Akhir akhir ini, kita disuguhi serangkaian dramaturgi mengenai perilaku kegilaan dalam banyak hal yang dipertontonkan dalam arena politik, ekonomi, akademisi bahkan budaya popular. Serangkaian perilaku kegilaan dalam makna Foucault adalah serangkaian praktek kuasa melalui Bahasa. Kegilaan, dulu dipandang sebagai kelainan jiwa, tetapi penyeragaman, penyalah gunaan wewenang maupun praktek kuasa lainnya, menurutnya adalah serangkaian perilaku kegilaan.
Problematika seperti ini dalam setiap babakan sejarah disebutnya “episteme,” suatu sistem kuasa pengetahuan yang dipandang sebagai kebenaran oleh Masyarakat dalam suatu periode sejarah tertentu. Apa yang kita pandang sebagai kebenaran dalam pelbagai diskursus, baik diskursus ilmiah, rapat-rapat, pidato politik, diskusi, tidaklah lepas dari pengaruh episteme. Praktek kuasa dalam berbagai diskursus setiap masyarakat melahirkan pengetahuan, kuasa, dan kebenaran dalam suatu hubungan sirkular yang disebut sebagai Rezim. Sehingga tidak heran kalau karyanya yang berjudul Madness and Civilization atau The Birth of Clinic tidak lain adalah persoalan kuasa dan kebenaran melalui praktik wacana.
Dalam bukunya, Madness and Civilization, Michel Foucault mencatat sejarah tentang evolusi penyakit mental sebagai objek kontrol sosial, dan bagaimana hal itu mencerminkan sikap masyarakat terhadap rasio dan irasionalitas. Disamping itu, dia juga mengungkap evolusi makna kegilaan dalam budaya dan hukum, politik, filsafat, dan kedokteran Eropa dari Abad Pertengahan hingga akhir abad ke-18 dan kritik terhadap gagasan sejarah dan metode sejarah. (1988:117-120; 159;221). Perilaku seperti ini tidaklah lepas dari problem utama yaitu human nature.
Human nature yang paling fundamental pada diri kita melahirkan suatu pertanyaan, bagaimana watak dasar manusia? Human nature yang paling fundamental adalah rakus, arogan, menindas dan menguasai, sehingga manusia sepanjang sejarahnya selalu merasa berada dalam ancaman, konflik dan pertentangan. Benar sekali ucapan Socrates, seorang Filosof Yunani Kuno bahwa jika ingin mengetahui human nature seseorang, berilah kekuasaan, maka akan kelihatan watak aslinya. Apakah arogan, santun, bijaksana atau munafik.
Human nature sebagai judul buku Hume merupakan upayanya membaca watak dasar manusia secara empiris dan eksperimental berkaitan dengan impressi, sensasi dan kesan kesan inderawi dalam merancang bangun filsafat empirisismenya sebagai antithesis dari rasionalisme Descartes dan Leibniz. Hume ingin mengadaptasi metode eksperimental sains untuk studinya tentang watak dasar manusia, termasuk analisis peran nafsu dan rasio dalam sifat manusia yang melahirkan jargon self preservation.
Self Preservation merupakan alat Human nature yang menonjol untuk melindungi dirinya dari serangan, yang oleh Hegel disebut Homo homini lupus. Human nature yang buas, menyerang akan selalu menganggap orang lain itu musuh. Sartre menganggap orang lain adalah neraka bagi dirinya. Keadaan watak alami manusia yang cenderung ingin menguasai manusia menyebabkan antar sesama manusia saling menyerang. Antar manusia saling menyerang. Karena itu setiap manusia cenderung agresif menyerang terlebih dahulu sebelum diserang orang lain. (David Hume:Tt, 45-49).
