhkan integritasnya. Berulang-ulang dihadapkan pada godaan pemberian uang jasa parkir, tapi berulang-ulang pula ditolaknya. Itu walaupun jika uang parkir itu diterima, manajemen kedai di area dalam tentu saja kemungkinan besar tak melihatnya. Tak mengetahuinya. Tapi, sang tukang parkir itu tetap kukuh menjaga integritas dirinya. Dilihat atau tidak dilihat oleh bosnya.

Integritas pegawai memang otomatis akan menentukan integritas lembaga. Bapak tua sang tukang parkir itu mungkin tak pernah berpikir panjang atas dampak kemuliaan dirinya dalam menjaga integritas pribadinya. Tapi, yang pasti, integritas dirinya akan membantu citra lembaganya. Citra lembaga dibentuk oleh citra diri pegawai. Integritas lembaga ditentukan oleh lemah atau kuatnya integritas pegawai. Tentu karena itu, edukasi dari lembaga harus dilakukan secara berkesinambungan kepada seluruh pegawainya. Dalam jajaran apapun. Dengan penuh konsistensi. Manajemen tidak boleh tinggal diam atas kepastian terwujudnya dan terjaganya integritas pegawai. Semua penting belajar dari tukang parkir kedai ayam kremes di atas. Sungguh aduhai integritasnya!