Articles

                Beberapa waktu lalu, di lingkungan tempat tinggal saya, diadakan pemilihan ketua RT yang melibatkan seluruh warga masyarakat. Setelah diadakan pemilihan, terpilihlah salah satu warga sebagai ketua RT menggantikan ketua RT sebelumnya. Di sela-sela warga RT asyik berbincang, tiba-tiba ada seorang Ibu yang menarik perhatian kami semua karena tiba-tiba meminta waktu untuk bicara di forum tersebut. Dia menyampaikan keberatannya untuk menjadi ketua PKK di lingkungan RT, –sebuah jabatan yang selalu dilekatkan pada istri ketua RT terpilih-. Ibu tersebut tidak keberatan suaminya terpilih sebagai ketua RT namun ia enggan menjadi ketua PKK dengan berbagai alasan yang diungkapkan, terutama faktor ketidaksiapannya mengikuti kegiatan PKK yang bersifat rutinitas.

                Statemen tersebut tentu memancing respon banyak orang yang berkumpul disana. Sebagian besar menganggap fenomena ini sebagai hal yang aneh, menyalahi kebiasaan, dan berbagai labelling yang muncul sebagai bentuk ekspresi keheranan. Menyalahi adat, begitulah kira-kira diksi yang pas untuk menggambarkan gugatan ibu tersebut sehingga terkesan aneh dan tidak lazim. Namun, sesungguhnya keberanian tersebut menjadi menarik jika ditelaah secara kritis dan reflektif, meski belum tentu si ibu memiliki pemikiran ke arah ini.

                Mengapa sikap si ibu terkesan aneh? Bisa jadi, karena selama ini praktik yang terjadi adalah, istri ketua RT terpilih secara otomatis menjadi ketua PKK di lingkungan setempat. Sebagaimana diketahui, organisasi PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) adalah organisasi yang memiliki keanggotaan di level terendah masyarakat, yaitu RT dan RW hingga provinsi. Struktur organisasinya mengikuti struktur organisasi yang dijabat oleh para suami. Organisasi PKK didirikan pada tahun 1957 dan pada tahun 1960 mulai mengenal konsep pengelolaan rumah tangga berorientasi home economics. Secara historis, organisasi ini merupakan bentukan Orde baru yang memiliki akar panjang sebagai gerakan perempuan yang tidak memiliki otonomi. Organisasi PKK sebenarnya tidak sendirian dalam konteks ini, karena tidak otonomnya gerakan perempuan juga dialami organisasi-organisasi lain. Berdasarkan hasil penelitian Julia Suryakusuma yang ditulis dalam State ibuism: The Social Construction of Womanhood in The Indonesian New Order, PKK bagi perempuan desa di masa Orde Baru menjadi wahana menyalurkan ibuisme negara di level desa.

Praktik ibuisme negara ini terjadi di masa Orde baru sebagai rezim represif bercirikan otoritarianisme developmentalis yang memprioritaskan pembangunan ekonomi serta melakukan kontrol dan represi politik di segala aspek kehidupan. Negara diposisikan seperti keluarga yang kulturnya patriarkhis, elitis dan sentralistik. Trias politika yang sebenarnya menjadi gagasan pembagian kekuasaan, faktanya menunjukkan dominasi kekuasaan eksekutif semata. Cara kekuasaan orde baru untuk mengontrol masyarakat adalah dengan menciptakan kendaraan tunggal. (Baca: buruh diwadahi di SBSI, KNPI menjadi wadah untuk pemuda, PGRI untuk guru, wartawan dihimpun di PWI, dan perempuan diwadahi dengan KOWANI).

                Jika KOPRI dijadikan sebagai kontrol kekuasaan Orde baru dengan instruksi untuk memilih Golkar dalam Pemilu, maka Dharma Wanita juga diharuskan memilih Golkar. Pada perkembangannya, Dharma Wanita dijadikan sebagai organisasi istri pegawai negeri yang mencerminkan fungsionalisasi. Strukur dan kedudukan Perempuan di organisasi Dharma Wanita sejajar dengan birokrasi suami. Artinya, Perempuan mendapatkan kedudukan sebagai efek jabatan yang diperoleh suaminya di birokrasi, termasuk dalam hal fasilitas, jabatan dan kekuasaan.  Sehingga tidak ada otonomi perempuan dalam konteks ini. Sekalipun latar belakang pendidikan dan keahlian perempuan bukan di bidang tersebut, namun tidak ada pilihan lain untuk perempuan menolak kedudukan dalam organisasi Dharma Wanita. Terbentuknya Dharma Wanita pada perkembangan berikutnya beriringan dengan fenomena kebangkitan birokrasi militer.

