Bagi umat Islam, meskipun kewajibannya bersyarat, ibadah Haji sangat diminati. Bahkan banyak yang memaksakan diri untuk melaksanakannya. Padahal tragedi dan musibah pada saat ritual haji sering terjadi. Beberapa tragedi penting yang terjadi pada era 90-an misalnya tragedi terowongan Mina tahun 1990, tragedi melempar jumrah di Mina tahun 1994, tragedi “kebakaran tenda”di Mina tahun 1997, dan tragedi jatuhnya para jamaah haji dari jembatan layang pada saat melempar jumrah pada tahun 1998. Era millenium, tragedi masih banyak terjadi, seperti tragedi penumpukan jamaah di Mina, saat jamaah berebutan tempat pada tahun 2000, tragedi berebut melempar jumrah di Mina pada tahun 2003, tragedi tahun 2004 yang sedikitnya 250 jamaah meninggal karena berhimpitan saat calon jamaah tidak mendapatkan izin masuk Mina saat akan diselenggarakan kegiatan lempar jumrah, tragedi tahun 2006 yang sedikitnya 360 calon jamaah haji meninggal akibat terinjak-injak jamaah yang lain saat menjalani ritual lempar jumrah di Mina. Satu dekade terakhir juga terjadi tragedi yang lebih tragis, tepatnya di tahun 2015. Saat itu, sedikitnya 769 jamaah haji meninggal akibat terinjak- injak jamaah yang lain saat hendak menjalani ritual lempar jumrah di Mina dan jumlah korban luka-luka pada kejadian itu berjumlah 934 orang. Tragedi Mina yang terjadi pada 24 September 2015 disebut-sebut sebagai peristiwa terburuk dalam penyelenggaraan haji selama 25 tahun terakhir dibandingkan peristiwa sebelumnya di terowongan Mina 1990. Kondisi yang seperti ini merupakan keprihatinan tersendiri bagi umat muslim. Akan tetapi karena berulang kali, pada akhirnya masyarakat awam menganggap hal tersebut sebagai suatu kewajaran dan diyakini sebagai syuhada’ haji.
Atas dasar ini, demi memperkecil jumlah korban dan memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji sesuai syarat dan ketentuan yang telah diintruksikan al-Qur’an dan hadis Nabi, Nahdlatul Ulama berijtihad untuk melahirkan fatwa yang lebih humanis dalam praktik ibadah haji dengan menetapkan status hukum murur (lewat), tanazul (kembali), dan berhaji dengan visa non haji. Menyatakan sah murur Muzdalifah sesungguhnya untuk memperkuat implementasi makna istithâ‘ah dalam pelaksanaan ritual ibadah haji, agar mampu saling menjaga etika, saling membangun hubungan baik, saling mensupport, saling membantu, saling menyempurnakan dan saling menjaga keselamatan.
Mempertimbangkan Animo umat Islam khususnya Indonesia untuk menjalankan ibadah haji yang sangat sangat tingi, sedang daftar tunggu berkisar antara 16 s/d 48 tahun, banyak calon jamaah haji yang tergoda dengan tawaran haji dengan menggunakan visa non haji, karena tanpa antre. Praktik haji seperti ini adalah praktik haji non prosedural, karena haji non kuota. Haji non prosedural dianggap menjadi solusi bagi masyarakat yang tidak sabar menunggu antrean haji yang cukup lama. Maraknya pengguna visa non haji yang akan mengikuti pelaksanaan ibadah haji pada tahun 1445H/2024M menimbulkan kekhawatiran terganggunya fasilitas dan layanan jemaah haji resmi saat berada di Armuzna (Arafah, Muzdalifah dan Mina) baik terkait layanan transportasi, akomodasi dan konsumsi serta ancaman pengguna visa non haji yang tertangkap akan dikenakan hukuman baik deportasi, denda sejumlah uang dan larangan masuk ke tanah suci selama puluhan tahun. Jamaah haji yang menunaikan haji dengan kuota non haji akan menambah kepadatan dan dapat mempersempit ruang gerak bagi jemaah haji dunia yang berangkat secara resmi. Praktik ilegal ini sangat berpotensi menambah resiko meningkatnya prevalensi angka sakit dan bahkan kematian bagi jemaah lansia yang lemah dan risti, karena dengan keterbatasan space di Armuzna.