David Hume bukanlah orang pertama yang membahas human nature. Meskipun demikian, pendekatan empirisnya terhadap hal tersebut sangat berpengaruh terhadap pemikiran Hobbes, Hegel dan Kontrak sosial Rosseou. Secara alamiah manusia akan memerangi manusia lain, manusia akan menjadi srigala bagi manusia lain (homo homini lupus). Hobbes dalam Leviathan menganggap bahwa semua manusia akan berperang melawan semua (bellum omnium contra omnes). (Hobbes:2005, 610). Disinilah kemudian terbentuknya suatu Masyarakat, bangsa dan negara sebagai perwujudan etis manusia untuk hidup dengan the others.
Adanya sifat buas dan agresif manusia ini melahirkan banyak teori mengenai perang dan damai, konflik dan integrasi. Jika kita hubungkan dengan relitas sosial saat ini terjadi serang menyerang, saling menghina bahkan menjatuhkan antar sesama, antar sejawat dan penindasan pimpinan terhadap bawahan serta arogansi para pimpinan kelembagaan, baik Lembaga negara, swasta bahkan Lembaga Pendidikan dapat kita saksikan saat ini. Human nature melalui kekuasaan cenderung menampakan sosok yang double standart bahkan cenderung split personalities atau ephy phenomenalisme dalam istilah Kant.
Rumusan Freud bahwa manusia itu tak lain dari kumpulan ketidak sadaran yang cenderung agresivitas dan kekuasaan, nampaknya ada benarnya. Berbeda sedikit dengan Freud, Adler (1870-1937 M.), murid Freud, dia menerima bahwa sebagai pendorong tindakan yang ada pada manusia adalah ketidak-sadaran, akan tetapi ketidak sadaran itu menurut Adler adalah cenderung kekuasaan. Bahwa manusia itu tak lain dari kumpulan cenderung ke-kekuasaan itu. Orang mau dihargai, mau menonjolkan diri, mau kuasa. Kenalilah dan pahamilah realitas terselubung paling mencemaskan dari manusia yakni kerapuhan dan kerentanan sukma, yang kemudian muncul dalam bentuk gengsi dan ambisi. (John W.M. Verhaar:1989, 37-39).
Sementara itu, negara menurut Thomas Hobbes dibutuhkan untuk mencegah kesewenang-wenangan pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan terhadap rakyat yang lemah. Sejarah munculnya negara, polis, di Yunani adalah adanya komunitas kecil yang saling menjaga dan melindungi antar warga dari serangan pihak lain, yang berada di luar komunitas. Komunitas yang ada di dalam polis benar-benar dijaga keamanan dan ketenteramannya.
Kegagalan negara dalam melindungi keamanan dan ketakutan serta ke-khawatiran warganya, menyebabkan antara warga negara bukan lagi merasa dan berlaku antar sahabat, tetangga, kolega, akrab lagi. Akan tetapi justeru antar warga saling bermusuhan, saling menindas, dan saling curiga, manusia memangsa manusia lain. Polisi memangsa pengunjuk rasa dengan tongkat pemukul atau ujung senjata, bahkan tidak jarang dengan timah panas dari senjata. Tanah diserobot paksa. nyawa sering lebih murah dan gratis daripada tanah. Tidak ada prasyarat lain bagi si lemah. Jika mengharapkan syarat maka taruhannya adalah jiwa melayang. Seperti serigala memangsa kijang, tidak pernah berpikir bahwa apakah kijangnya marah atau tidak.
Motivasi utama filsafat Hume adalah untuk memberikan teori tentang human nature. Karya filsafat Hume pertama, yang memuat banyak gagasan terpentingnya diartikulasikan, dalam A Treatise on Human Nature. Bagi Hume, ‘subyek moral’ tidak hanya terbatas pada pertanyaan etika, namun pertanyaan tentang Tindakan human nature. Karena Hume memahami studi tentang human nature sebagai tugas penting yang harus dilakukan oleh filsafat, hal ini dapat dikatakan sebagai ciri definitif filsafatnya secara umum.
[Suhermanto Ja’far, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]