                Kebijakan massa mengambang, mengakibatkan perkembangan gerakan perempuan menjadi sangat terhambat. Hal ini terjadi karena tidak boleh ada aktifitas politik yang diizinkan di tingkat grass root. Kebijakan ini pun berdampak pada organisasi-organisasi perempuan yang kemudian menjadi subordinasi kodrati perempuan. Dalam konteks ini, meminjam istilah Julia Suryakusuma yang diadopsi dari konsep pengiburumahtanggaan (housewifezation) Maria Mies dan konsep Ibuisme Madelon Djajadiningrat. Ibuisme negara mendefinisikan perempuan sebagai pendamping suami saja, tidak memiliki agensi atau otonomi dan mengidealkan ketergantungan. Ibuisme negara dianggap sebagai ideologi gender pertama yang diterapkan dari tingkat pusat sampai daerah dan digunakan sebagai alat kontrol negara pada masyarakat. Pada konteks inilah perempuan menjadi salah satu sasaran kekuasaan represif orde baru.

                Aspek historis yang menempatkan organisasi perempuan sebagai mediator pateranalisme negara tersebut memiliki pengaruh besar pada eksistensi organisasi perempuan saat ini. Pemosisian perempuan sebagai second class selama kekuasaan orde baru berlangsung, mengakibatkan gerakan perempuan sulit menjadi organisasi perempuan di level grass root. Perlakuan kekuasaan pasca reformasi tidak jauh berbeda. Mekanisme dan cara kontrol pemerintah masih identik. Gender merupakan kekuatan mobilisasi untuk intervensi program dan kontrol sosial. Perempuan masih menjadi objek yang dikonstruksi untuk supporting tatanan hirarkhis patriakhi tertentu. Ideologi dan kultur yang terjadi pada masa Orde Baru ini masih tertanam kuat hingga saat ini.

                Warisan historis yang menempatkan organisasi perempuan sebagai alat kontrol negara tentu tidak mudah diakhiri. Namun mulai muncul perubahan situasi dengan adanya kesadaran pada gerakan perempuan lain seperti Koalisi Perempuan Indonesia, Komnas Perempuan Indonesia, dan lain-lain. Wajah organisasi perempuan diubah menjadi alat kuasa melakukan perubahan di negara. Tentu saja kita berharap organisasi seperti Dharma Wanita dan PKK juga memainkan peran sebagai salah satu arena kaderisasi perempuan sehingga bisa menjalankan partisipasi di ruang-ruang publik lebih luas, misalnya di bidang politik. Perempuan seharusnya bisa didorong menjadi  alat transforming politic,tidak sekedar menunjukkan kehadiran dari aspek formal semata namun kehadirannya bisa berdampak pada perubahan substantif untuk gender equality. Bahkan, perempuan tidak sekedar menjadi proxi yang digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya dalam konteks politik kekeraabatan. Perempuan bisa menjadi alat kuasa untuk melakukan perubahan dan memberi makna pada partisipasi politik perempuan.

                Partisipasi perempuan dalam public policy tentu menjadi prioritas berikutnya agar kebijakan publik yang lahir tidak bias gender dan merepresentasikan kebutuhan perempuan. Meminjam istilah Baschlet (2001), demokrasi yang meninggalkan perempuan berarti akan meninggalkan separuh warganya.  Strategi partisipasi politik perempuan critical actor  harus mulai digeser menjadi strategi acting for untuk melakukan pemberdayaan perempuan secara kualitas, kuantitas, kapabilitas dan integritasnya. Hal ini dilakukan untuk memastikan agar kebijakan publik bisa memanifestasikan isu-isu perempuan dan anak. Di titik inilah menjadi sangat urgen untuk memanfaatkan jejaring dalam organisasi perempuan sebagai salah satu modal untuk mengubah dari alat kontrol negara seperti yang dipraktikkan Orde Baru, menjadi alat kuasa menggerakkan perubahan. Kesadaran ini harus dibangun oleh kelompok gerakan perempuan sebagai satu kekuatan yang dimiliki dan memutus mata rantai warisan kekuasaan sebelumnya.

                Kesadaran si ibu di awal cerita tulisan ini, bagaimanapun, akan menjadi bermakna besar untuk perubahan jika menjadi kesadaran bersama agar organisasi perempuan bisa lebih otonom dan independen. Proses domestikasi gerakan-gerakan perempuan hanya menjadi batu loncatan awal untuk menemukan kesadaran bahwa perempuan memiliki peran strategis dalam ruang-ruang publik, terutama dalam proses pengambilan kebijakan. Sehingga, politik lebih berwajah perempuan melalui kebijakan-kebijakan yang lebih humanis (Alvenduski, 2002).

[Laili Bariroh; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]