Banyak masyarakat yang tidak mempertimbangkan berbagai faktor sebagai akibat dari haji non prosedural. Mereka tidak memahami regulasi, tidak mengetahui hak-haknya, dan tidak mengutamakan sisi pelindungan sebagai WNI di luar negeri. Berbagai faktor tersebut yang sering tidak terinformasikan dan tidak dipertimbangkan masyarakat secara matang sebelum memilih haji non prosedural. Keberadaan para Jemaah haji non prosedural menjadi persoalan dalam penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya. Karena mereka haji tanpa visa haji, maka kehadiran mereka di Tanah Suci menjadi ilegal. Mereka tidak tercatat secara resmi sebagai jamaah, baik menurut negara asal maupun bagi negara tujuan. Saat mereka hadir di Padang Arafah untuk wukuf , mereka tidak memiliki kuota lokasi tempat atau maktab sehingga mereka kadang mencaplok tenda maktab bagi jamaah haji resmi. Pencaplokan tenda merupakan bentuk kezaliman kepada pihak lain dan tidak layak dilakukan hanya untuk egoisme pribadi dalam menunaikan ibadah. Perilaku ini bertentangan dengan semangat ibadah haji yang harus terhidar dari sikap rafath, fusûq, dan jidâl. Selain itu, jika mereka bermasalah hukum, dampaknya bukan mereka sendiri yang dijatuhi hukuman oleh pemerintah Arab Saudi, akan tetapi juga tentu mereka merepotkan pemerintah Indonesia, karena mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dari sini jelas, fatwa NU pada kasus murur dan haji non prosedural bertumpu pada narasi kemanusiaan dan etika.
Solusi atas kondisi yang pelik ini akan menarik jika merujuk pada pendapat Masdar Farid Mas’udi sebagai Rois Syuriah PBNU pada masa jabatan 2010- 2014. Ia menawarkan tafsir ulang atas Surat al-Baqarah ayat 197; “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafas (mengeluarkan perkataan yang menimbulkan berahi yang tidak senonoh atau bersetubuh), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.”
Selama ini ayat 197 Surat al-Baqarah tersebut dijadikan dasar miqât zamani saja. Menurut Masdar, beberapa hari pelaksanaan ibadah haji bisa diperluas waktunya dengan tiga bulan; Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah untuk menghentikan tragedi Mina. Masdar berargumen bahwa tidak ada satu nash (teks) baik ayat al-Qur’an maupun hadits Rasul, bahkan yang daif sekalipun, yang menyatakan dengan tegas bahwa di luar hari-hari tanggal 8 s/d 13 Dzulhijjah tidak sah untuk menunaikan ibadah haji. Kedua, mengabaikan ayat tentang waktu haji 3 bulan secara empirik telah mengacaukan konsep dasar haji sebagai napak tilas jejak spritual dan terbukti telah mengakibatkan terjadinya haraj, masyaqqat bahkan madarat yang luar biasa pada umat yang menunaikannya, plus dengan akibat yang tak ternilai, yakni: penghancuran masyâ‘ir (situs-situs sejarah dan spiritualitas) yang mana prosesi ibadah haji seharusnya ditunaikan dengan penuh kekhusukan dan penghayatan bukan menjadi catatan tragedi yang memilukan. Ketiga, Penegasan waktu haji selama 3 bulan seperti termaktub dalam al-Baqarah; 197 adalah mukjizat al-Qur’an mengantisipasi jumlah jamaah haji 14 abad kemudian yang mencapai jumlah 2-3 jutaan seperti yang kita saksikan sekarang dan akan terus bertambah untuk masa-masa mendatang.
Pemikiran yang sama atas waktu pelaksanaan ibadah haji ini ternyata telah ditawarkan terlebih dahulu oleh seorang Jenderal (Purn) Mesir bernama Muhammad Syibl yang mengutarakan ide tersebut dengan argumentasi yang sama dan melahirkan kontroversi yang sama. Pada tanggal 27 September 2015 terbit artikel yang ditulis oleh M. Jaya Nasti yang secara jelas memproklamirkan persetujuannya atas pemikiran Masdar Farid Mas’udi, karena menurutnya apabila aktifitas haji bisa dilaksanaan sepanjang waktu 3 bulan maka tragedi demi tragedi dalam pelaksanaan ibadah haji bisa dihilangkan atau setidaknya diminimalisir.
LabbaiKa Allahumma labbaik , labbaiKa la syarika laKa
Wallahu a’lamu bissawab